BAB IV
KOMPONEN
DAN ORGANISASI KURIKULUM
4.1 Komponen Kurikulum
Dalam
konteks dan desain pengembangan kurikulum, maka para pengembang kurkikulum
(termasuk guru) harus memperhatikan kerangka dasar kurikulum dengan pendekatan
sistem, yaitu kurikulum yang memiliki komponen-komponen pokok kurikulum, baik
pada tingkat makro (nasional), institusi (lembaga), bidang studi atau mata
pelajaran, maupun pada tingkat program pembelajaran (silabus dan RPP).
Hilda Taba (1962), memerinci isi kurikulum menjadi:
tujuan, pengalaman belajar, organisasi bahan kurikulum dan kegiatan belajar,
dan evaluasi. Selanjutnya, Glenys G. Unruh dan Adolph Unruh (1984) mengembangkan
komponen kurikulum berdasarkan definisi kurikulum, yaitu suatu rencana
tentang: (a) tujuan, (b) isi dari apa
yang dipelajari di dalamnya, (c) proses pembelajaran, dan (d) evaluasi untuk
hasil-hasil pembelajaran.
Komponen kurikulum dapat juga dilihat berdasarkan siklus
pengembangan kurikulum. Setiap perbuatan kurikulum diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu, baik yang berkenaan dengan pembinaan pribadi, pembinaan
kemampuan sosial, kemampuan untuk bekerja, ataupun untuk pembinaan perkembangan
lebih lanjut. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan isi/materi yang
harus disampaikan kepada peserta didik melalui proses atau kegiatan yang
sistematis. Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat keefektifan kurikulum dan
tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi yang disampaikan, maka
diperlukan sistem evaluasi yang baik. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa ada empat komponen pokok kurikulum, yaitu tujuan, isi/materi,
proses, dan evaluasi. Komponen-komponen tersebut harus ada kesesuaian, saling
berhubungan dan ketergantungan, sehingga membentuk sebuah sistem. Apabila ada
satu komponen yang memiliki kelemahan, maka akan berpengaruh dan menajdi lemah
pula komponen-komponen lainnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan lemahnya sistem
kurikulum itu sendiri secara keseluruhan.
4.1.1 Tujuan
Dalam kerangka dasar kurikulum, tujuan mempunyai peranan
yang sangat penting dan strategis, karena akan mengarahkan dan memengaruhi
komponen-komponen kurikulum lainnya. Untuk memahami komponen tujuan ini secara
komprehensif, perlu diketahui terlebih dahulu hierarki tujuan pendidikan
seperti skema berikut.
Tujuan Pendidikan
Nasional
|
Tujuan Institusional/SKL
|
Tujuan Pembelajaran Umum/KD
|
Tujuan Kurikuler/SK
|
Tujuan Pembelajaran
Khusus/Indikator
|
Skema:
4.1 Hierarki Tujuan Kurikulum
Berdasarkan hierarki tujuan tersebut, dapat dipahami
tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan yang menduduki posisi paling
tinggi, sehingga menjadi “payung” bagi tujuan-tujuan di bawahnya. Tujuan
pendidikan nasional dirumuskan oleh pemerintah sebagai pedoman bagi
pengembangan tujuan-tujuan pendidikan yang lebih khusus.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional khususnya Bab II pasal 3 disebutkan bahwa tujuannya adalah
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Ciri-ciri manusia ideal, baik secara universal maupun
secara nasional, dalam praktiknya dijabarkan lagi ke dalam tujuan
institusional. Tujuan institusional adalah tujuan yang ingin dicapai oleh
setiap lembaga pendidikan, baik pendidikan formal (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA) maupun pendidikan nonformal (lembaga kursus, pesantren). Selanjutnya
dirumuskan ke dalam tujuan kurikuler. Tujuan kurikuler adalah tujuan yang ingin
dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran, seperti bidang studi PAI,
IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, dan sebagainya seperti Bahasa Arab.
Kemudian, dioperasionalkan ke dalam tujuan pembelajaran umum dan pembelajaran
khusus. Tujuan pembelajaran umum adalah tujuan yang ingin dicapai pada setiap
pokok bahasan, sedangkan tujuan pembelajaran khusus (instructional objective)
adalah tujuan dari setiap subpokok bahasan.
Hierarki tujuan pendidikan secara utuh dapat kita lihat
dalam kurikulum 1975 sampai dengan kurikulum 1994 yang bersifat goal-oriented,
sedangkan dalam kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based
curriculum) dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
Standar Kompetensi (SK) mata pelajaran, Kompetensi Dasar, dan Indikator. Bedanya, kalau tujuan harus “dicapai”
oleh peserta didik, sedangkan kompetensi harus “dikuasai” oleh peserta
didik. Istilah “dikuasai” mengandung implikasi yang lebih berat bagi guru
dibandingkan dengan istilah “dicapai”, karena peserta didik bukan hanya
memperoleh pengetahuan saja, tetapi harus dapat menerapkannya dengan baik,
diikuti dengan sikap yang positif. Masalahnya sekarang adalah bagaimana cara
merumuskan tujuan?
Hilda Taba memberikan beberapa petunjuk tentang cara
merumuskan tujuan, yaitu: (a) tujuan itu hendaknya berdimensi dua, yaitu
dimensi proses dan dimensi produk. Dalam dimensi proses termasuk menganalisis,
menginterpretasi, mengingat, dan sebagainya, sedangkan yang termasuk dalam
dimensi produk adalah bahan yang terdapat dalam tiap mata pelajaran, (b)
menganalisis tujuan yang bersifat umum
dan kompleks menjadi tujuan yang spesifik, sehingga diperoleh bentuk
kelakuan yang diharapkan, (c) memberi petunjuk tentang pengalaman apa yang
diperlukan untuk mencapai tujuan itu, (d) sutau tujuan tidak selalu dapat
dicapai dengan segera, kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, (e) tujuan
harus realistis dan dapat diterjemahkan dalam bentuk kegiatan atau pengalaman
belajar tertentu, dan (f) tujuan itu harus komprehensif, artinya meliputi
segala tujuan yang ingin dicapai di sekolah, bukan hanya penyampaian informasi,
tetapi juga keterampilan berpikir, hubungan sosial, sikap terhadap bangsa dan
negara, dan sebagainya.
Setiap rumusan tujuan pendidikan harus bersifat
komprehensif, yaitu mengandung bidang pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai. Pembidangan ini sesuai dengan teori taksonomi tujuan dari Bloom yang
mengelompokkan tingkah laku manusia menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif,
dan psikomotor. Ranah kognitif berkenaan dengan pengenalan dan pemahaman,
pengetahuan, perkembangan kecakapan dan keterampilan intelektual. Tanah afektif
berkenaan dengan perubahan-perubahan dalam minat, sikap, nilai-nilai,
perkembangan apresiasi dan kemampuan menyesuaikan diri. Ranah psikomotor
berkenaan dengan keterampilan-keterampilan gerak dan keterampilan-keterampilan
manipulasi.
Domain-domain taksonomi Bloom sangat bermanfaat di dalam
memilah tujuan menjadi beberapa bidang, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Untuk tujuan tingkah laku, tidak cukup hanya sampai dengan
pembidangan, tetapi harus juga menggunakan kata kerja operasional sesuai dengan
tingkah laku yang diharapkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh kata
kerja operasional sesuai dengan jenjang kemampuan pada setiap domain.
Skema: 4.2
Pemetaan
Kata Kerja Operasional Domain Kognitif
No
|
Jenjang Kemampuan
|
Contoh Kata Kerja Operasional
|
1
|
Pengetahuan
|
Mendefinisikan,
mengidentifikasi, melabel, menjodohkan, menyebut (nama), menyatakan.
|
2
|
Pemahaman
|
Mengubah, memberi
alasan, membedakan, menjelaskan, memberi contoh, menarik kesimpulan,
meramalkan, menyimpulkan (dari gejala khusus ke umum), menulis kembali
(menyingkat).
|
3
|
Aplikasi
|
Mengubah,
menghitung, mendemonstrasikan, menemukan, memanipulasi, memodifikasi,
meramlkan.
|
4
|
Analisis
|
Mengurai, menyatakan
dalam bentuk diagram, membeda-bedakan, mengidetifikasi golongan,
mengilustrasikan, menunjukkan titik berat (persoalan), mempertimbangkan.
|
5
|
Sintesis
|
Mengakategorikan,
memadukan, menyarikan, mencipta, menjelaskan, merencanakan, merevisi,
menceritakan, mengatur kembali, medesain.
|
6
|
Evaluasi
|
Menilai,
membandingkan, menyimpulkan, mengkritik, membedakan secara mencolok,
menjelaskan berdasarkan beberapa pertimbangan, memutuskan, menentukan,
mencari hubungan, menerima atau menolak gagasan, mengambil sari isi.
|
Skema: 4.3
Pemetaan
Kata Kerja Operasional Domain Afektif
No
|
Unsur Tujuan
|
Contoh Kata Kerja Operasional
|
1
|
·
Mendengarkan (menyimak) dengan tekun.
·
Menunujukkan kesadaran pentingnya belajar.
·
Menunjukkan kepekaan terhadap kebutuhan manusia dan
masalah sosial.
·
Menerima perbedaan kesukuan dan kebudayaan
·
Mengingat dengan gairah kegiatan-kegiatan kelas
|
Mengajukan
pertanyaan, memilih, menjelaskan, memperhatikan, memberi dan menerima, menyebut
nama, menunjukkan, menyeleksi, menjawab pertanyaan
|
2
|
Mencari jawaban,
menolong, menyetujui, mendiskusikan, memberi salam, menunjukkan (kegiatan),
mempraktikkan, hadir, melapor, menyeleksi, menceritakan.
|
|
3
|
Mengundang, menerima
keputusan, membagi rasa, kerja sama, ikut serta, mengajukan usul, melaporkan,
mempelajari, mengikuti.
|
|
4
|
Menambah, mengubah,
mengatur, melengkapi, mempertahankan, menjelaskan, mengidentifikasi,
menyentesis, menyiapkan, menghubungkan.
|
|
5
|
Bertindak,
menunjukkan, membedakan, memodifikasi, mendengarkan, mengusulkan, bertanya,
memperbaiki, melayani, menguji kebenaran, menggunakan.
|
4.1.2 Isi/Materi
Isi/materi kurikulum pada
hakikatnya adalah semua kegiatan dan pengalaman yang dikembangkan dan disusun
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Secara umum, isi kurikulum itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: (a) logika, yaitu pengetahuan
tentang benar-salah, berdasarkan prosedur keilmuan, (b) etika, yaitu
pengetahuan tentang baik-buruk, nilai, dan moral, dan (c) estetika,
yaitu pengetahuan tentang indah-jelek, yang ada nilai seni.
Pada
kurikulum pendidikan formal, pada umumnya organisasi isi/materi kurikulum
disusun dalam bentuk mata pelajaran dan/atau bidang studi yang tertuang dalam
struktur kurikulum sesuai dengan tujuan institusional masing-masing. Dalam
struktur tersebut diatur pula alokasi waktu yang diberikan untuk setiap bidang
studi atau mata pelajaran pada setiap minggunya.
Tabel : 4.4
Contoh
Struktur Kurikulum MI
No.
|
Komponen
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
Kelompok A
|
|||||||
1
|
Pendidikan
Agama
a. Al
Qur’an Hadits
b. Aqidah
Akhlak
c. Fiqih
d. SKI
|
2
2
2
-
|
2
2
2
-
|
2
2
2
2
|
2
2
2
2
|
2
2
2
2
|
2
2
2
2
|
2
|
PPKN
|
5
|
5
|
6
|
5
|
5
|
5
|
3
|
Bahasa
Indonesia
|
8
|
9
|
10
|
7
|
7
|
7
|
4
|
Bahasa
Arab
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
5
|
Matematika
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
IPA
|
3
|
3
|
3
|
|||
7
|
IPS
|
3
|
3
|
3
|
|||
Kelompok B
|
|||||||
8
|
Seni
Budaya & Prakarya (termasuk muatan lokal*)
|
4
|
4
|
4
|
5
|
5
|
5
|
9
|
Pend.
Jasmani, OR & Kes (termasuk muatan lokal).
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Jumlah
|
34
|
36
|
40
|
43
|
43
|
43
|
Selanjutnya,
untuk tingkat sekolah dasar dan tingkat menengah terdapat jenis struktur
kurikulum yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.
Pendidikan umum (general
education), yaitu program pendidikan yang bertujuan membawa peserta didik
agar menjadi warga negara yang baik. Sifat pendidikan umum ini adalah wajib
diikuti oleh setiap siswa pada semua lembaga pendidikan dan tingkatannya. Mata
pelajaran yang termasuk dalm kelompok pendidikan umum adalah: Pendidikan Agama,
PPKN, Olah Raga-Kesehatan, Kesenian, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.
b.
Pendidikan akademik
(academic education), yaitu program pendidikan yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan intelektual sehingga diharapkan peserta didik
memperoleh kualifikasi pengetahuan yang fungsional menurut tuntutan disiplin
ilmu masing-masing. Tujuannya adalah untuk memberikan bekal kepada lulusan agar
dapat melanjutkan studi ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Sifat
pendidikan akademik ini adalah permanen dan menggambarkan pola berpikir menurut
disiplin ilmu masing-masing. Bidang studi yang termasuk kelompok pendidikan
akademik, Antara lain IPA, IPS, Matematika, dan Bahasa Inggris.
c.
Pendidikan
kecakapan (life skill education), program pendidikan yang bertujuan
untuk memperoleh kecakapan dan keterampilan tertentu, sebagai bekal hidup
peserta didik di masyarakat. Sifat pendidikan ini temporer, artinya
sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan keperluan. Demikian juga sifatnya
elektif, artinya setiap peserta dapat memilih jalur keterampilan yang
diinginkannya, seperti keterampilan di bidang jasa, pertanian, perikanan,
perbengkelan.
d.
Pendidikan Kejuruan
(vocational education), yaitu program yang mempersiapkan peserta didik
untuk memperoleh keahlian atau pekerjaan tertentu sesuai dengan jenis sekolah
yang ditempuhnya. Pendidikan kejuruan ini lazimnya terdapat padaa sekolah-sekolah
kejuruan, bukan pada sekolah umum (SMP dan SMA). Misalnya untuk SMK ada
kelompok bidang studi ekonomi, dan kelompok bidang-bidang studi teknik. Kadar
bobot setiap struktur kurikulum untuk setiap lembaga pendidikan tidak sama,
baik dalam hal jumlah jam pelajaran maupun dalam jumlah mata pelajaran atau
bidang studinya.
4.1.3 Proses
Proses pelaksanaan kurikulum harus menunjukkan adanya
kegiatan pembelajaran, yaitu upaya guru untuk membelajarkan peserta didik, baik
di sekolah melalui kegiatan tatap muka, maupun di luar sekolah melalui kegiatan
terstruktur dan mandiri. Dalam konteks inilah, guru dituntut untuk menggunakan
berbagai strategi pembelajaran, metode mengajar, media pembelajaran, dan
sumber-sumber belajar.
Pemilihan strategi pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum (SK/KD),
karakteristik materi pelajaran, dan tingkat perkembangan peserta didik. Ada
beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam menyampaikan isi
kurikulum, antara lain: (a) strategi ekspositori klasikal, yaitu guru lebih
banyak menjelaskan materi yang sebelumnya telah diolah sendiri, sementara siswa
lebih banyak menerima materi yang telah jadi, (b) strategi pembelajaran heuristik
(discovery dan inquiry), (c) strategi pembelajaran kelompok
kecil: kerja kelompok dan diskusi kelompok, dan (d) strategi pembelajaran
individual.
Di samping strategi, ada juga metode mengajar. Metode
adalah cara yang digunakan guru untuk menyampaikan isi kurikulum atau materi pelajaran
sesuai dengan tujuan kurikulum. Sekalipun yang menggunakan metode mengajar itu
adalah guru, tetapi tetap harus berorientasi dan menekankan pada aktivitas
belajar peserta didik secara optimal. Untuk memilih metode mana yang akan
digunakan, guru dapat melihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan yang
berpusat pada matapelajaran, pendekatan yang berpusat pada peserta didik, dan
pendekatan yang berorientasi pada kehidupan masyarakat. Meskipun demikian,
tidak ada satu metode pun yang dianggap paling ampuh. Oleh sebab itu, guru
harus dapat menggunakan multimetode secara bervariasi. Selain multimetode, di
dalam kegiatan pembelajaran, guru harus dapat menggunakan multimedia, baik
media visual, media audio, maupun media audio-visual.
Sumber belajar adalah bagian yang tak terpisahkan dalam
proses pembelajaran. dalam sistem pembelajaran yang tradisional, penggunaan
sumber belajar terbatas pada informasi yang diberikan oleh guru, dan beberapa
di antaranya ditambah dengan buku sumber. Bentuk sumber belajar yang lain
cenderung kurang diperhatikan, sehingga aktivitas belajar peserta didik kurang
berkembang, padahal berdasarkan pendekatan teknologi pendidikan, sumber belajar
dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu manusia, bahan, lingkungan,
alat, dan perlengkapandekatan teknologi pendidikan, sumber belajar dapat
dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu manusia, bahan, lingkungan, alat, dan
perlengkapan, serta aktivitas.
4.1.4 Evaluasi
Untuk mengetahui efektivitas kurikulum dan dalam upaya
memperbaiki serta menyempurnakan kurikulum, maka diperlukan evaluasi kurikulum.
Evaluasi kurikulum merupakan usaha yang sulit dan komplekks, karena banyak
aspek yang harus dievaluasi, banyak orang yang terlibat, dan luasnya kurikulum
yang harus diperhatikan.
Evaluasi kurikulum memerlukan ahli-ahli yang
mengembangkannya menjadi suatu disiplin ilmu. Evaluasi kurikulum juga erat
hubungannya dengan definisi kurikulum itu sendiri, apakah sebagai kumpulan mata
pelajaran atau meliputi semua kegiatan dan pengalaman anak di dalam maupun di
luar sekolah. Berdasarkan definisi kurikulum yang digunakan akan dapat
diketahui aspek-aspek apa yang akan dievaluasi. Untuk mengetahui aspek-aspek
evaluasi kurikulum, dapat dilihat dari perspektif model-model evaluasi
kurikulum yang dibicarakan dalam bab tersendiri.
4.2 Organisasi Kurikulum
4.2.1 Konsep Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum adalah susunan pengalaman dan
pengetahuan baku yang harus disampaikan dan dilakukan peserta didik untuk
menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Pengalaman tersebut ada yang
langsung dan ada yang tidak langsung. Pengalaman langsung adalah pengalaman
yang diperoleh peserta didik sebagai hasil interaksi secara langsung dengan
dunia sekitarnya. Misalnya, pengaruh kegiatan eksperimen di ruang laboratorium
bahasa, pengaruh keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, dan
sebagainya. Pengalaman tidak langsung adalah pengalaman yang diperoleh peserta
didik melalui perantara, seperti pengalaman yang diperoleh dari buku sumber,
dan menonton televise. Pengalaman tidak langsung tersebut dapat berbentuk
pengetahuan baku yang memiliki sifat dinamis. Pengetahuan baku tersebut
memungkinkan untuk berkembang sehingga memerlukan peninjauan, peningkatan dan
pemutakhiran sesuai dengan perkembangan zaman.
Organisasi kurikulum berhubungan erat dengan kualitas
kegiatan dan pengalaman belajar peserta didik. Organisasi kurikulum harus
dipilih dan diatur sedemikian rupa untuk dikembangkan lebih luas dan lebih
mendalam sehingga peserta didik memperoleh sesuatu yang berharga dari program
pendidikan yang telah ditetapkan.
Para pengembang kurikulum diharapkan dapat mengembangkan
berbagai program pendidikan yang lenih bersifat komprehensif, konsisten, dan
efektif. Kegiatan belajar di sekolah tentu berbeda dengan kegiatan belajar di
luar sekolah. Di sekolah, semua kegiatan dan pengalaman belajar diatur dan
diorganisasikan secara formal sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat peserta
didik. Hal tersebut memang sudah menjadi kewajiban sekolah dalam menjalankan
fungsinya, sedangkan di luar sekolah kegiatan dan pengalaman belajar peserta
didik tidak diatur dan diorganisasikan secara formal, terutama berkaitan dengan
kapan dan di mana kegiatan belajar dilakukan. Sekalipun demikian, apa yang
harus dipelajari peserta didik tetap harus terstruktur, terutama berkaitan
dengan mata pelajaran.
4.2.2 Model Organisasi Kurikulum
Terdapat beberapa model organisasi kurikulum, setidaknya
menurut Zais dalam bukunya Curriculum: Principles and Foundation mengemukakan
ada tiga kategori desain kurikulum, yaitu “subject centered designs,
learner-centered designs, and problem-centered designs”. Berikut akan
dijelaskan beberapa model organisasi kurikulum, yaitu:
a.
Subject-centered
Curriculum
Organisasi
kurikulum ini terdiri atas berbagai mata pelajaran yang terpisah-pisah satu
sama lain, karena itu sering disebut isolated-subject curriculum atau subject-matter
curriculum. Misalnya, mata pelajaran nahwu, sharaf, imla’, insya’,
muhadatsah, khat, balaghah, dst. atau mata pelajaran berhitung, aljabar,
ilmu ukur, sejarah, ekonomi, geografi dan ilmu bumi. Mata pelajaran-mata
pelajaran tersebut terpisah-pisah (isolated) satu sama lain, sehingga
tampak mudah diatur dalam pelaksanaannya. Sekalipun guru mengajar untuk satu
kelas, tetapi tetap dalam mengajarkan mata pelajarannya secara terpisah-pisah
dan tidak ada korelasi satu dengan lainnya. Sifat yang terpisah-pisah itu
memudahkan pula bagi guru untuk membelajarkan peserta didik, termasuk melakukan
penilaian proses dan hasil belajar peserta didik. Peserta didik lebih banyak
melakukan kegiatan belajar dengan menghafal pelajaran atau membuat rangkuman
daripada melakukan diskusi atau pemecahan masalah, karena tujuan utama
kurikulum adalah agar peserta didik menguasai pengetahuan. Di Indonesia,
organisasi kurikulum ini pernah digunakan dalam kurikulum 1968.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi ciri-ciri organisasi
kurikulum ini sebagai berikut: (1) kurikulum terdiri atas sejumlah mata
pelajaran yang terpisah-pisah, tidak ada hubungan dan kaitannya satu sama lain,
(2) mata pelajaran-mata pelajaran tersebut berdiri sendiri sebagai suatu
disiplin ilmu, (3) tujuan kurikulum adalah untuk menguasasi pengetahuan, (4)
mata pelajaran tidak disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan
masyarakat, (5) strategi pembelajaran banyak menggunakan teknik penuangan, (6)
guru berperan dan bertanggung jawab sebagai guru mata pelajaran, (7) proses
pembelajaran lebih terpusat kepada guru, sementara peserta didik bersifat
pasif, dan (8) teknik penilaian lebih banyak menggunakan tes dengan fokus
domain kognitif.
b.
Correlated
Curriculum
Mengingat
subject-centered curriculum banyak memiliki kelemahan, maka diadakanlah
upaya-upaya untuk memperbaiki, memodefikasi, dan menyempurnakannya, Antara lain
mengorelasikan antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain.
Bentu korelasi semacam ini disebut correlated curriculum. Misalnya,
ketika mengajarkan mata pelajaran sharaf tentang bentuk pola isim
fa’il dan isim maf’ul, maka dikorelasikan dengan mata pelajaran nahwu
tentang bab al-hâl.
Ciri-ciri
kurikulum korelasi ini, antara lain (1) adanya korelasi antarmata pelajaran,
(2) adanya upaya untuk menyesuaikan mata pelajaran dengan masalah kehidupan
sehari-hari, termasuk kebutuhan dan minat peserta didik, (3) tujuan kurikulum
adalah untuk menguasai pengetahuan, (4) pelayanan perbedaan individual masih
sangat terbatas, (5) dalam proses pembelajaran, guru banyak berperan aktif, (6)
peran peserta didik mulai diaktifkan walaupun hanya sedikit, dan (7) penilaian
lebih difokuskan kepada domain kognitif, kendatipun domain lain sudah mulai
dikembangkan. Melalui kurikulum korelasi, tampak ada penggabungan ke arah
kesatuan bahan pelajaran, sekalipun antara mata pelajaran yang satu dengan
lainnya masih terpisah.
c.
Broad Field
Curriculum
Ada
juga korelasi antara beberapa mata pelajaran (interdisipliner) yang lebih jauh
sehingga tidak tampak lagi batas-batas mata pelajaran dalam satu rumpun.
Korelasi semacam ini merupakan fusi antara beberapa mata pelajaran serumpun dan
memiliki ciri-ciri yang sama. Organisasi kurikulum ini disebut dengan bidang
studi (broad field). Misalnya, antara mata pelajaran Sejarah, Georafi,
Ekonomi difusikan menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), mata
pelajaran Kimia, Fisika, dan Biologi difusikan menjadi bidang studi Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), mata pelajaran Aljabar, Ilmu Ukur dan Geometri
difusikan menjadi bidang studi Matematika, dan mata pelajaran nahwu, sharaf,
dan balaghah menjadi mata pelajaran qawa’id al-lughah.
Tujuan
kurikulum bidang studi adalah untuk mengintegrasikan pengetahuan anak dan
mencegah penguasaan bahan yang banyak, dangkal, dan terlepas-lepas sehingga
mudah dilupakan dan tidak fungsional. Bentuk organisasi kurikulum ini mulai
digunakan di Indonesia sejak tahun 1975.
Ciri-ciri
kurikulum bidang studi, Antara lain (1) kurikulum terdiri atas bidang studi
yang merupakan perpaduan beberapa mata pelajaran yang serumpun dan memiliki
ciri-ciri yang sama, (2) bahan pelajaran bertitik tolak pada suatu inti masalah
(core subject) tertentu, kemudian dijabarkan menjadi pokok bahasan, (3)
bahan pelajaran disusun berdasarkan standar kompetensi da bahan pelajaran
disusun berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah
ditetapkan, (4) strategi pembelajaran bersifat terpadu, (5) guru berperan
sebagai guru bidang studi, dan (6) penyusunan kurikulum mempertimbangkan minat,
masalah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
d.
Integrated
Curriculum
Jenis
organisasi kurikulum ini disusun berdasarkan ananlisis bidang kehidupan atau
kegiatan utama manusia dalam masyarakat yang disebut social functions atau
major areas of living. Menurut Zainal Arifin (2013:101) yang
meliputi: perlindungan dan pelestarian hidup, kekayaan dan sumber alam;
produksi barang dan jasa serta distribusinya; konsusmsi benda dan jasa;
komunikasi dan transportasi benda dan manusia; rekreasi; ekspresi rasa
keindahan; ekspresi rasa keagamaan; pendidikan; perluasan kebebasan; integrasi
kepribadian; dan penelitian.
Herbert
Spencer membagi bentuk kurikulum ini menjadi lima bidang kehidupan, yaitu
pemeliharaan diri, pemeliharaan diri secara tidak langsung (sandang, pangan dan
papan), keluarga, kewarganegaraan, dan kegiatan di waktu senggang. Selanjutnya,
kurikulum terpadu dapat juga disusun berdasarkan minat, kebutuhan dan
masalah-masalah yang dihadapi peserta didik, seperti kesehatan, keuangan,
pekerjaan, kegiatan sosial, pernikahan, agama, moral, keluarga, dan pendidikan.
Dengan kata lain, dalam social function ini dapat dimasukkan segalam
macam kegiatan manusia sehingga peserta didik dapat mengenalinya dan mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya.
Integrasi
ini dapat tercapai dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang
pemecahannya memerlukan berbagai disiplin atau mata pelajaran. Proses belajar
dilakukan melalui pemecahan masalah yang dihubungkan dengan bidang kehidupan.
Bahan pelajaran menjadi instrumental dan fungsional untuk memecahkan suatu
masalah sehingga batas-batas Antara mata pelajaran dapat ditiadakan. Kurikulum
terpadu memberikan peluang lebih besar kepada peserta didik untuk melakukan
kerja kelompok, mendorong belajar aktif dan berpikir ilmiah, memanfaatkan
masyarakat dan lingkungan sebagai sumber belajar, memperhatikan perbedaan
individual, dan melibatkan peserta dalam perencanaan pembelajaran karena
oraganisasi kurikulum ini mengutamakan proses belajar.
Kurikulum
terpadu bersifat fleksibel dan tidak mengharapkan hasil belajar yang sama dari
semua peserta didik. Tanggung jawab mengembangkan kurikulum banyak dipercayakan
kepada guru-guru, orang tua, dan peserta didik.
e.
Core Curriculum
Organisasi
kurikulum ini bertitik tolak dari mata pelajaran tertentu sebagai inti (core).
Menurut Caswell sebagai pelopor organisasi kurikulum ini, “core is a
continuous, careful planned series of experiences which are based on
significant personal and social problems and which involve learning of common
concern to all youth” (S. Nasution, 1991). Berdasarkan pengertian ini, maka
pada dasarnya kurikulum ini (core curriculum) merupakan bagian dari kurikulum
secara keseluruhan dan termasuk kurikulum terpadu. Alasannya adalah kurikulum
inti menggunakan bahan dari segala disiplin ilmu atau mata pelajaran yang
diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik, termasuk juga
bahan dari lingkungan.
Kurikulum
inti dapat juga dilihat sebagai suatu program pendidikan umum. Tujuannya adalah
untuk membentuk pribadi-pribadi yang terintegrasi (fisik, mental, intelektual),
menjadi warga negara yang baik, dan mampu bekerja sama. Perencanaan kurikulum
inti harus dilakukan bersama antara guru dan peserta didik.
Adapun
ciri-ciri kurikulum inti, antara lain sebagai dijelaskan oleh Zainal Arifin
(2013:102-103) sebagai berikut: (1) terdiri atas serangkaian pengalaman yang
penting dan saling berkaitan untuk pertumbuhan dan perkembangan peserta didik,
(2) berkaitan dengan pendidikan umum, (3) direncanakan secara kontinu sebelum
dan selama dijalankan, (4) didasarkan atas masalah-masalah pribadi dan sosial,
(5) disajikan dalam satu kesatuan yang utuh, (6) dilaksanakan dalam jangka
waktu yang lebih lama, dan (7) diperuntukkan bagi semua peserta didik.
f.
Activity Curriculum
Activity
curriculum sering juga disebut experience
curriculum. Organisasi kurikulum ini tidak memiliki struktur yang formal
dan tidak dirancang sebelumnya. Isi kurikulum ditentukan berdasarkan kebutuhan
dan minat peserta didik sehingga wajar apabila kurikulum ini lebih menonjolkan
kegiatan dan pengalaman peserta didik,
walupun dalam setiap kurikulum terdapat berbagai kegiatan dan pengalaman.
Implikasinya adalah guru perlu mengidentifikasi kebutuhan dan minat peserta
didik serta membantu peserta didik dalam memilih kebutuhan dan minat yang
dianggap penting. Kurikulum harus disusun bersama oleh guru dan peserta didik
dengan penekanan utama pada prosedur pemecahan masalah.
John
Dewey adalah orang yang pertama kali melaksanakan kurikulum ini di Sekolah
Laboratorium Universitas Chicago pada tahun 1896. Dewey mendasarkan
kegiatan-kegiatan anak pada keempat instink atau impulse, yaitu:
“the social impulse, the constructive impulse, the impulse to investigate
and experiment, and the expressive or artistic impulse”. Tujuan kurikulum
ini bukan untuk memberikan pendidikan keterampilan atau kejuruan melainkan
memberi kesempatan berpikir dan berbuat secara sistematis yang berkaitan dengan
suatu pekerjaan. Kegiatan tersebut tidak hanya bersifat manual, tetapi juga
intelektual. Artinya, ketika melakukan suatu kegiatan, peserta didik
mengumpulkan berbagai pengethuan yang fungsional dan instrumental. Kurikulum
ini menggunakan minat sebagai pusat kegiatan. Akhirnya, pada tahun 1918
gagasan-gagasan dari John Dewey dikebangkan oleh William H. Kilpatrick dalam
bentuk metode proyek.
Dari
beberapa jenis organisasi kurikulum yang diuraikan di atas, setiap bentuk
oraganisasi kurikulum tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Secara teoretis boleh saja para penganut organisasi kurikulum saling mengecam.
Karena dasar analisis psikologi dan teori belajar yang digunakan memang
berbeda. Dalam prakteknya organisasi kurikulum itu harus saling berdampingan
dan melengkapi. Pertimbangannya adalah bahwa tidak ada satu bentuk kurikulum
yang dianggap paling baik. Organisasi kurikulum dikatakan baik atau efektif
jika memiliki kontinuitas, integrasi, sistematis, dan fungsional.
4.2.3 Faktor-Faktor dalam Organisasi Kurikulum
Menurut Hilda Taba dalam Zainal Arifin (2013:104),
organisasi kurikulum dapat dipandang sebagai one of the most potent factors
in determining how learning proceeds. Oleh sebab itu, ada beberapa faktor
yang harus dipertimbangkan dalam organisasi kurikulum, yaitu:
a.
Ruang Lingkup (Scope)
Ruang
lingkup kurikulum menunjukkan keseluruhan, keluasan atau kedalaman, dan
batas-batas bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Bahan
pelajaran tersebut merupakan bahan yang terseleksi karena dianggap penting dan
sesuai dengan tugas-tugas perkembangan peserta didik. Dikatakan penting karena
pesrta didik mempunyai berbagai kepentingan, Antara lain ingin melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ingin masuk ke dalam dunia kerja, dapat
beradaptasi dengan lingkungan, dapat bersosialisasi dan memecahkan
masalah-masalah sosial, menghargai karya dan seni serta ingin memiliki
nilai-nilai agama dengan baik.
Pemilihan
dan penentuan ruang lingkup bahan pelajaran sebaiknya juga mempertimbangkan
hal-hal seperti berikut: (1) harus melibatkan para pakar kurikulum, pakar
filsafat pendidikan, guru bidang studi, pakar psikologi, sosiologi, (2) perlu
mendapat masukan dari berbagai pihak sebagai bahan pertimbangan, (3) didukung
oleh hasil penelitian yang relevan dan memadai. Dengan demikian, ruang lingkup
isi kurikululm dapat diprtanggungjawabkan secara profesional dan proporsional.
b.
Urutan (Sequence)
Urutan
bahan pelajaran menunjukkan kronologis bahan yang akan disampaikan kepada
peserta didik, kapan bahan tersebut sebaiknya disampaikan, mana bahan yang
harus disampaikan terlebih dahulu dan mana bahan yang akan dipelajari kemudian.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan tingkat kematangan peserta didik, latar belakang,
pengalaman atau pengetahuan, tingkat kecerdasan, minat dan kebutuhan peserta
didik, kegunaan bahan, dan tingkat kesulitan bahan. Apalagi dalam pembelajaran
bahasa yang bersifat keterampilan dan berjenjang, sangat diperlukan keseriusan,
ketelitian dan kecermatan dalam menentukan mana bahan pelajaran yang harus
dipelajari terlebih dahulu dan yang lanjutan.
Menurut
Piaget, urutan tersebut dapat dilakukan dengan cara, antara lain mulai dari
yang kecil hingga yang terbesar, mulai dari yang sederhana sampai yang
kompleks, mulai dari yang konkret sampai dengan yang abstrak. Menurut Gestalt,
mulai dari keseluruhan sampai dengan bagian-bagian, mulai dari yang mudah
sampai yang sulit.
Menurut
Nana Syaodih Sukmadinata (2005), ada beberapa cara untuk menyusun urutan bahan
pelajaran, yaitu “urutan kronologis, urutan kausal, urutan structural, urutan
logis dan psikologis, urutan spiral, rangkaian ke belakang (backward chining),
dan urutan berdasarkan hierarki belajar.” Berdasarkan urutan ini, kemudian
disusun bahan pelajaran untuk tiap semester, tiap kelas, dan tiap jenjang
pendidikan.
Dalam
organisasi kurikulum yang subject-centered, urutan bahan pelajaran
relatif lebih mudah dibandingkan dengan integrated curriculum, karena
mata pelajaran telah disusun terlebih dahulu secara sistematis dan logis.
c.
Kesinambungan (Continuity)
Sering
kali kita mendengar kritikan dari pihak perguruan tinggi bahwa kurikulum di
tingkat SLTA (SMA/SMK/MA) tidak relevan atau masih dangkal karena mahasiswa
sulit memahami mata kuliah. Begitu juga krtikan dari pihak SLTA terhadap SLTP
(SMP/MTs) dan dari SLTP ke SD/MI. sebenarnya inti persoalannya adalah adanya
kesenjangan (gap) antara apa yang ada (das Sein) dengan yang
seharusnya (das Sollen), tumpang tindih (overlapping) antara mata
pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain bahkan Antara topik yang
satu dengan topik yang lain, dan ketidaksinambungan bahan pelajaran dan
pengalaman belajar. Contohnya, peserta didik sudah belajar bahasa Arab dari
tingkat Ibtidaiyah sampai pertguruan tinggi (lebih kurang 12 tahun), tetapi
ternyata belum dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab dengan baik. Begitu juga
ketika peserta didik belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) dari sejak SD/MI
sampai dengan perguruan tinggi (lebih dari 12 tahun), tetapi ternyata belum
dapat membaca al-Quran dengan baik, atau belum bisa sholat dengan baik. Mengapa
pula peserta didik belajar bahasa Indonesia dari sejak SD/MI sampai dengan
perguruan tinggi, tetapi ternyata belum dapat menulis secara ilmiah, dan
seterusnya.
Kesinambungan
seharusnya menunjukkan adanya peningkatan, pendalaman, dan perluasan bahan
pelajaran sehingga peserta didik diharapkan dapat mempelajari bahan yang lebih
kompleks. Dalam kurikulum spiral, faktor kesinambungan ini snagat diperhatikan.
Untuk memantapkan kesinambungan kurikulum perlu dibentuk tim khusus yang
melibatkan para pengembang kurikulum dari SD/MI sampai dengan perguruan tinggi.
d.
Terpadu (Integrated)
Faktor
ini berangkat dari asumsi bahwa bidang-bidang kehidupan memerlukan pemecahan
secara multidisiplin. Artinya, jika guru menggunakan subject-centered
curriculum, maka besar kemungkinan pengetahuan yang diperoleh peserta didik
menjadi terlepas-lepas dan tidak fungsional. Untuk itu, perlu adanya fokus
bahan pelajaran yang terpadu, baik berupa konsep, prinsip maupun
masalah-masalah yang perlu dipecahkan sehingga memungkinkan penggunaan
multidisiplin secara fungsional. Keterpaduan ini dapat dilakukan dalam bentuk
kurikulum korelasi, kurikulum bidang studi, atau kurikulum terpadidang studi,
atau kurikulum terpadu berdasarkan bidang-bidang kehidupan. Untuk mencapai
pemahaman yang utuh dan menyeluruh, maka keterpaduan ini bukan hanya dilakukan
oleh guru dalam berbagai mata pelajaran, tetapi juga oleh peserta didik melalui
pengetahuan dari berbagai sumber belajar yang saling berhubungan.
e.
Keseimbangan (Balance)
Faktor
keseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah keseimbangan isi atau bahan
pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dan keseimbangan proses
pembelajaran. keseimbangan isi berkaitan dengan seberapa besar pentingnya suatu
bahan pelajaran bagi kehidupan peserta didik. Begitu juga keseimbangan proses
pembelajaran. peserta didik tidak hanya belajar pasif dan impresi atau menerima
pelajaran melalui membaca dan mendengarkan saja, tetapi juga perlu belajar
aktif dan melakukan ekspresi atau menyatakan buah pikirannya melalui diskusi,
tanya jawab, eksprimen, pemecahan masalah, inkuisri dan sebagainya.
f.
Waktu (Time)
Alokasi
waktu harus dipertimbangkan dalam organisasi kurikulum, dalam arti apakah suatu
mata pelajaran, misalnya, akan diberikan selama 2 jam pelajaran per hari, satu
minggu, satu bulan, satu semester, satu tahun atau tiap tahun. Sering kali
terjadi perbedaan pendapat tentang alokasi waktu, antara pengembang kurikulum
di tingkat pusat dengan guru mata pelajaran di sekolah. Hal ini biasanya
masing-masing menggunakan kriteria yang berbeda. Untuk sekadar pegangan
bersama, distribusi waktu dapat ditentukan berdasarkan kriteria, antara lain
tradisi pengalaman, pertimbangan para pengembang kurikulum, nilai atau manfaat,
tingkat kesulitan setiap mata pelajaran dan standar kompetensi mata pelajaran.
4.2.4 Prosedur Mereorganisasi Kurikulum
Terdapat beberapa cara untuk mereorganisasi kurikulum, di
antaranya sebagai berikut.
a.
Melalui Buku Pelajaran
Buku
pelajaran merupakan sumber belajar yang penting bagi peserta didik dalam
mempelajari suatu kurikulum. peserta didik harus lebih banyak belajar melalui
buku pelajaran daripada apa yang diajarkan guru di dalam kelas. Sebab, antara
waktu yang tersedia tidak sebanding dan bahkan tidak memadai dengan banyaknya
isi/materi yang ingin disampaikan. Selain itu, jika buku pelajaran itu sudah
ketinggalan, berarti sekolah tersebut juga ketinggalan. Oleh sebab itu, sangat
penting mereorganisasi kurikulum melalui buku pelajaran di sekolah. Asumsi
prosedur ini adalah buku pelajaran disusun oleh orang yang ahli dalam
bidangnya. Penulis buku pelajaran tentunya menggunakan berbagai suerbagai
sumber bacaan lain untuk dipelajari oleh peserta didik.
Mengingat
sumber bacaan yang digunakan berbeda-beda, maka sekolah harus selektif di dalam
mereorganisasi kurikulum melalui buku pelajaran ini. Jika perlu, sekolah
membentuk tim khusus untuk menyeleksi buku pelajaran tersebut. Jika guru kurang
hat-hati dalam memilih buku bacaan, maka dapat berakibat rusaknya pengetahuan
yang dibangun oleh guru sendiri kepada peserta didik.
b.
Melalui Adopsi
Jika
di sekolah lain memiliki suatu kurikulum yang dianggap lebih baik, kurikulum
tersebut dapat diadopsi untuk dipelajari. Apabila sesuai dengan kondisi dan
tujuan sekolah, kurikulum tersebut dapat ditambahkan pada kurikulum yang ada.
Dengan demikian, kurikulum sekolah menjadi kaya dengan program-program terbaik
dan berusaha menghilangkan program yang dianggap kurang baik. Sering terjadi sekolah
sukar membuang program yang kurang baik tersebut, akibatnya program sekolah
semakin banyak dan kurang menunjukkan kesatuan.
c.
Melalui Analisis
Kegiatan
Kurikulum
merupakan pengalaman yang diberikan kepada peserta didik agar mencapai
kehidupan seperti orang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan analisis
kegiatan kehidupan orang dewasa dan hasilnya dijadikan bahan pelajaran untuk
peserta didik. Franklin Bobbit dalam Zainal Arifin (2013:109) melakukan
analisis kegiatan, yang meliputi kegiatan berbahasa sebagai komunikasi sosial,
kegiatan kesehatan, kegiatan kewarganeraan, kegiatan sosial, kegiatan rekreasi,
kegiatan memelihara kesehatan jiwa, kegiatan keagamaan, kegaitan keluarga,
kegiatan non-vokasioanal, dan kegiatan kerja yang sesuai dengan panggilan hati.
Melalui prosedur ini diharapkan bahan pelajaran dapat diarahkan pada kegiatan
kehidupan nyata.
d.
Melalui Fungsi
Sosial
Prosedur
ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu Pertama, merumuskan strategi
fungsi sosial yang meliputi: bagaimana hidup yang ideal, merumuskan sifat atau
hakikat individu dalam kehidupan sosial, mengemukakan sifat-sifat belajar, dan
merumuskan peranan sekolah tertentu dalam kehidupan sosial. Kedua, merumuskan
ruang lingkup fungsi kehidupan sosial berdasarkan kriteria tertentu, yang
meliputi hidup dalam lingkungan keluarga, kehidupan waktu senggang, kehidupan
sebagai warga Negara, kehidupan kelompok yang terorganisasi, kehidupan sebagai
konsumen, kehidupan sebagai produsen, kehidupan berkomunikasi, dan kehidupan
transformasi.
e.
Melalui Survei
Pendapat
Cara
ini dapat dilakukan melalui survei terhadap berbagai pendapat dari berbagai
pihak, seperti peserta didik, orang tua, guru, pengawas kepala sekolah, tokoh
masyarakat, dan mitra sekolah.
f.
Melalui Studi
Kesalahan
Prosedur
ini dapat dilakukan melalui analisis kesalahan dan kekurangan terhadap proses
dan hasil kegiatan kurikuler.