Sabtu, 10 Mei 2014

Komponen dan Organisasi Kurikulum



BAB IV
KOMPONEN DAN ORGANISASI KURIKULUM


4.1       Komponen Kurikulum
Dalam konteks dan desain pengembangan kurikulum, maka para pengembang kurkikulum (termasuk guru) harus memperhatikan kerangka dasar kurikulum dengan pendekatan sistem, yaitu kurikulum yang memiliki komponen-komponen pokok kurikulum, baik pada tingkat makro (nasional), institusi (lembaga), bidang studi atau mata pelajaran, maupun pada tingkat program pembelajaran (silabus dan RPP).
            Hilda Taba (1962), memerinci isi kurikulum menjadi: tujuan, pengalaman belajar, organisasi bahan kurikulum dan kegiatan belajar, dan evaluasi. Selanjutnya, Glenys G. Unruh dan Adolph Unruh (1984) mengembangkan komponen kurikulum berdasarkan definisi kurikulum, yaitu suatu rencana tentang:  (a) tujuan, (b) isi dari apa yang dipelajari di dalamnya, (c) proses pembelajaran, dan (d) evaluasi untuk hasil-hasil pembelajaran.
            Komponen kurikulum dapat juga dilihat berdasarkan siklus pengembangan kurikulum. Setiap perbuatan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang berkenaan dengan pembinaan pribadi, pembinaan kemampuan sosial, kemampuan untuk bekerja, ataupun untuk pembinaan perkembangan lebih lanjut. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan isi/materi yang harus disampaikan kepada peserta didik melalui proses atau kegiatan yang sistematis. Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat keefektifan kurikulum dan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi yang disampaikan, maka diperlukan sistem evaluasi yang baik. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada empat komponen pokok kurikulum, yaitu tujuan, isi/materi, proses, dan evaluasi. Komponen-komponen tersebut harus ada kesesuaian, saling berhubungan dan ketergantungan, sehingga membentuk sebuah sistem. Apabila ada satu komponen yang memiliki kelemahan, maka akan berpengaruh dan menajdi lemah pula komponen-komponen lainnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan lemahnya sistem kurikulum itu sendiri secara keseluruhan.
4.1.1    Tujuan
            Dalam kerangka dasar kurikulum, tujuan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis, karena akan mengarahkan dan memengaruhi komponen-komponen kurikulum lainnya. Untuk memahami komponen tujuan ini secara komprehensif, perlu diketahui terlebih dahulu hierarki tujuan pendidikan seperti skema berikut.
Tujuan Pendidikan
Nasional
Tujuan Institusional/SKL
Tujuan Pembelajaran Umum/KD
Tujuan Kurikuler/SK
Tujuan Pembelajaran Khusus/Indikator








Skema: 4.1 Hierarki Tujuan Kurikulum
            Berdasarkan hierarki tujuan tersebut, dapat dipahami tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan yang menduduki posisi paling tinggi, sehingga menjadi “payung” bagi tujuan-tujuan di bawahnya. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan oleh pemerintah sebagai pedoman bagi pengembangan tujuan-tujuan pendidikan yang lebih khusus.
            Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Bab II pasal 3 disebutkan bahwa tujuannya adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
            Ciri-ciri manusia ideal, baik secara universal maupun secara nasional, dalam praktiknya dijabarkan lagi ke dalam tujuan institusional. Tujuan institusional adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap lembaga pendidikan, baik pendidikan formal (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA) maupun pendidikan nonformal (lembaga kursus, pesantren). Selanjutnya dirumuskan ke dalam tujuan kurikuler. Tujuan kurikuler adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran, seperti bidang studi PAI, IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, dan sebagainya seperti Bahasa Arab. Kemudian, dioperasionalkan ke dalam tujuan pembelajaran umum dan pembelajaran khusus. Tujuan pembelajaran umum adalah tujuan yang ingin dicapai pada setiap pokok bahasan, sedangkan tujuan pembelajaran khusus (instructional objective) adalah tujuan dari setiap subpokok bahasan.
            Hierarki tujuan pendidikan secara utuh dapat kita lihat dalam kurikulum 1975 sampai dengan kurikulum 1994 yang bersifat goal-oriented, sedangkan dalam kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum) dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Kompetensi (SK) mata pelajaran, Kompetensi Dasar, dan Indikator.  Bedanya, kalau tujuan harus “dicapai” oleh peserta didik, sedangkan kompetensi harus “dikuasai” oleh peserta didik. Istilah “dikuasai” mengandung implikasi yang lebih berat bagi guru dibandingkan dengan istilah “dicapai”, karena peserta didik bukan hanya memperoleh pengetahuan saja, tetapi harus dapat menerapkannya dengan baik, diikuti dengan sikap yang positif. Masalahnya sekarang adalah bagaimana cara merumuskan tujuan?
            Hilda Taba memberikan beberapa petunjuk tentang cara merumuskan tujuan, yaitu: (a) tujuan itu hendaknya berdimensi dua, yaitu dimensi proses dan dimensi produk. Dalam dimensi proses termasuk menganalisis, menginterpretasi, mengingat, dan sebagainya, sedangkan yang termasuk dalam dimensi produk adalah bahan yang terdapat dalam tiap mata pelajaran, (b) menganalisis tujuan yang bersifat umum  dan kompleks menjadi tujuan yang spesifik, sehingga diperoleh bentuk kelakuan yang diharapkan, (c) memberi petunjuk tentang pengalaman apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, (d) sutau tujuan tidak selalu dapat dicapai dengan segera, kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, (e) tujuan harus realistis dan dapat diterjemahkan dalam bentuk kegiatan atau pengalaman belajar tertentu, dan (f) tujuan itu harus komprehensif, artinya meliputi segala tujuan yang ingin dicapai di sekolah, bukan hanya penyampaian informasi, tetapi juga keterampilan berpikir, hubungan sosial, sikap terhadap bangsa dan negara, dan sebagainya.
            Setiap rumusan tujuan pendidikan harus bersifat komprehensif, yaitu mengandung bidang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Pembidangan ini sesuai dengan teori taksonomi tujuan dari Bloom yang mengelompokkan tingkah laku manusia menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif berkenaan dengan pengenalan dan pemahaman, pengetahuan, perkembangan kecakapan dan keterampilan intelektual. Tanah afektif berkenaan dengan perubahan-perubahan dalam minat, sikap, nilai-nilai, perkembangan apresiasi dan kemampuan menyesuaikan diri. Ranah psikomotor berkenaan dengan keterampilan-keterampilan gerak dan keterampilan-keterampilan manipulasi.
            Domain-domain taksonomi Bloom sangat bermanfaat di dalam memilah tujuan menjadi beberapa bidang, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk tujuan tingkah laku, tidak cukup hanya sampai dengan pembidangan, tetapi harus juga menggunakan kata kerja operasional sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh kata kerja operasional sesuai dengan jenjang kemampuan pada setiap domain.
Skema: 4.2
Pemetaan Kata Kerja Operasional Domain Kognitif
No
Jenjang Kemampuan
Contoh Kata Kerja Operasional
1
Pengetahuan
Mendefinisikan, mengidentifikasi, melabel, menjodohkan, menyebut (nama), menyatakan.
2
Pemahaman
Mengubah, memberi alasan, membedakan, menjelaskan, memberi contoh, menarik kesimpulan, meramalkan, menyimpulkan (dari gejala khusus ke umum), menulis kembali (menyingkat).
3
Aplikasi
Mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, menemukan, memanipulasi, memodifikasi, meramlkan.
4
Analisis
Mengurai, menyatakan dalam bentuk diagram, membeda-bedakan, mengidetifikasi golongan, mengilustrasikan, menunjukkan titik berat (persoalan), mempertimbangkan.
5
Sintesis
Mengakategorikan, memadukan, menyarikan, mencipta, menjelaskan, merencanakan, merevisi, menceritakan, mengatur kembali, medesain.
6
Evaluasi
Menilai, membandingkan, menyimpulkan, mengkritik, membedakan secara mencolok, menjelaskan berdasarkan beberapa pertimbangan, memutuskan, menentukan, mencari hubungan, menerima atau menolak gagasan, mengambil sari isi.

Skema: 4.3
Pemetaan Kata Kerja Operasional Domain Afektif
No
Unsur Tujuan
Contoh Kata Kerja Operasional
1
·   Mendengarkan (menyimak) dengan tekun.
·   Menunujukkan kesadaran pentingnya belajar.
·   Menunjukkan kepekaan terhadap kebutuhan manusia dan masalah sosial.
·   Menerima perbedaan kesukuan dan kebudayaan
·   Mengingat dengan gairah kegiatan-kegiatan kelas
Mengajukan pertanyaan, memilih, menjelaskan, memperhatikan, memberi dan menerima, menyebut nama, menunjukkan, menyeleksi, menjawab pertanyaan
2

Mencari jawaban, menolong, menyetujui, mendiskusikan, memberi salam, menunjukkan (kegiatan), mempraktikkan, hadir, melapor, menyeleksi, menceritakan.
3

Mengundang, menerima keputusan, membagi rasa, kerja sama, ikut serta, mengajukan usul, melaporkan, mempelajari, mengikuti.
4

Menambah, mengubah, mengatur, melengkapi, mempertahankan, menjelaskan, mengidentifikasi, menyentesis, menyiapkan, menghubungkan.
5

Bertindak, menunjukkan, membedakan, memodifikasi, mendengarkan, mengusulkan, bertanya, memperbaiki, melayani, menguji kebenaran, menggunakan.

4.1.2    Isi/Materi
              Isi/materi kurikulum pada hakikatnya adalah semua kegiatan dan pengalaman yang dikembangkan dan disusun dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Secara umum, isi kurikulum itu dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: (a) logika, yaitu pengetahuan tentang benar-salah, berdasarkan prosedur keilmuan, (b) etika, yaitu pengetahuan tentang baik-buruk, nilai, dan moral, dan (c) estetika, yaitu pengetahuan tentang indah-jelek, yang ada nilai seni.
Pada kurikulum pendidikan formal, pada umumnya organisasi isi/materi kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran dan/atau bidang studi yang tertuang dalam struktur kurikulum sesuai dengan tujuan institusional masing-masing. Dalam struktur tersebut diatur pula alokasi waktu yang diberikan untuk setiap bidang studi atau mata pelajaran pada setiap minggunya.
Tabel : 4.4
Contoh Struktur Kurikulum MI
No.
Komponen
I
II
III
IV
V
VI
Kelompok A






1
Pendidikan Agama
a.  Al Qur’an Hadits
b.  Aqidah Akhlak
c.   Fiqih
d. SKI

2
2
2
-

2
2
2
-

2
2
2
2

2
2
2
2

2
2
2
2

2
2
2
2
2
PPKN
5
5
6
5
5
5
3
Bahasa Indonesia
8
9
10
7
7
7
4
Bahasa Arab
2
2
2
2
2
2
5
Matematika
5
6
6
6
6
6
6
IPA



3
3
3
7
IPS



3
3
3
Kelompok B






8
Seni Budaya & Prakarya (termasuk muatan lokal*)
4
4
4
5
5
5
9
Pend. Jasmani, OR & Kes (termasuk muatan lokal).
4
4
4
4
4
4
Jumlah
34
36
40
43
43
43

Selanjutnya, untuk tingkat sekolah dasar dan tingkat menengah terdapat jenis struktur kurikulum yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.      Pendidikan umum (general education), yaitu program pendidikan yang bertujuan membawa peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Sifat pendidikan umum ini adalah wajib diikuti oleh setiap siswa pada semua lembaga pendidikan dan tingkatannya. Mata pelajaran yang termasuk dalm kelompok pendidikan umum adalah: Pendidikan Agama, PPKN, Olah Raga-Kesehatan, Kesenian, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.
b.      Pendidikan akademik (academic education), yaitu program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan intelektual sehingga diharapkan peserta didik memperoleh kualifikasi pengetahuan yang fungsional menurut tuntutan disiplin ilmu masing-masing. Tujuannya adalah untuk memberikan bekal kepada lulusan agar dapat melanjutkan studi ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Sifat pendidikan akademik ini adalah permanen dan menggambarkan pola berpikir menurut disiplin ilmu masing-masing. Bidang studi yang termasuk kelompok pendidikan akademik, Antara lain IPA, IPS, Matematika, dan Bahasa Inggris.
c.       Pendidikan kecakapan (life skill education), program pendidikan yang bertujuan untuk memperoleh kecakapan dan keterampilan tertentu, sebagai bekal hidup peserta didik di masyarakat. Sifat pendidikan ini temporer, artinya sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan keperluan. Demikian juga sifatnya elektif, artinya setiap peserta dapat memilih jalur keterampilan yang diinginkannya, seperti keterampilan di bidang jasa, pertanian, perikanan, perbengkelan.
d.     Pendidikan Kejuruan (vocational education), yaitu program yang mempersiapkan peserta didik untuk memperoleh keahlian atau pekerjaan tertentu sesuai dengan jenis sekolah yang ditempuhnya. Pendidikan kejuruan ini lazimnya terdapat padaa sekolah-sekolah kejuruan, bukan pada sekolah umum (SMP dan SMA). Misalnya untuk SMK ada kelompok bidang studi ekonomi, dan kelompok bidang-bidang studi teknik. Kadar bobot setiap struktur kurikulum untuk setiap lembaga pendidikan tidak sama, baik dalam hal jumlah jam pelajaran maupun dalam jumlah mata pelajaran atau bidang studinya.
4.1.3    Proses
            Proses pelaksanaan kurikulum harus menunjukkan adanya kegiatan pembelajaran, yaitu upaya guru untuk membelajarkan peserta didik, baik di sekolah melalui kegiatan tatap muka, maupun di luar sekolah melalui kegiatan terstruktur dan mandiri. Dalam konteks inilah, guru dituntut untuk menggunakan berbagai strategi pembelajaran, metode mengajar, media pembelajaran, dan sumber-sumber belajar.
            Pemilihan strategi pembelajaran harus disesuaikan  dengan tujuan kurikulum (SK/KD), karakteristik materi pelajaran, dan tingkat perkembangan peserta didik. Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam menyampaikan isi kurikulum, antara lain: (a) strategi ekspositori klasikal, yaitu guru lebih banyak menjelaskan materi yang sebelumnya telah diolah sendiri, sementara siswa lebih banyak menerima materi yang telah jadi, (b) strategi pembelajaran heuristik (discovery dan inquiry), (c) strategi pembelajaran kelompok kecil: kerja kelompok dan diskusi kelompok, dan (d) strategi pembelajaran individual.
            Di samping strategi, ada juga metode mengajar. Metode adalah cara yang digunakan guru untuk menyampaikan isi kurikulum atau materi pelajaran sesuai dengan tujuan kurikulum. Sekalipun yang menggunakan metode mengajar itu adalah guru, tetapi tetap harus berorientasi dan menekankan pada aktivitas belajar peserta didik secara optimal. Untuk memilih metode mana yang akan digunakan, guru dapat melihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan yang berpusat pada matapelajaran, pendekatan yang berpusat pada peserta didik, dan pendekatan yang berorientasi pada kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, tidak ada satu metode pun yang dianggap paling ampuh. Oleh sebab itu, guru harus dapat menggunakan multimetode secara bervariasi. Selain multimetode, di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus dapat menggunakan multimedia, baik media visual, media audio, maupun media audio-visual.
            Sumber belajar adalah bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembelajaran. dalam sistem pembelajaran yang tradisional, penggunaan sumber belajar terbatas pada informasi yang diberikan oleh guru, dan beberapa di antaranya ditambah dengan buku sumber. Bentuk sumber belajar yang lain cenderung kurang diperhatikan, sehingga aktivitas belajar peserta didik kurang berkembang, padahal berdasarkan pendekatan teknologi pendidikan, sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu manusia, bahan, lingkungan, alat, dan perlengkapandekatan teknologi pendidikan, sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu manusia, bahan, lingkungan, alat, dan perlengkapan, serta aktivitas.
4.1.4    Evaluasi
            Untuk mengetahui efektivitas kurikulum dan dalam upaya memperbaiki serta menyempurnakan kurikulum, maka diperlukan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum merupakan usaha yang sulit dan komplekks, karena banyak aspek yang harus dievaluasi, banyak orang yang terlibat, dan luasnya kurikulum yang harus diperhatikan.
            Evaluasi kurikulum memerlukan ahli-ahli yang mengembangkannya menjadi suatu disiplin ilmu. Evaluasi kurikulum juga erat hubungannya dengan definisi kurikulum itu sendiri, apakah sebagai kumpulan mata pelajaran atau meliputi semua kegiatan dan pengalaman anak di dalam maupun di luar sekolah. Berdasarkan definisi kurikulum yang digunakan akan dapat diketahui aspek-aspek apa yang akan dievaluasi. Untuk mengetahui aspek-aspek evaluasi kurikulum, dapat dilihat dari perspektif model-model evaluasi kurikulum yang dibicarakan dalam bab tersendiri.
4.2       Organisasi Kurikulum      
4.2.1    Konsep Organisasi Kurikulum
            Organisasi kurikulum adalah susunan pengalaman dan pengetahuan baku yang harus disampaikan dan dilakukan peserta didik untuk menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Pengalaman tersebut ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Pengalaman langsung adalah pengalaman yang diperoleh peserta didik sebagai hasil interaksi secara langsung dengan dunia sekitarnya. Misalnya, pengaruh kegiatan eksperimen di ruang laboratorium bahasa, pengaruh keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, dan sebagainya. Pengalaman tidak langsung adalah pengalaman yang diperoleh peserta didik melalui perantara, seperti pengalaman yang diperoleh dari buku sumber, dan menonton televise. Pengalaman tidak langsung tersebut dapat berbentuk pengetahuan baku yang memiliki sifat dinamis. Pengetahuan baku tersebut memungkinkan untuk berkembang sehingga memerlukan peninjauan, peningkatan dan pemutakhiran sesuai dengan perkembangan zaman.
            Organisasi kurikulum berhubungan erat dengan kualitas kegiatan dan pengalaman belajar peserta didik. Organisasi kurikulum harus dipilih dan diatur sedemikian rupa untuk dikembangkan lebih luas dan lebih mendalam sehingga peserta didik memperoleh sesuatu yang berharga dari program pendidikan yang telah ditetapkan.
            Para pengembang kurikulum diharapkan dapat mengembangkan berbagai program pendidikan yang lenih bersifat komprehensif, konsisten, dan efektif. Kegiatan belajar di sekolah tentu berbeda dengan kegiatan belajar di luar sekolah. Di sekolah, semua kegiatan dan pengalaman belajar diatur dan diorganisasikan secara formal sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat peserta didik. Hal tersebut memang sudah menjadi kewajiban sekolah dalam menjalankan fungsinya, sedangkan di luar sekolah kegiatan dan pengalaman belajar peserta didik tidak diatur dan diorganisasikan secara formal, terutama berkaitan dengan kapan dan di mana kegiatan belajar dilakukan. Sekalipun demikian, apa yang harus dipelajari peserta didik tetap harus terstruktur, terutama berkaitan dengan mata pelajaran.

4.2.2    Model Organisasi Kurikulum
            Terdapat beberapa model organisasi kurikulum, setidaknya menurut Zais dalam bukunya Curriculum: Principles and Foundation mengemukakan ada tiga kategori desain kurikulum, yaitu “subject centered designs, learner-centered designs, and problem-centered designs”. Berikut akan dijelaskan beberapa model organisasi kurikulum, yaitu:
a.    Subject-centered Curriculum
Organisasi kurikulum ini terdiri atas berbagai mata pelajaran yang terpisah-pisah satu sama lain, karena itu sering disebut isolated-subject curriculum atau subject-matter curriculum. Misalnya, mata pelajaran nahwu, sharaf, imla’, insya’, muhadatsah, khat, balaghah, dst. atau mata pelajaran berhitung, aljabar, ilmu ukur, sejarah, ekonomi, geografi dan ilmu bumi. Mata pelajaran-mata pelajaran tersebut terpisah-pisah (isolated) satu sama lain, sehingga tampak mudah diatur dalam pelaksanaannya. Sekalipun guru mengajar untuk satu kelas, tetapi tetap dalam mengajarkan mata pelajarannya secara terpisah-pisah dan tidak ada korelasi satu dengan lainnya. Sifat yang terpisah-pisah itu memudahkan pula bagi guru untuk membelajarkan peserta didik, termasuk melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik. Peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan belajar dengan menghafal pelajaran atau membuat rangkuman daripada melakukan diskusi atau pemecahan masalah, karena tujuan utama kurikulum adalah agar peserta didik menguasai pengetahuan. Di Indonesia, organisasi kurikulum ini pernah digunakan dalam kurikulum 1968.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi ciri-ciri organisasi kurikulum ini sebagai berikut: (1) kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, tidak ada hubungan dan kaitannya satu sama lain, (2) mata pelajaran-mata pelajaran tersebut berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu, (3) tujuan kurikulum adalah untuk menguasasi pengetahuan, (4) mata pelajaran tidak disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat, (5) strategi pembelajaran banyak menggunakan teknik penuangan, (6) guru berperan dan bertanggung jawab sebagai guru mata pelajaran, (7) proses pembelajaran lebih terpusat kepada guru, sementara peserta didik bersifat pasif, dan (8) teknik penilaian lebih banyak menggunakan tes dengan fokus domain kognitif.
b.   Correlated Curriculum
Mengingat subject-centered curriculum banyak memiliki kelemahan, maka diadakanlah upaya-upaya untuk memperbaiki, memodefikasi, dan menyempurnakannya, Antara lain mengorelasikan antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain. Bentu korelasi semacam ini disebut correlated curriculum. Misalnya, ketika mengajarkan mata pelajaran sharaf tentang bentuk pola isim fa’il dan isim maf’ul, maka dikorelasikan dengan mata pelajaran nahwu tentang bab al-hâl.
Ciri-ciri kurikulum korelasi ini, antara lain (1) adanya korelasi antarmata pelajaran, (2) adanya upaya untuk menyesuaikan mata pelajaran dengan masalah kehidupan sehari-hari, termasuk kebutuhan dan minat peserta didik, (3) tujuan kurikulum adalah untuk menguasai pengetahuan, (4) pelayanan perbedaan individual masih sangat terbatas, (5) dalam proses pembelajaran, guru banyak berperan aktif, (6) peran peserta didik mulai diaktifkan walaupun hanya sedikit, dan (7) penilaian lebih difokuskan kepada domain kognitif, kendatipun domain lain sudah mulai dikembangkan. Melalui kurikulum korelasi, tampak ada penggabungan ke arah kesatuan bahan pelajaran, sekalipun antara mata pelajaran yang satu dengan lainnya masih terpisah.
c.    Broad Field Curriculum
Ada juga korelasi antara beberapa mata pelajaran (interdisipliner) yang lebih jauh sehingga tidak tampak lagi batas-batas mata pelajaran dalam satu rumpun. Korelasi semacam ini merupakan fusi antara beberapa mata pelajaran serumpun dan memiliki ciri-ciri yang sama. Organisasi kurikulum ini disebut dengan bidang studi (broad field). Misalnya, antara mata pelajaran Sejarah, Georafi, Ekonomi difusikan menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), mata pelajaran Kimia, Fisika, dan Biologi difusikan menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), mata pelajaran Aljabar, Ilmu Ukur dan Geometri difusikan menjadi bidang studi Matematika, dan mata pelajaran nahwu, sharaf, dan balaghah menjadi mata pelajaran qawa’id al-lughah.
Tujuan kurikulum bidang studi adalah untuk mengintegrasikan pengetahuan anak dan mencegah penguasaan bahan yang banyak, dangkal, dan terlepas-lepas sehingga mudah dilupakan dan tidak fungsional. Bentuk organisasi kurikulum ini mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1975.
Ciri-ciri kurikulum bidang studi, Antara lain (1) kurikulum terdiri atas bidang studi yang merupakan perpaduan beberapa mata pelajaran yang serumpun dan memiliki ciri-ciri yang sama, (2) bahan pelajaran bertitik tolak pada suatu inti masalah (core subject) tertentu, kemudian dijabarkan menjadi pokok bahasan, (3) bahan pelajaran disusun berdasarkan standar kompetensi da bahan pelajaran disusun berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan, (4) strategi pembelajaran bersifat terpadu, (5) guru berperan sebagai guru bidang studi, dan (6) penyusunan kurikulum mempertimbangkan minat, masalah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
d.   Integrated Curriculum
Jenis organisasi kurikulum ini disusun berdasarkan ananlisis bidang kehidupan atau kegiatan utama manusia dalam masyarakat yang disebut social functions atau major areas of living. Menurut Zainal Arifin (2013:101) yang meliputi: perlindungan dan pelestarian hidup, kekayaan dan sumber alam; produksi barang dan jasa serta distribusinya; konsusmsi benda dan jasa; komunikasi dan transportasi benda dan manusia; rekreasi; ekspresi rasa keindahan; ekspresi rasa keagamaan; pendidikan; perluasan kebebasan; integrasi kepribadian; dan penelitian.
Herbert Spencer membagi bentuk kurikulum ini menjadi lima bidang kehidupan, yaitu pemeliharaan diri, pemeliharaan diri secara tidak langsung (sandang, pangan dan papan), keluarga, kewarganegaraan, dan kegiatan di waktu senggang. Selanjutnya, kurikulum terpadu dapat juga disusun berdasarkan minat, kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik, seperti kesehatan, keuangan, pekerjaan, kegiatan sosial, pernikahan, agama, moral, keluarga, dan pendidikan. Dengan kata lain, dalam social function ini dapat dimasukkan segalam macam kegiatan manusia sehingga peserta didik dapat mengenalinya dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
Integrasi ini dapat tercapai dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang pemecahannya memerlukan berbagai disiplin atau mata pelajaran. Proses belajar dilakukan melalui pemecahan masalah yang dihubungkan dengan bidang kehidupan. Bahan pelajaran menjadi instrumental dan fungsional untuk memecahkan suatu masalah sehingga batas-batas Antara mata pelajaran dapat ditiadakan. Kurikulum terpadu memberikan peluang lebih besar kepada peserta didik untuk melakukan kerja kelompok, mendorong belajar aktif dan berpikir ilmiah, memanfaatkan masyarakat dan lingkungan sebagai sumber belajar, memperhatikan perbedaan individual, dan melibatkan peserta dalam perencanaan pembelajaran karena oraganisasi kurikulum ini mengutamakan proses belajar.
Kurikulum terpadu bersifat fleksibel dan tidak mengharapkan hasil belajar yang sama dari semua peserta didik. Tanggung jawab mengembangkan kurikulum banyak dipercayakan kepada guru-guru, orang tua, dan peserta didik.
e.    Core Curriculum
Organisasi kurikulum ini bertitik tolak dari mata pelajaran tertentu sebagai inti (core). Menurut Caswell sebagai pelopor organisasi kurikulum ini, “core is a continuous, careful planned series of experiences which are based on significant personal and social problems and which involve learning of common concern to all youth” (S. Nasution, 1991). Berdasarkan pengertian ini, maka pada dasarnya kurikulum ini (core curriculum) merupakan bagian dari kurikulum secara keseluruhan dan termasuk kurikulum terpadu. Alasannya adalah kurikulum inti menggunakan bahan dari segala disiplin ilmu atau mata pelajaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik, termasuk juga bahan dari lingkungan.
Kurikulum inti dapat juga dilihat sebagai suatu program pendidikan umum. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang terintegrasi (fisik, mental, intelektual), menjadi warga negara yang baik, dan mampu bekerja sama. Perencanaan kurikulum inti harus dilakukan bersama antara guru dan peserta didik.
Adapun ciri-ciri kurikulum inti, antara lain sebagai dijelaskan oleh Zainal Arifin (2013:102-103) sebagai berikut: (1) terdiri atas serangkaian pengalaman yang penting dan saling berkaitan untuk pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, (2) berkaitan dengan pendidikan umum, (3) direncanakan secara kontinu sebelum dan selama dijalankan, (4) didasarkan atas masalah-masalah pribadi dan sosial, (5) disajikan dalam satu kesatuan yang utuh, (6) dilaksanakan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan (7) diperuntukkan bagi semua peserta didik.
f.     Activity Curriculum
Activity curriculum sering juga disebut experience curriculum. Organisasi kurikulum ini tidak memiliki struktur yang formal dan tidak dirancang sebelumnya. Isi kurikulum ditentukan berdasarkan kebutuhan dan minat peserta didik sehingga wajar apabila kurikulum ini lebih menonjolkan kegiatan dan pengalaman peserta  didik, walupun dalam setiap kurikulum terdapat berbagai kegiatan dan pengalaman. Implikasinya adalah guru perlu mengidentifikasi kebutuhan dan minat peserta didik serta membantu peserta didik dalam memilih kebutuhan dan minat yang dianggap penting. Kurikulum harus disusun bersama oleh guru dan peserta didik dengan penekanan utama pada prosedur pemecahan masalah.
John Dewey adalah orang yang pertama kali melaksanakan kurikulum ini di Sekolah Laboratorium Universitas Chicago pada tahun 1896. Dewey mendasarkan kegiatan-kegiatan anak pada keempat instink atau impulse, yaitu: “the social impulse, the constructive impulse, the impulse to investigate and experiment, and the expressive or artistic impulse”. Tujuan kurikulum ini bukan untuk memberikan pendidikan keterampilan atau kejuruan melainkan memberi kesempatan berpikir dan berbuat secara sistematis yang berkaitan dengan suatu pekerjaan. Kegiatan tersebut tidak hanya bersifat manual, tetapi juga intelektual. Artinya, ketika melakukan suatu kegiatan, peserta didik mengumpulkan berbagai pengethuan yang fungsional dan instrumental. Kurikulum ini menggunakan minat sebagai pusat kegiatan. Akhirnya, pada tahun 1918 gagasan-gagasan dari John Dewey dikebangkan oleh William H. Kilpatrick dalam bentuk metode proyek.
Dari beberapa jenis organisasi kurikulum yang diuraikan di atas, setiap bentuk oraganisasi kurikulum tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara teoretis boleh saja para penganut organisasi kurikulum saling mengecam. Karena dasar analisis psikologi dan teori belajar yang digunakan memang berbeda. Dalam prakteknya organisasi kurikulum itu harus saling berdampingan dan melengkapi. Pertimbangannya adalah bahwa tidak ada satu bentuk kurikulum yang dianggap paling baik. Organisasi kurikulum dikatakan baik atau efektif jika memiliki kontinuitas, integrasi, sistematis, dan fungsional.
4.2.3    Faktor-Faktor dalam Organisasi Kurikulum
            Menurut Hilda Taba dalam Zainal Arifin (2013:104), organisasi kurikulum dapat dipandang sebagai one of the most potent factors in determining how learning proceeds. Oleh sebab itu, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam organisasi kurikulum, yaitu:
a.    Ruang Lingkup (Scope)
Ruang lingkup kurikulum menunjukkan keseluruhan, keluasan atau kedalaman, dan batas-batas bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Bahan pelajaran tersebut merupakan bahan yang terseleksi karena dianggap penting dan sesuai dengan tugas-tugas perkembangan peserta didik. Dikatakan penting karena pesrta didik mempunyai berbagai kepentingan, Antara lain ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ingin masuk ke dalam dunia kerja, dapat beradaptasi dengan lingkungan, dapat bersosialisasi dan memecahkan masalah-masalah sosial, menghargai karya dan seni serta ingin memiliki nilai-nilai agama dengan baik.
Pemilihan dan penentuan ruang lingkup bahan pelajaran sebaiknya juga mempertimbangkan hal-hal seperti berikut: (1) harus melibatkan para pakar kurikulum, pakar filsafat pendidikan, guru bidang studi, pakar psikologi, sosiologi, (2) perlu mendapat masukan dari berbagai pihak sebagai bahan pertimbangan, (3) didukung oleh hasil penelitian yang relevan dan memadai. Dengan demikian, ruang lingkup isi kurikululm dapat diprtanggungjawabkan secara profesional dan proporsional.
b.   Urutan (Sequence)
Urutan bahan pelajaran menunjukkan kronologis bahan yang akan disampaikan kepada peserta didik, kapan bahan tersebut sebaiknya disampaikan, mana bahan yang harus disampaikan terlebih dahulu dan mana bahan yang akan dipelajari kemudian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tingkat kematangan peserta didik, latar belakang, pengalaman atau pengetahuan, tingkat kecerdasan, minat dan kebutuhan peserta didik, kegunaan bahan, dan tingkat kesulitan bahan. Apalagi dalam pembelajaran bahasa yang bersifat keterampilan dan berjenjang, sangat diperlukan keseriusan, ketelitian dan kecermatan dalam menentukan mana bahan pelajaran yang harus dipelajari terlebih dahulu dan yang lanjutan.
Menurut Piaget, urutan tersebut dapat dilakukan dengan cara, antara lain mulai dari yang kecil hingga yang terbesar, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, mulai dari yang konkret sampai dengan yang abstrak. Menurut Gestalt, mulai dari keseluruhan sampai dengan bagian-bagian, mulai dari yang mudah sampai yang sulit.
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2005), ada beberapa cara untuk menyusun urutan bahan pelajaran, yaitu “urutan kronologis, urutan kausal, urutan structural, urutan logis dan psikologis, urutan spiral, rangkaian ke belakang (backward chining), dan urutan berdasarkan hierarki belajar.” Berdasarkan urutan ini, kemudian disusun bahan pelajaran untuk tiap semester, tiap kelas, dan tiap jenjang pendidikan.
Dalam organisasi kurikulum yang subject-centered, urutan bahan pelajaran relatif lebih mudah dibandingkan dengan integrated curriculum, karena mata pelajaran telah disusun terlebih dahulu secara sistematis dan logis.  
c.    Kesinambungan (Continuity)
Sering kali kita mendengar kritikan dari pihak perguruan tinggi bahwa kurikulum di tingkat SLTA (SMA/SMK/MA) tidak relevan atau masih dangkal karena mahasiswa sulit memahami mata kuliah. Begitu juga krtikan dari pihak SLTA terhadap SLTP (SMP/MTs) dan dari SLTP ke SD/MI. sebenarnya inti persoalannya adalah adanya kesenjangan (gap) antara apa yang ada (das Sein) dengan yang seharusnya (das Sollen), tumpang tindih (overlapping) antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain bahkan Antara topik yang satu dengan topik yang lain, dan ketidaksinambungan bahan pelajaran dan pengalaman belajar. Contohnya, peserta didik sudah belajar bahasa Arab dari tingkat Ibtidaiyah sampai pertguruan tinggi (lebih kurang 12 tahun), tetapi ternyata belum dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab dengan baik. Begitu juga ketika peserta didik belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) dari sejak SD/MI sampai dengan perguruan tinggi (lebih dari 12 tahun), tetapi ternyata belum dapat membaca al-Quran dengan baik, atau belum bisa sholat dengan baik. Mengapa pula peserta didik belajar bahasa Indonesia dari sejak SD/MI sampai dengan perguruan tinggi, tetapi ternyata belum dapat menulis secara ilmiah, dan seterusnya.
Kesinambungan seharusnya menunjukkan adanya peningkatan, pendalaman, dan perluasan bahan pelajaran sehingga peserta didik diharapkan dapat mempelajari bahan yang lebih kompleks. Dalam kurikulum spiral, faktor kesinambungan ini snagat diperhatikan. Untuk memantapkan kesinambungan kurikulum perlu dibentuk tim khusus yang melibatkan para pengembang kurikulum dari SD/MI sampai dengan perguruan tinggi.
d.   Terpadu (Integrated)
Faktor ini berangkat dari asumsi bahwa bidang-bidang kehidupan memerlukan pemecahan secara multidisiplin. Artinya, jika guru menggunakan subject-centered curriculum, maka besar kemungkinan pengetahuan yang diperoleh peserta didik menjadi terlepas-lepas dan tidak fungsional. Untuk itu, perlu adanya fokus bahan pelajaran yang terpadu, baik berupa konsep, prinsip maupun masalah-masalah yang perlu dipecahkan sehingga memungkinkan penggunaan multidisiplin secara fungsional. Keterpaduan ini dapat dilakukan dalam bentuk kurikulum korelasi, kurikulum bidang studi, atau kurikulum terpadidang studi, atau kurikulum terpadu berdasarkan bidang-bidang kehidupan. Untuk mencapai pemahaman yang utuh dan menyeluruh, maka keterpaduan ini bukan hanya dilakukan oleh guru dalam berbagai mata pelajaran, tetapi juga oleh peserta didik melalui pengetahuan dari berbagai sumber belajar yang saling berhubungan.
e.    Keseimbangan (Balance)
Faktor keseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah keseimbangan isi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dan keseimbangan proses pembelajaran. keseimbangan isi berkaitan dengan seberapa besar pentingnya suatu bahan pelajaran bagi kehidupan peserta didik. Begitu juga keseimbangan proses pembelajaran. peserta didik tidak hanya belajar pasif dan impresi atau menerima pelajaran melalui membaca dan mendengarkan saja, tetapi juga perlu belajar aktif dan melakukan ekspresi atau menyatakan buah pikirannya melalui diskusi, tanya jawab, eksprimen, pemecahan masalah, inkuisri dan sebagainya.
f.     Waktu (Time)
Alokasi waktu harus dipertimbangkan dalam organisasi kurikulum, dalam arti apakah suatu mata pelajaran, misalnya, akan diberikan selama 2 jam pelajaran per hari, satu minggu, satu bulan, satu semester, satu tahun atau tiap tahun. Sering kali terjadi perbedaan pendapat tentang alokasi waktu, antara pengembang kurikulum di tingkat pusat dengan guru mata pelajaran di sekolah. Hal ini biasanya masing-masing menggunakan kriteria yang berbeda. Untuk sekadar pegangan bersama, distribusi waktu dapat ditentukan berdasarkan kriteria, antara lain tradisi pengalaman, pertimbangan para pengembang kurikulum, nilai atau manfaat, tingkat kesulitan setiap mata pelajaran dan standar kompetensi mata pelajaran.
4.2.4    Prosedur Mereorganisasi Kurikulum
            Terdapat beberapa cara untuk mereorganisasi kurikulum, di antaranya sebagai berikut.
a.    Melalui Buku Pelajaran
Buku pelajaran merupakan sumber belajar yang penting bagi peserta didik dalam mempelajari suatu kurikulum. peserta didik harus lebih banyak belajar melalui buku pelajaran daripada apa yang diajarkan guru di dalam kelas. Sebab, antara waktu yang tersedia tidak sebanding dan bahkan tidak memadai dengan banyaknya isi/materi yang ingin disampaikan. Selain itu, jika buku pelajaran itu sudah ketinggalan, berarti sekolah tersebut juga ketinggalan. Oleh sebab itu, sangat penting mereorganisasi kurikulum melalui buku pelajaran di sekolah. Asumsi prosedur ini adalah buku pelajaran disusun oleh orang yang ahli dalam bidangnya. Penulis buku pelajaran tentunya menggunakan berbagai suerbagai sumber bacaan lain untuk dipelajari oleh peserta didik.
Mengingat sumber bacaan yang digunakan berbeda-beda, maka sekolah harus selektif di dalam mereorganisasi kurikulum melalui buku pelajaran ini. Jika perlu, sekolah membentuk tim khusus untuk menyeleksi buku pelajaran tersebut. Jika guru kurang hat-hati dalam memilih buku bacaan, maka dapat berakibat rusaknya pengetahuan yang dibangun oleh guru sendiri kepada peserta didik.
b.   Melalui Adopsi
Jika di sekolah lain memiliki suatu kurikulum yang dianggap lebih baik, kurikulum tersebut dapat diadopsi untuk dipelajari. Apabila sesuai dengan kondisi dan tujuan sekolah, kurikulum tersebut dapat ditambahkan pada kurikulum yang ada. Dengan demikian, kurikulum sekolah menjadi kaya dengan program-program terbaik dan berusaha menghilangkan program yang dianggap kurang baik. Sering terjadi sekolah sukar membuang program yang kurang baik tersebut, akibatnya program sekolah semakin banyak dan kurang menunjukkan kesatuan.
c.    Melalui Analisis Kegiatan
Kurikulum merupakan pengalaman yang diberikan kepada peserta didik agar mencapai kehidupan seperti orang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan analisis kegiatan kehidupan orang dewasa dan hasilnya dijadikan bahan pelajaran untuk peserta didik. Franklin Bobbit dalam Zainal Arifin (2013:109) melakukan analisis kegiatan, yang meliputi kegiatan berbahasa sebagai komunikasi sosial, kegiatan kesehatan, kegiatan kewarganeraan, kegiatan sosial, kegiatan rekreasi, kegiatan memelihara kesehatan jiwa, kegiatan keagamaan, kegaitan keluarga, kegiatan non-vokasioanal, dan kegiatan kerja yang sesuai dengan panggilan hati. Melalui prosedur ini diharapkan bahan pelajaran dapat diarahkan pada kegiatan kehidupan nyata.
d.   Melalui Fungsi Sosial
Prosedur ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu Pertama, merumuskan strategi fungsi sosial yang meliputi: bagaimana hidup yang ideal, merumuskan sifat atau hakikat individu dalam kehidupan sosial, mengemukakan sifat-sifat belajar, dan merumuskan peranan sekolah tertentu dalam kehidupan sosial. Kedua, merumuskan ruang lingkup fungsi kehidupan sosial berdasarkan kriteria tertentu, yang meliputi hidup dalam lingkungan keluarga, kehidupan waktu senggang, kehidupan sebagai warga Negara, kehidupan kelompok yang terorganisasi, kehidupan sebagai konsumen, kehidupan sebagai produsen, kehidupan berkomunikasi, dan kehidupan transformasi.
e.    Melalui Survei Pendapat
Cara ini dapat dilakukan melalui survei terhadap berbagai pendapat dari berbagai pihak, seperti peserta didik, orang tua, guru, pengawas kepala sekolah, tokoh masyarakat, dan mitra sekolah.
f.     Melalui Studi Kesalahan
Prosedur ini dapat dilakukan melalui analisis kesalahan dan kekurangan terhadap proses dan hasil kegiatan kurikuler.