Sabtu, 15 Maret 2014

Linguistik-3


Mata Kuliah    : Linguistik (Ilmu al-Lughah)
                                    Kode               : PBA-725
                                    SKS                 : 3 SKS
                                    Fakultas           : Tarbiyah/Program S1
                                    Jurusan            : Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
                                    Semester          : Genap
                                    Pengampu       : Drs. Akhmad Dairoby


PERKULIAHAN 4

 LINGUISTIK TRADISIONAL DAN LINGUISTIK MODERN        

3.1  Tujuan
3.1.1       Memahami linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.1.2       Dapat membedakan ciri-ciri linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.1.3       Mempunyai pandangan obyektif terhadap bahasa.

3.2  Kompetensi Dasar
3.2.1       Mahasiswa mampu memahami linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.2.2       Mahasiswa dapat membedakan ciri-ciri linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.2.3       Mahasiswa mempunyai pandangan obyektif terhadap bahasa.

3.3  Deskripsi
Pada perkuliahan yang lalu sudah dibicarakan tentang pengertian linguistik dan ruang lingkupnya. Pada perkuliahan kali ini akan dipaparkan tentang ciri-ciri linguistik tradisional dan linguistik modern serta perbedaan yang mendasar antara keduanya. Dengan demikian, diharapkan setelah selesai perkulihan ini para peserta memiliki cara pandang terhadap suatu bahasa dengan pendekatan yang obyektif sehingga tidak ada berbagai macam prasangka sosial dan rasial terhadap bahasa. Selain itu juga diharapkan memiliki cara pandang terhadap pembelajaran bahasa dan pengajaran bahasa dengan pendekatan metode-metode dan teknik-teknik yang lebih maju dan modern.
3.4  Pembahasan
3.4.1    Tata Istilah Linguistik
Kadang-kadang disarankan agar tata istilah atau ”jargon” linguistik modern tidak perlu rumit. Inilah kritik yang tidak usah membuat kita menunggu terlalu lama. Tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan memiliki istilah-istilah teknisnya sendiri: hanya karena orang awam menerima ilmu-ilmu pengetahuan yang sudah mantap dengan kepercayaan penuh, khususnya ilmu-ilmu pengetahuan ”alam”, maka ia tidak mempertanyakan hak ilmu-ilmu itu untuk melengkapi diri dengan perbendaharaan kata khusus.
Istilah-istilah teknis yang dipakai para linguis muncul pada waktu mereka sedang bekerja dan mudah dipahami oleh mereka yang menedekati bidang studi ini dengan simpati dan tanpa prasangka. Hendaknya jangan dilupakan bahwa sebagian besar istilah itu, yang dipakai oleh orang yang bukan linguis untuk membicarakan bahasa (”kata”, ”suku kata”, ”huruf”, ”frase”, ”kalimat”, ”kata benda/nomina”, ”kata kerja/verba” dan lain-lain), asal mulanya adalah istilah-istilah teknis tata bahasa tradisional dan tidak kurang ”abstrak” dalam acuannya dari yang diciptakan oleh para akhir-akhir ini. Seorang linguis kontemporer mungkin membutuhkan istilah-istilah yang berbeda sebagai ganti atau untuk menambah yang sudah dikenal orang awam. Ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa pemakaian istilah-istilah tata bahasa tradisional secara non-teknis membuatnya tidak cukup tepat untuk hal-hal ilmiah, dan sebagian oleh kenyataan sederhana bahwa dalam hal-hal tertentu, linguistik modern telah jauh lebih maju dari tata bahasa tradisional dalam usahanya menyusun sebuah teori umum tentang struktur bahasa.
Istilah-istilah teknis yang dipakai dalam perkuliahan ini akan diperkenalkan sedikit demi sedikit, dengan keterangan lengkap dan sedapatnya dengan mengacu pada istilah-istilah tradisional yang berlaku secara umum. Seperti akan kita lihat, penggunaan kata-kata yang khusus dalam membicarakan bahasa menghilangkan banyak keraguan dan kemungkinan salah pengertian.
3.4.2    Pendekatan Obyektif terhadap Bahasa
Kesulitan pokok yang dihadapi orang yang baru pertama kalinya belajar linguistik  adalah kesiapannya untuk memandang bahasa secara obyektif. Karena bahasa adalah sesuatu yang cenderung kita anggap sudah benar dan semestinya; sesuatu yang sudah kita kenal sejak kecil dengan mempraktekkannya dan tanpa memikirkannya. Dan, seperti sering kita lihat, memandang hal-hal yang telah kita kenal dengan cara baru memerlukan kerja cerdas yang luar biasa. Tidak hanya karena kita telah mengenal bahasa secara intuitif atau praktis sajalah yang menghalangi pengamatan secara obyektif terhadapnya.
Ada berbagai macam prasangka sosial dan rasial yang berkaitan dengan bahasa, dan banyak pengertian umum yang keliru, ditambah lagi oleh pemutarbalikan tata bahasa tradisional yangsering diajarkan di sekola-sekolah. Sungguh sulit membebaskan pikiran seseorang dari prasangka-prasangka dan pengertian-pengertian keliru tersebut, tetapi ini merupakan langkah pertama yang perlu dan cukup besar manfaatnya.
3.4.3    Ciri-ciri Tata Bahasa Tradisional
Ketika mempelajari pembidangan dalam linguistik, dibedakan antara linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Untuk mengetahui ciri-ciri tata bahasa tradisional tidak ada suatu yang pasti, akan tetapi dapat dilacak melalui penelaahan terhadap kedua bidang tersebut. Untuk membedakan linguistik tradisional dengan linguistik modern bisa mengacu pada masalah waktu, disebut linguistik tradisional adalah pada masa sebelum abad ke-19, sedangkan disebut linguistik modern adalah pada masa sesudahnya. Pendapat lain mengatakan, linguistik tardisional mengacu kepada tradisi analisis linguistik dan teori linguistik yang berasal dari Yunani.
w  Asal-usul Filosofis Tata Bahasa Tradisional
Tata bahasa tradisional, seperti halnya begitu banyak tradisi akademis kita, sudah ada sejak zaman Yunani pada abad kelima sebalum Masehi. Bagi orang-orang Yunani “tata bahasa” sejak semula merupakan bagian dari ‘filsafat”. Maksudnya, itu merupakan bagian dari keluasan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat alam di sekitar mereka dan lembaga-lembaga sosial mereka sendiri. Istilah ‘tata bahasa tradisional’ digunakan untuk mengacu kepada tradisi analisis linguistik dan teori linguistik yang berasal dari Yunani.
w  Kaum Naturalis dan Kaum Konvensional
Filsuf-filsuf Yunani memperdebatkan apakah bahasa dipenagruhi oleh “alam” atau “konvensi”. Pertentangan antara “alam” dan “konvensi” ini biasa dalam spekulasi filsafat Yunani. Apabila suatu lembaga tertentu dikatakan ”alamiah”, itu berarti bahwa lembaga tersebut berasal dari asas-asas yang abadi dan tak berubah di luar manusia sendiri. Apabila dikatakan ”konvensional” maksudnya adalah hasil dari kebiasaan dan tradisi (yaitu persetujuan yang tak terucapkan, atau ”perjanjian sosial” antara anggota-anggota masyarakat), karena itu hasil perbuatan manusia sendiri.
Dalam diskusi tentang bahasa, perbedaan ”alam” dan ”konvensi” dipertegas, terutama untuk menjawab pertanyaan apakah mesti ada hubungan antara arti sebuah kata dan bentuknya? Para penganut aliran ”naturalis” yang ekstrem, seperti Cratylus, berpendapat bahwa semua kata secara ”alamiah” memang sesuai dengan sesuatu yang ditandainya. Maka, lahirlah praktek etimologi, yang mempelajari tentang asal-usul kata dengan maknanya. Kata etymo berarti ”benar” atau ”nyata”, mengisyaratkan asalnya yang filosofis. Membeberkan asal sebuah kata dan dengan demikian juga artinya yang ”benar” berarrti mengungkapkan salah satu kebenaran ”alam”.
Berbagai cara dikenal untuk mengetahui apakah kata secara ”alamiah” sesuai dengan artinya. Sebagai contoh dalam bahasa Inggris seperti neigh (meringkik), bleat (mengembik), hoot (suara burung hantu), crash (bunyi benturan), tinkle (bunyi denting), dan sebagainya. Kelompok kata tersebut sekalipun relatif kecil jumlahnya, bagi aliran naturalis berpendapat ada hubungan antara kata dengan ”alam”. Selain itu, ada pandangan sebagai semangat ”naturalis” bahwa fonem ”L” adalah selalu berhubungan dengan yang cair, misalnya: liquid (benda cair), oil (minyak), flow (aliran, arus), leak (kebocoran), dan sebagainya mengandung bunyi yang secara ”alamiah” sesuai dengan artinya.
Dalam bahasa Arab juga terdapat beberapa kelompok kata yang berkenaan dengan bunyi-bunyi alam. Al-Tsa’alaby (350-430 H), (tt) dalam buku Fiqh al-Lughah wa Sirr al-’Arabiyyah menghipun dalam bab tersendiri Fi al-Ashwat wa Hikayatiha, terdapan ratusan kata-kata dalam kelompok tersebut, sebagai contoh urutan suara rintihan orang yang sakit, pertama disebut (الرنين), bila kedengarannya agak keras lagi disebut (الهنين), tambah keras lagi suaranya disebut (الخنين), lebih keras lagi disebut (الأنين), paling keras disebut (الحنين). Ada lagi seperti (غاق غاق) suara burung gagak, ( طاق طاق/ طقطقة) suara ketukan, (غِق غِق) suara air mendidih. Suara ini disebutkan dalam sebuah hadits :
 "إن الشمس لتقرب يوم القيامة من الناس، حتى إن بطونهم لتقول: غق غق".
Dalam bahasa Indonesia pun terdapat beberapa kelompok kata yang diambil dari bunyi-bunyi alam. Asrifin An Nakhrawie (2004) mengumpulkan sejumlah tiga puluh lebih kelompok kata tersebut, seperti: menggonggong (bunyi suara anjing), berkokok (suara ayam), berkicau (suara burung), berdetak (arloji/jam), dan sebaginya. Saya kira semua bahasa memiliki bahasa-bahasa yang diambil dari “alam”, akan tetapi kelompok kata tersebut relatif sedikit.
Tata bahasa tradisional menyebutnya dengan istilah onomatope. Sedangkan tata bahasa moderen menyebutnya dengan istilah simbolisme bunyi.
Singkatnya, pertentangan antara kaum “naturalis” dan “konvensionalis” berlangsung berabad-abad dan mempengaruhi semua spekulasi mengenai asal mula bahasa dan hubungan antara kata-kata dan artinya. Ini penting bagi perkembangan teori tata bahasa karena menyebabkan adanya studi-studi “etimologis”.
w  Kaum Analogis dan Kaum Anomalis
Menurut John Lyons (1995:6), kata “analogi” berasal dari terjemahan kata Yunani analogia ke dalam bahasa Latin yang berarti ”teratur”. Kata ”analogi” juga dipakai dalam arti yang lebih khusus, yakni berarti ”perbandingan” matematis. Berdasarkan itu, kita katakan, misalnya, bahwa perbandingan 6:3 sama dengan perbandingan 4:2, 2:1, dan seterusnya. Istilah terakhir ini tidak dipakai disini. Sedangkan kata ”anomali” terdiri dari ”a” berarti ”tidak”, ”nomalia” berati ”teratur”. Jadi jika dihubungkan artinya ”tidak teratur”.
Untuk membedakan antara kaum analogis dan kaum anomalis, kembali menurut  Johnn Lyons (1995:6) adalah mereka yang berpendapat bahwa bahasa itu pada hakikatnya sistematis dan teratur biasanya disebut kaum ”analogis”, (Arab:قياسيون/أهل القياس)dan mereka yang berpendapat dengan sebaliknya disebut kaum ”anomalis” (Arab: مشذذون/أهل التشذيذ). Jadi aliran analogis berpandangan bahwa bahasa pada hakikatnya sistematis dan teratur. Sedangkan aliran anomalis berpandangan bahwa hakikat bahasa itu tidak sistematis dan tidak teratur.
Sebagai contoh, pola “keteraturan” dalam bahasa Inggris tentang pembentukan jamak, misalnya boy menjadi boys, cow menjadi cows, book menjadi books, dan sebagainya; dan dalam bahasa Arab, misalnya (محاضر) menjadi (محاضرون), (مسلم) menjadi (مسلمون), dan sebagainya; dalam bahasa Indonesia, misalnya buku menjadi buku-buku, kota menjadi kota-kota, dan sebagainya. Berdasarkan perbandingan secara “analogis” kita dapat membentuk beribu-ribu kata lainnya.
Kaum “analogis”  mencurahkan perhatian mereka untuk menetapkan berbagai model yang dapat dijadikan acuan penggolongan kata-kata yang teratur dalam bahasa. Sebenarnya, kaum ”anomalis” tidak menyangkal adanya keteraturan dalam pembentukan kata-kata dalam bahasa, tetapi mereka menunjukkan banyaknya contoh ketidakteraturan kata-kata yang untuk membentukanya. Oleh karena itu mereka berpandangan penalaran analogis tidak ada gunanya. Contoh dalam bahasa Inggris dalam hal pembentukan jamak, child menjadi children, man menjadi men, dan sebagainya; dalam hal kata kerja dari bentuk infinitive (arise), past tense (arose), dan past participle (arisan). Jika bahasa benar-benar hasil ”konvensi” manusia, seseorang tidak akan mengharapkan adanya berbagai macam ”ketidakteraturan” itu.
Bahwasanya perselisihan antara kaum ”analogis” dan kaum ”anomalis” tidak pernah terselesaikan secara tuntas oleh orang-orang Yunani, sejarah pertentangan di antara mereka sangat kabur, perkembangan awalnya hanya diketahui sebagian-sebagian dari kutipan dan komentar dalam karya-karya para pengarang kemudian.
3.4.4    Ciri-ciri Linguistik Modern
Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern, dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure. Kuliah-kuliahnya (yang direkonstruksikan dari catatan-catatan para mahasiswanya Bally dan Schehaye setelah ia meninggal) diterbitkan pada tahun 1915 dengan judul Cours de Linguistique Generale (Kuliah Linguistik Umum).
De Saussure disebut sebagai “Bapak Linguistik Modern” karena pandangan-pandangannya yang baru mengenai studi bahasa yang dimuat dalam bukunya itu. Menurut Abdul Chaer (2003:66), pandangan-pandangannya itu antara lain mengenai (1) telaah sinkronik dan diakronik dalam studi bahasa, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie sebagai pembentuk signe linguistique, dan (4) hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau paradigmatik. Keempat hal tersebut belum dikenal dalam studi linguistik sebelumnya.
Pada bagian ini, sebetulnya kita hendak meninggalkan sama sekali asas urutan kronologis. Sebagai gantinya, kita hendak mendaftar ciri-ciri yang paling penting yang membedakan linguistik modern sebagai keseluruhan dengan linguistik pada zaman-zaman sebelumnya. Menurut John Lyons (1995:38), setidaknya ada enam ciri yang membedakannya, yaitu berikut petikannya.
3.4.4.1 Memprioritaskan bahasa lisan
Seperti telah kita ketahui, ahli tata bahasa tradisional cenderung menganggap bahwa bahasa lisan lebih rendah dari pada bahasa tulis yang baku. Dengan sadar linguis kontemporer menentang pandangan ini dan berpendapat bahwa bahasa lisan adalah utama dan bahwa tulisan pada hakikatnya adalah suatu cara menggambarkan wicara dengan sarana lain.
Asas prioritas bahasa lisan mengatasi bahasa tulis mengandung arti, pertama-tama bahwa wicara lebih tua dan lebih luas tersebar daripada tulisan. Kadang-kadang dikatakan bahwa wicara tak dapat “dibuktikan” lebih tua daripada tulisan. Tetapi, ini benar hanya jika kata ”dibuktikan” diberi beban yang lebih berat daripada yang biasanya diperlukan dalam persoalan yang menyangkut fakta sejarah. Kita tidak mengenal sistem tulisan yang sejarahnya sudah lebih dari 6000-7000 tahun. Sebaliknya; tidak ada kelompok orang yang dikenal ada atau pernah ada tanpa kemampuan berbicara; dan beratus-ratus bahasa tidak pernah dikaitkan dengan sistem tulisan sampai dicatat oleh para linguis pada zaman kita ini. Oleh karena itu, rasanya masuk akal mengandaikan bahwa wicara sudah ada sejak permulaan adanya masyarakat manusia. Jadi singkatnya, bahasa tulisan dapat dibuktikan melalui pelacakan sejarah tentang masa awalnya, tetapi bahasa lisan tidak bisa dibuktikan kapan masa awalnya, ya sejak ada manusia itu sendiri. Sebab, asal-usul orang berbahasa itu pada awalnya secara lisan baru kemudian tulisan, tidak ada sejarahnya orang mampu menulis dulu baru berbicara.
Akan tetapi, relatif kunonya wicara dan tulisan tidak amat penting. Yang jauh lebih relevan untuk memahami hubungan antara wicara dan tulisan adalah:
? Kenyataan bahwa segala sistem tulisan adalah berdasarkan satuan-satuan bahasa lisan.
? Dalam bahasa tulisan linguis harus mengenali tiga (bisa lebih) macam satuan, ”bunyi”, ”suku kata”, dan ”kata”.
? Ada banyak bahasa yang kesulitan untuk membahasakan secara tulisan sehingga meminjam aksara (alfabetis) bahasa lain.
? Dalam bahasa tulis tidak bisa mengungkapkan intonasi bahasa lisan.
? Dalam situasi-situasi khas saat bahasa tulis dipkai, penulis dan pembaca tidak dapat langsung bertatap muka; maka informasi yang mungkin dibawakan dengan isyarat-isyarat atau air muka yang menyertai wicara harus disampaikan secara verbal.
? Tidak ada korelasi antara struktur umum bahasa-bahasa lisan yang berbeda dan macam sistem tulisan yang digunakan untuk menggambarkannya. Misalnya, bahasa Turki lisan tidak berubah sebagai akibat digantikannya tulisan Arab dengan tulisan Latin pada tahun 1926; dan juga tidak berubah bahasa Cina lisan yang terkandung dalam usulan pemerintah yang sekarang untuk mulai menggunakan tulisan alfabetis sebagai pengganti sistem ideografis tradisional. Artinya, bahasa lisan lebih bertahan sekalipun bahasa tulisnya berubah atau berganti. Bagaimana dengan bahasa Arab sendiri? Mau diubah juga?
? Dalam bahasa lisan tidak perlu membedakan pada kata-kata homofon, tetapi dalam bahasa tulis mungkin dibedakan. Contoh Inggris: great dan grat, meat dan meet, seen dan scene, dan kata-kata homograf, seperti lead dan read. Artinya, sekalipun dalam bahasa tulis dapat dibedakan tulisannya tetapi dalam bahasa lisan sama saja. Makin lama suatu bahasa telah dituliskan makin besar ketidaksesuaian antara pelafalan dengan ejaannya, kecuali, tentu saja, bila ketidaksesuaian itu dibetulkan secara berkala. Untuk keperluan itu, diadakan pembakuan-pembakuan ejaan.
Ini berarti bahwa bahasa tulis tak dapat di pandang hanya sebagai pemindahan bahasa lisan ke sarana yang lain. Dalam masyarakat terpelajar, lebih-lebih yang mendapat pendidikan dan apresiasi-apresiasi tulisan-tulisan masa lampau, bahasa tulisan dan lisan mungkin berkembang dengan kecepatan yang berbeda dan mungkin sampai menyimpang jauh satu sama lainnya dalam perbendaharaan kata dan tata bahasa. Kamus misalnya, sering ketinggalan dan kalah cepat dengan bahasa lisan.
3.4.4.2 Linguistik adalah ilmu pengetahuan deskriptif bukan preskriptif
Deskriptif dari kata (describe) berarti menggambarkan. Sedangkan preskriptif dari kata (prescribe) berarti menetapkan atau (penilaian normatif).
            Ahli tata bahasa tradisonal lebih berpandangan preskriptif, sedangkan linguistik modern lebih berpandangan deskriptif. Tata bahasa tradisional selalu punya ukuran baku dengan bahasa yang ”murni” dan ”benar”, bila berbeda dengan bahasa kesusasteraan dianggap ”penyimpangan” atau bahkan ”salah” dan mereka mengemban tugas sebagai ”penyelamat” dan ”pelestari” bahasa dari berbagai ancaman ”kerusakan”.
Ahli tata bahasa tradisional cenderung beranggapan bahwa tidak hanya bahasa tulis yang lebih mendasar daripada bahasa lisan, tetapi juga bahwa bentuk tertentu bahasa tulis, yakni bahasa kesusasteraan, pada hakikatnya lebih ”murni” dan lebih ”benar” daripada semua bentuk bahasa yang lain, baik tulis maupun lisan; dan bahwa tugasnyalah, sebagai ahli bahasa, ”melestarikan” bentuk bahasa tersebut dari ”kerusakan”. Sehingga, mereka mempunyai pandangan ketika mendapati bahwa seorang asing telah membuat ”kesalahan” atau ”tidak gramatikal”, sebab telah mengatakan sesuatu (kalimat misalnya) yang kiranya tak akan dikatakan oleh seorang penutur asli.
Untuk menanggapi pandangan tata bahasa tradisional di atas dapat dibicarakan adalah: Pertama, tentang ”kemurnian” dan ”kebenaran”. Bagi linguistik modern berpandangan, hendaknya jelas bahwa tidak ada ukuran baku yang mutlak mengenai ”kemurnian” dan ”kebenaran” dalam bahasa dan bahwa istilah-istilah itu hanya dapat ditafsirkan dalam hubungannya dengan ukuran baku tertentu yang telah dipilih sebelumnya.
Setiap bentuk bahasa yang dibedakan menurut masyarakat atau daerahnya, mempunyai ukuran bakunya sendiri mengenai ”kemurnian” dan ”kebenaran” yang senantiasa ada di dalamnya. Jika saja ini disadari dan diterima, maka jelaslah jalan menuju ke deskripsi bahasa yang memuaskan. Apakah wicara suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat akan dipakai sebagai ukuran baku untuk digunakan secara luas (misalnya sebagai dasar bagi bahasa kesusasteraan) itu adalah soal lain.
Tugas utama linguis adalah menggambarkan (describe) bagaimana sebenarnya orang-orang memakai bahasa mereka untuk berbicara dan menulis, bukan menetapkan (prescribe) atau ”menilai secara normatif” bagaimana seharusnya mereka berbicara dan menulis. Seorang linguis harus menggambarkan bahasa yang baik bukan ”menghukum” dengan ”kebenaran” atau ”kesalahan” kepada pengguna bahasa tertentu.
Kedua, berhubungan dengan anggapan bahwa perubahan bahasa mengandung ”kerusakan”. Bagi linguistik modern berpandangan, bahwa semua bahasa dapat mengalami perubahan yang terus-menerus. Inilah suatu kenyataan empiris, yang dapat diterangkan dengan sejumlah faktor yang berapa di antaranya seperti kita lihat pada bagian sebelumnya. Boleh dianggap bahwa semua bahasa yang masih bertahan ”hidup” pada hakikatnya adalah sistem-sistem komunikasi yang efisien dan dapat dioperasikan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda dalam masyarakat lingkungan pemakainya. Karena kebutuhan-kebutuhan tersebut bahasa cenderung berubah untuk menghadapi kondisi-kondisi baru. Jika diperlukan, istilah-istilah baru akan dimasukkan ke dalam perbendaharaan kata, apakah dengan ”meminjam”-nya dari bahasa-bahasa lain atau dengan membentuknya dari unsur-unsur yang sudah ada, pembedaan-pembedaan yang baru diciptakan dan yang lama hilang.
Dengan menyangkal bahwa semua perubahan dalam bahasa menjadikan bahasa kurang baik, tentu saja kita tidak bermaksud bahwa itu mesti menjadikannya lebih baik. Apa yang kita katakan hanyalah bahwa setiap ukuran bagi penilaian terhadap perubahan bahasa harus dudasarkan pada pengenalan berbagai fungsi yang ”dimintakan” untuk dipenuhi oleh bahasa dalam masyarakat pemakainya.
Dengan menyalahkan dasar pandangan sastra tata bahasa tradisional, linguis hanyalah menyatakan bahwa bahasa digunakan untuk tujuan yang lebih banyak, dan bahwa penggunaannya dalam hubungannya dengan fungsi-fungsi itu hendaknya jangan dinilai dengan kriteria yang hanya diterapkan pada bahasa sastra. ”Kerusakan” bahasa tidak selamanya datang dari luar. Memungut dari luar yang lebih baik tetapi tidak merusak yang asal karena masih baik, itu jauh lebih bijak.
3.4.4.3 Linguis memperhatikan semua bahasa
Asas ini hanyalah generalisasi dari asas terdahulu. Masih cukup banyak orang awam yang membicarakan bahasa-bahasa masih ada yang ”primitif” dan bahkan mengulangi mitos tentang adanya sekelompok orang yang hanya berbahasa terdiri atas beberapa ratus kata saja selebihnya dilengkapi isyarat-isyarat. Linguistik modern berpandangan bahwa yang benar adalah tiap-tiap bahasa yang hingga kini diteliti, tidak peduli betapapun ”terbelakang” atau ”tak beradab”-nya para penuturnya, terbukti pada saat diselidiki merupakan sistem komunikasi yang rumit tetapi tetap berkembang maju sekali. Lagi pula, sama sekali tidak ada korelasi antara berfbagai tahap perkembangan budaya yang dialami kelompom masyarakat tersebut dalam ”evaluasi” dan ”jenis” bahasa yang dituturkan pada tahap-tahap perkembangan budaya tersebut. Kalaupun ada kebenaran dalam spekulasi-spekulasi mengenai perkembangan bahasa-bahasa dari kerumitan ke kesederhanaan struktur, atau sebaliknya, ini tak ditemukan kembali lewat satu pun penelitian dari beribu-ribu bahasa yang dituturkan di seluruh dunia dewasa ini.
            Kebanyakan linguis sekarang menghindar dan menjauhkan diri dari spekulasi tentang asal dan perkembangan bahasa secara umum, lebih memandang secara sepihak. Telah terbukti bagi mereka bahwa studi tentang semua bahasa dengan cara-cara yang sama itu memuaskan.
            Mengapa harus mempehatikan bahasa lain? Jika seseorang ingin memahami filsafat Yunani atau filsafat Skolastika, misalnya, ia harus mempelajari bahasa Yunan atau bahasa Latin Abad Pertengahan (atau sekurang-kurangnya, dengan meneliti komentar-komentar dan keterangan-keterangan dengan tekun dan kritis agar dapat memahami makna istilah yang penting), atau sekurangt-kurangnya mempelajari perbendaharaan katanya yang khusus, untuk menyelidiki pokok persoalan tertentu atau membicarakannya dengan memuaskan. Dan inilah cara mempelajarinya, secara tidak langsung, sebagian kecil dari hal-hal tertentu dalam banyak bahasa. Jadi, seorang linguis sejati harus banyak mempelajari bahasa-bahasa lain, kalau ingin hasil kerjanya memuaskan.
            Masalahnya adalah bahwa tak ada bahasa yang secara intrinsik dapat dikatakan ”lebih kaya” daripada yang lain: masing-masing disesuaikan dengan apa-apa yang secara khusus dikerjakan oleh pemakainya.
            Perhatian linguis (pada dasarnya) terhadap semua bahasa berasal dari sasaran-sasaran pokok persoalan yang diproklamasikan: menyusun teori ilmiah mengenai struktur bahasa manusia. Semua contoh peristiwa bahasa yang dicatat dan dapat diamati digunakan sebagai data yang akan disistematisasikan dan ”dijelaskan” dengan teori yang umum.
3.4.4.4 Memprioritaskan deskripsi sinkronis bukan diakronis
Salah satu dari banyak perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang diperkenalkan ke dalam linguistik oleh de Saussure adalah perbedaan antara studi secara diakronis dan secara sinkronis.
Menurut Verhaar (1992:6), secara etimologis kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani dia yang berarti melalui dan khoronos yang berarti waktu atau masa. Linguistik diakronis adalah penyelidikan tentang perkembangan suatu bahasa. Menurut John Lyons (1995:46), yang dimaksud dengan diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah (melalui waktu); misalnya, studi diakronis bahasa Inggris mungkin mengalami perkembangan dari masa catatan-catatan kita yang paling awal sampai sekarang ini, atau mungkin meliputi jangka waktu tertentu yang lebih terbatas; atau misalnya, studi diakronis bahasa Arab pada masa jahili, dan tentu saja mengalami perkembangan yang berbeda pada masa sekarang ini; atau misalnya, bahasa Indonesia sekarang berlainan dari bahasa Melayu Klasik, dan berlainan pula dari bahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno memiliki awalan mar yang dalam bahasa Melayu Klasik dan dalam bahasa Indonesia menjadi me dan ber.
Selanjutnya, menurut Verhaar (1992:7), secara etimologis kata simkronis berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari syn yang berarti dengan atau  bersama, dan khronos yang berarti waktu atau masa. Kemudian menurut John Lyons (1995:46)  menyebutkan yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang ”keadaan tertentu” bahasa tersebut (pada suatu masa). Penting untuk disadari bahwa deskripsi sinkronis pada dasarnya tidak terbatas pada analisis bahasa lisan modern. Seseorang juga dapat melakukan analisis sinkronis bahasa-bahasa ”mati” atau ”usang” tentu akan kurang lengkap dibandingkan dengan deskripsi bahasa lisan modern, hanya karena tidak mungkin mengkaji kesahihan pernayataan-pernyataan tertentu bahasa itu dengan bantuan para penutur asli sebagai sumber keterangan lebih lanjut. Tetapi, banyak bahasa ”mati” atau ”usang” yang menyediakan cukup bahan untuk dideskripsikan secara sinkronis, menyeluruh, dan masuk akal.
      Seperti telah diketahui, tata bahasa tradisional abad XIX dan sebelumnya (filologi komparatif) mengutamakan perhatian yang diakronis. Sedangkan yang menjadi ciri khas bagi kebanyakan teori linguistik modern abad XX mengutamakan asas prioritas deskripsi sinkronis, ini mengandung arti bahwa pertimbangan-pertimbangan sejarah tidak berhubungan dengan penyelidikan ”keadaan-keadaan” suatu bahasa pada waktu tertentu. Penerapan asas ini mungkin dilukiskan dengan prinsip analogi terkenal yang digunakan de Saussure membandingkan bahasa dengan permainan catur.
      Selama permainan catur keadaan langkah-langkah biji catur senantiasa berubah dari satu permainan ke permainan berikutnya. Yang dihadapi seorang pemain catur adalah perubahan yang ”sinkronis” saat itu bukan ”diakronis” permainan pada masa lampau. Maksudnya, bahasa memang berubah, yang diperhatikan linguis adalah prioritas menganalisis dan mendeskripsikan perubahan saat itu ”sinkronis”, bukan kembali mendeskripsikan bahasa pada masa atau waktu yang lalu ”diakronis”.
      Secara relatif, sedikit penutur suatu bahasa yang yahu banyak tentang perkembangan historis bahasanya itu; namun dengan mempelajari bahasa tersebut secar ”wajar” atau ”alamiah” sebagai anak-anak, sampai mereka dapat menuturkannya sesuai dengan asas-asas sistematis tertentu atau ”kaidah-kaidah”,  yang terkandung  di dalam ujaran-ujaran yang mereka dengar di sekitarnya. Sekarang, tugas deskripsi linguistik sinkronis-lah untuk merumuskan ”kaidah-kaidah” sistematis itu ketika beroperasi dalam bahasa pada suatu saat tertntu.
            Asas prioritas deskripsi sinkronis pada umumnya dianggap mengandung arti lebih jauh, yaitu bahwa deskripsi diakronis berarti analisis sinkronis berbagai keadaan sebelumnya yang telah dilewati bahasa-bahasa dalam perkembangan historisnya. Karena perhatian kita tidak terutama ditujukan kepada linguistik historis dan linguistik komparatif. Namun, ada satu hal penting yang perlu dikemukakan di sisni.
            Perbedaan yang jelas antara istilah deskripsi sinkronis dan deskripsi diakronis tidak boleh diartikan bahwa secara tidak langsung waktu merupakan faktor yang menentukan dalam perubahan bahasa. Tegasnya, perubahan dalam bahasa bukanlah semata-mata menyangkut ”fungsi waktu” dalam arti ini. Banyak faktor yang berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar bahasa yang mempengaruhi perubahan bahasa. Misalnya, ”masyarakat bahasa” selalu terdiri atas berbagai kelompok, dan para anggota kelompok itu dengan berbagai cara (pengucapan, tata bahasa, dan kosa kata) akan mencerminkan perbedaan-perbedaan umur, tempat asal atau lama tinggalnya di suatu daerah, kepentingan profesi, latar belakang pendidikan, dan sebaginya. Sealain itu, faktor perbedaan-perbedaan ”gaya” dan ”bahasa resmi” (formal) dan bahasa tidak resmi (percakapan) atau kolokial (colloquial), dan sebagainya.
3.4.4.5 Mengutamakan pendekatan struktural
Ciri linguistik modern yang paling khas – yang dimilikinya bersama-sama dengan sejumlah ilmu pengetahuan lain – adalah ”strukturalisme”. Singkatnya, ini berarti bahwa setiap bahasa dipandang sebagai sistem hubungan (lebih tepatnya, seperangkat sistem yang saling berhubungan), yang unsur-unsurnya – bunyi-bunyi, kata-kata, dan sebaginya – tidak punya validitas dan bebas dari hubungan kesamaan dan perbedaan yang ada di antaranya. Sebenarnya, de Saussure membuat pembedaan itu sebagai konsekuensi keyakinannya bahwa tiap-tiap bahasa, pada suatu waktu tertentu, merupakan sistem hubungan yang padu.
            Pada bagian ini hanya menekankan bahwa tidak ada pertentangan antara pendekatan yang istimewa abstraknya terhadap studi bahasa, yang merupakan ciri khas linguistik modern dan linguistik ”struktural”, pendekatan yang lebih ”praktis”. Betapapun abstrak atau ”formal”-nya, teori linguistik modern telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana manusia benar-benar menggunakan bahasa. Ini berasal dari, dan dinyatakan  benar atau tidak benar dengan bukti empiris.
            Dalam hal ini, linguistik tidak berbeda dari setiap ilmu pengetahuan lain; dan hal ini kiranya tidak patut ditekankan, seandainya tidak ada beberapa linguis tertentu yang, karena simpati mereka terhadap perkembangan-perkembangan linguistik waktu ini, melihat perlunya mempertentangkan apa yang disebut ”formalisme” dan ”realisme” dalam studi bahasa.
3.4.4.6 Membedakan “langue” dan “parole
Salah satu yang paling mendasar ciri khas linguistik modern yang dikemukakan oleh de Saussure, para linguis sebelumnya belum pernah “menyentuh” hal ini. de Saussure membedakan antara langue dan parole, istilah Prancis yang sering dipakai dan sulit menggantikannya dengan istilah lain karena sudah sangat “familiar” di kalangan para linguis modern saat ini.
            Simanjuntak (1987) dalam Abdul Chaer (2003) mengemukakan, sebenarnya de Saussure membedakan antara langage, langue dan parole. Ketiganya bisa dipadankan dengan kata “bahasa” dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan pengertian yang sangat berbeda. Parole adalah bahasa yang konkret yang keluar dari mulut seorang pembicara. Jadi, karena sifatnyayang konkret itu maka parole itu bisa didengar. Sedangkan langue adalah bahasa tertentu sebagai satu sistem tertentu seperti bahasa Inggris atau bahasa Jawa. Simanjuntak menggunakan istilah bahasa. Jadi, sifatnya abstrak; hanya ada dalam otak penutur bahasa yang bersangkutan. Lalu, yang dimaksud dengan langage adalah ”bahasa” pada umumnya. Ini lebih abstrak lagi.
            Sekarang timbullah beberapa pertanyaan. Apakah hubungan antara langue dan parole? Manakah, jika ada salah satunya, yang dideskripsikan linguis bila ia menulis tata bahasa ”bahasa Inggris” (atau ”bahasa” lainnya)? Jawaban de Saussure sendiri terhadap pertanyaan-pertanyaan itu sebagian besar ditentukan oleh teori-teori psikologi dan sosiologi yang dianutnya.
            Hubungan antara langue dan parole sangat rumit, dan agak kontroversial. Untuk sementara, kita boleh puas dengan mengatakan bahwa semua anggota masyarakat tertentu (semua yang berbicara dalam bahasa tertentu, misalnya bahasa Inggris) mengucapkan ujaran-ujaran ketika sedang mereka berbicara dalam bahasa tersebut, yang meskipun mempunyai variasi-variasi individual, dapat dideskripsikan menurut sistem kaidah dan hubungan tertentu: dalam arti tertentu, memiliki ciri-ciri struktural yang sama. Ujaran-ujaran itu adalah contoh-contoh parole, yang oleh linguis dianggap sebabgai bukti bagi susunan struktur umum yang mendasarinya: langue. Oleh karena itu, langue atau sistem bahasanyalah yang dideskripsikan oleh linguis. Akan tetapi, kita lihat kemudian bahwa harus dibedakan anatara ”ujaran” dan ”kalimat”; dan bahwa deskripsi suatu ”bahasa” pada dasarnya adalah operasi dua tahap. Pembedaan antara ujaran dan kalimat sifatnya mendasar dalam kebanyakan teori linguistik modern. Tetapi kita dapat mengembangkan pengertian-pengertian pendahuluan tanpa menggunakannya.
3.5  Rangkuman
3.5.1    Linguis modern menyarankan istilah-istilah atau jargon yang digunakan dalam linguistik hendaknya tidak perlu rumit dan berbelit-belit.
3.5.2    Kesulitan pokok yang dihadapi orang yang baru pertama kalinya belajar linguistik  adalah kesiapannya untuk memandang bahasa secara obyektif. Seorang linguis harus menghilangkan berbagai macam prasangka sosial dan rasial yang berkaitan dengan bahasa.
3.5.3    Lingustik tradisional diasumsikan menurut kalanya adalah masa-masa sebelum abad ke-19, sedangkan linguistik modern diasumsikan adalah pada awal abad ke-20 hingga sekarang.
3.5.4    Untuk membedakan antara linguistik tradisional dan linguistik modern dapat memperhatikan tabel berikut.
           
No.
Ciri-ciri linguistik modern
Ciri-ciri linguistik tradisional
1
Memprioritaskan bahasa lisan
Tidak memprioritaskan bahasa lisan
2
Linguistik adalah ilmu pengetahuan deskriptif.
Linguistik adalah ilmu pengetahuan  preskriptif.
3
Linguis memperhatikan semua bahasa.
Linguis masih membedakan perahatian terhadap bahasa tertentu.
4
Memprioritaskan deskripsi sinkronis.
Memprioritaskan deskripsi diakronis
5
Mengutamakan pendekatan struktural.
Tidak mengutamakan pendekatan struktural.
6
Membedakan “langue” dan “parole”.
Tidak membedakan “langue” dan “parole”.

3.6  Latihan
3.6.1    Apa kesulitan yang dihadapi seorang yang baru pertama kalinya belajar linguistik?
3.6.2    Mengapa seorang linguis harus menghilangkan berbagai macam prasangka sosial dan rasial yang berkaitan dengan bahasa?
3.6.3    Bagaimana pandangan mazhab analogis dan mazhab anomalis terhadap bahasa?
3.6.4    Jelaskan perbedaan-perbedaan antara tata bahasa tradisional (linguistik tradisional) dan linguistik modern?
3.6.5    Apa yang dimaksud dengan linguistik diakronis dan linguistik sinkronis?
3.6.6    Apa yang dimaksud dengan linguistik deskriptif dan linguistik preskriptif?
3.6.7    Mengapa linguistik modern sangat memprioritaskan bahasa lisan (oral) daripada bahasa tulisan?





˜

Linguistik-2


Mata Kuliah    : Linguistik (Ilmu al-Lughah)
                                    Kode               : PBA-725
                                    SKS                 : 3 SKS
                                    Fakultas           : Tarbiyah/Program S1
                                    Jurusan            : Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
                                    Semester          : Genap
                                    Pengampu       : Drs. Akhmad Dairoby


Perkuliahan 3
LINGUISTIK, PEMBIDANGAN DAN MANFAATNYA

2.1 Tujuan
2.1.1 Memahami pengertian linguistik dan filologi.
2.1.2 Memahami objek kajian linguistik.
2.1.3 Membedakan kajian filologi di Barat dan dunia Arab
2.1.4 Memahami macam-macam linguistik.
2.1.5 Memahami manfaat mempelajari linguistik.
2.2  Kompetensi Dasar
2.2.1 Mahasiswa mampu memahami pengertian linguistik dan filologi.
2.2.2 Mahasiswa mampu memahami objek kajian linguistik.
2.2.3 Mahasiswa mampu membedakan kajian filologi di Barat dan dunia Arab.
2.2.3 Mahasiswa mampu memahami macam-macam linguistik.
2.2.4 Mahasiswa mampu memahami manfaat mempelajari linguistik.
2.3  Deskripsi
Linguistik didefinisikan sebagai suatu ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah.            Oleh sebab itu, linguistik tidak membedakan antara yang satu dengan bahasa yang lainnya. Pemahaman tentang linguistik ini amat penting bagi para mahasiswa, sebab dalam uraian ini kita akan menemukan peristilahan lain yaitu filologi. Di antara para linguis modern ada yang menyatakan bahwa folologi itu bagian dari linguistik, tetapi ada juga yang membedakannya. Sebagaimana juga di dalam bahasa Arab terjadi perbedaan penggunaan istilah fiqh al-lughah dan ilmu al-lughah. Sebenarnya perbedaan hanya menyangkut istilah yang digunakan pada asalnya, tetapi telah melebar kepada objek kajian dari dua bidang yang berbeda, antara kajian filologi dan linguistik, sebagaimana yang terjadi pada abad XX di Barat, yang membedakan anatara kajian filologi dengan linguistik.
Dalam uraian ini juga kita akan menjawab pertanyaan, apa sebenarnya objek dari kajian linguistik tersebut? Selain itu, kita akan membicarakan tentang pembidangan linguistik, tataran kebahasaan, dan manfaat mempelajari linguistik.
2.4  Materi Pembahasan
2.4.1 Definisi linguistik
Kata ‘linguistik’ berasal dari bahasa Latin ‘lingua’ yang berarti ‘bahasa’. John Lyons (1995) dalam buku Pengantar Teori Linguistik mengemukakan, bahwa linguistik mungkin bisa didefinisikan sebagai pengkajian bahasa secara ilmiah. Definisi ini hampir-hampir tidak memberi gambaran cukup kepada para mahasiswa, dan tidak memberi suatu indikasi positif mengenai asas-asas dasar bidang studi ini. Definisi itu mungkin dapat diperjelas sedikit dengan menguraikan secara lebih terperinci pengertian-pengertian yang terkandung dalam batasan ”ilmiah”. Untuk sementara, cukuplah dikatakan bahwa maksud pengkajian atau studi bahasa secara ilmiah adalah penyelidikan bahasa melalui pengamatan-pengamatan yang teratur dan secara empiris dapat dibuktikan benar atau tidaknya serta mengacu kepada suatu teori umum tentang struktur bahasa.
Menurut Kridalaksana (1993) dalam kamusnya Kamus Linguistik, linguistik didefinisikan sebagai ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah. Definisi yang hampir senada juga dikemukakan oleh Tarigan (1986), yaitu seperangkat ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan jalan penerapan metode ilmiah terhadap fenomena bahasa. Definisi di atas sedikit berbeda dengan yang dikemukakan oleh Hasanain (1984) yang memberi penjelasan tentang ’metode ilmiah’ yaitu, sebagai penyelidikan bahasa secara ilmiah, linguistik tidak membedakan antara yang satu dengan bahasa yang lainnya.
Penjelasan yang dikemukakan oleh Hasanain di atas seakan ingin menandaskan seperti yang dikatakan oleh Dr. Mahmud Al-Sa’ran (1999) dalam buku Ilmu al-Lughah Muqaddimah li al-Qari’ al-’Araby, bahwa linguistik adalah ilmu pengetahuan yang menjadikan bahasa sebagai objeknya.
علم اللغة هو العلم الذي يتخذ اللغة موضوعا له.
Dr. Mahmud Al-Sa’aran kemudian mengutip pendapat Ferdinand de Saussure dalam buku Cours de Linguistique Generale, bahwa objek linguistik satu-satunya yang benar adalah bahasa dan untuk bahasa itu sendiri. Oleh sebab itu, linguistik sering pula disebut ’linguistik umum’.
Ferdinand de Saussure, seorang sarjana Swiss, dianggap sebagai pelopor linguistik modern. Bukunya Cours de Linguistique Generale (1916) sangat terkenal dan dianggap sebagai dasar linguistik modern. Oleh sebab itu beberapa istilah yang dipakainya diterima umum sebagai istilah resmi, misalnya langage, langue, dan parole. Langage berarti ’bahasa’ pada umumnya, langue berarti ’bahasa’ yang merujuk pada bahasa tertentu, misalnya bahasa Inggris, bahasa Arab, dan sebagainya; sedangkan parole (Prancis) berarti ’logat’ atau ’ucapan’. Dalam bahasa Inggris disebut ’speech’, dan dalam bahasa Arab disebut ’kalam’ atau ’hadits’.
Mengapa umum?
Linguistik sering pula disebut ’linguistik umum’. Maksudnya linguistik tidak hanya menyelidiki suatu langue tertentu tanpa memperhatikan ciri-ciri bahasa lain. Umpamanya sulit bagi kita memahami morfologi bahasa Arab, kalau tidak kita pahami ciri-ciri morfologi bahasa-bahasa lain. Memang morfologi bahasa Arab seharusnya dianalisis hanya dengan bahan dari bahasa Arab, tetapi bahan itu saja tidak memberikan pengertian kepada kita bagaimana struktur morfologi pada umumnya. Dengan perkataan lain, para linguis tidak hanya menyelidiki salah satu langue saja, tetapi juga tempatnya di dalam langage.
Singkatnya kata Verhaar (1992), linguistik harus umum. Dalam masing-masing bahasa ada ciri tertentu yang terdapat pula dalam bahasa-bahasa yang lain. Orang yang menguasai semua bahasa di dunia tidak ada. Akan tetapi sebaiknya, setiap linguis harus menguasai sekurang-kurangnya satu atau beberapa bahasa lain dari pada bahasanya sendiri secara reseptif, lebih baik lagi kalau salah satu dari bahasa lain yang dikuasainya itu tidak serumpun dengan bahasanya sendiri. Hal ini sangat membantu bagi linguis tersebut untuk membandingkan antara kedua bahasa atau lebih yang akan diselidiki, seperti dalam tataran fonologi, morfologi, atau sintaksis.
2.4.2  Antara linguistik dan filologi
Sebelum Ferdinand de Saussure (1916), dan juga sesudahnya, terutama di Inggris, ilmu bahasa lazim disebut ’filologi’ (Inggris: philology), (Prancis: philologie). Sebabnya ialah bahwa dulu, terutama abad ke-19, para ahli bahasa sering menyelidiki masa lampau dari bahasa-bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris, Jerman, Latin, dan sebaginya, dengan tujuan untuk menafsirkan naskah-naskah kuno. Para ahli bahasa pada zaman itu menyelidiki pula hubungan yang bermacam-macam di antara bahasa-bahasa serumpun (khususnya bahasa-bahasa Indo-Eropa).
Dewasa ini menurut Verhaar (1992), filologi diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki masa kuno dari sesuatu bahasa berdasarkan dokumen-dokumen tertulis. Walaupun para ahli filologi sekarang menyadari bahwa pengetahuan sedikit tentang linguistik dapat menjadi bantuan penting dalam bidang mereka, namun sudahlah menjadi pengertian bersama bahwa filologi tidak sama dengan linguistik. Jadi ahli bahasa Jawa kuno misalnya tak perlu menjadi spesialis linguistik; sebagai ahli filologi cukuplah ia.
Sedangkan menurut John Lyons (1995:22) dalam buku Pengantar Teori Linguistik mengemukakan, bahwa istilah filologi adalah hasil yang telah dicapai ilmu pengetahuan linguistik pada abad ke-19 adalah telah ditetapkannya asas-asas dan metode yang dipakai dalam menentukan keluarga-keluarga bahasa serumpun dan lainnya. Pada abad itu dikenal dengan istilah ”tata bahasa komparatif”, meskipun kurang umum dipakai dewasa ini, oleh para linguis sendiri yang cenderung memilih istilah ’linguistik kamparatif dan historis’. Istilah filologi juga tidak umum dipakai di Amerika.
2.4.3  Antara istilah ilmu al-lughah dan fiqh al-lughah
Dalam sejarah bahasa Arab, penyelidikan tentang bahasa telah jauh lebih dulu dilakukan berabad-abad lamanya sebelum orang-orang Eropa (Barat). Orang-orang Arab sebelumnya juga mempelajari filsafat, salah satu cabangnya adalah ilmu mantiq (logika) dan bahasa. Dari hasil jerih payah para linguis Arab tersebut banyak bermunculan buku-buku dalam bidang linguistik. Sejak itu juga, sudah muncul istilah fiqh al-lughah dan ilmu al-lughah. Akan tetapi pada saat itu belum ada pemisahan antara objek studi filologi dan objek studi linguistik seperti yang dilakukan di Eropa (Barat) pada awal abad ke-20.
Oleh sebab itu, tokoh linguis bahasa Arab seperti Ibnu Faris yang menulis bukunya dengan judul Al-Shahiby fi Fiqh al-Lughah, dan Imam Jalaluddin Al-Saytuthy juga menulis bukunya dengan judul yang agak berbeda, yaitu Al-Muzhar fi Ulum al-Lughah. Dua tokoh linguis yang masing-masing menggunakan istilah yang berbeda untuk nama bukunya, Ibnu Faris mengunakan kata ”fiqh al-lughah”, sedangkan Imam Sayuthy menggunakan kata ”ilmu al-lughah”. Al-Syayuthy menggunakan kata ”ilmu al-lughah” bukan bermaksud membuat istilah baru atau tampil beda dengan pendahulunya Ibnu Faris yang menggunakan kata ”fiqh al-lughah”. Bahkan keduanya ingin mengelaborasi kedua istilah itu sebagai arti yang berdekatan dan relatif sama. Dari segi subtantifpun, masing-masing dari mereka ingin sama-sama menunjukkan keistimewan-keistimewaan bahasa Arab, walaupun  dengan cara pendekatan yang berbeda.
Perbedaan baru muncul di Timur (Arab khususnya), ketika di Eropa (Barat), ada seorang tokoh linguis Ferdinand de Saussure, seorang guru besar berkebangsaan Swiss yang berbahasa Prancis, dari perkuliahannya tersebut, kemudian dipublikasikan oleh sebagian para mahasiswanya lewat sebuah buku yang berjudul Cours de Linguistique Generale (1916). Dalam buku tersebut dibedakan antara studi sejarah kebahasaan (filologi) dengan studi bahasa itu sendiri (linguistik), buku tersebut secara pelan namun pasti telah mengubah cara pandang studi bahasa yang dilakukan oleh orang Arab selama ini.
Dewasa ini menurut Muhammad bin Ibrahim al-Hamd (2005) dalam buku Fiqh al-Lughah Mafhumuhu-Maudlu’atuhu-Qadlyahu, para penulis modern dalam bidang linguistik ini berbeda pendapat tentang penggunaan nama yang digunakan untuk istilah ”linguistik”, sebagian ada yang menyepadankannya dengan istilah ”ilmu al-lughah”, ada juga yang menyepadankannya dengan istilah ”fiqh al-lughah”,  dan bahkan sebagian lainnya ada yang mengkonvergensi kedua istilah tersebut.
Sebenarnya perbedaan istilah itu muncul dari segi bahasa Arab sendiri, kata “linguistik” itu artinya “ilmu bahasa”. Kata ”ilmu” itu semakna dengan kata ”fiqh” yang artinya ”fahm”. Kemudian dikaitkan dengan ’al-lughah”. Oleh sebab itu muncul dua istilah ”ilmu al-lughah” dan ”fiqh al-lughah”, kedua istilah itu artinya ”fahmu al-lughah”. Secara bahasa, kedua istilah itu sama saja.
Sebagian para penulis bidang linguistik modern menyarankan untuk mengikuti cara yang dilakukan di Barat seperti dewasa ini. Karena itu mulai dari segi nama peristilahan sampai kepada objek yang akan dibahas juga harus dipisahkan. Rekomendasi ini tampaknya tidak banyak digubris oleh para linguis Arab, mereka beralasan sangat tidak mungkin dipisahkan antara studi sejarah kebahasaan dengan bahasa itu sendiri. Hal itu sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd (2005), sebagai berikut:
w  Studi sejarah bahasa Arab sangat berbeda dengan bahasa lainnya.
w  Teks-teks bahasa Arab sampai kepada kita itu sudah ada sejak pada masa jahili.
w  Selain itu, Alquran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab.
w  Bahasa Arab sangat berbeda dengan bahasa lainnya, karena bahasa Arab masih tetap utuh dan tetap eksis bahasanya sejak zaman jahili, itu semua karena ada Alquran.
w  Studi bahasa Arab dahulu tidak berbeda dengan sekarang, tidak seperti bahasa Inggris misalnya. Bahasa Inggris klasik dengan bahasa Inggris kontemporer sangat jauh berbeda bahasanya, baik segi morfologi maupun semantiknya. Di samping itu karya sastera Shakespeare (abad ke-17), bahasanya sudah tidak bisa dipahami lagi oleh orang-orang dewasa ini, hanya sebagian kecil para ahli yang kompeten saja yang mengerti. Hal ini berbeda sekali dengan Alquran, Hadits dan syair-syair jahili serta karya-karya sastera sesudahnya, orang-orang yang hidup sekarang masih dapat memahaminya, walupun memang ada sebagian kecil yang dianggap sulit.
Sekalipun demikian, di antara para linguis Arab modern ada yang berusaha memisahkan antara kedua jenis studi tersebut. Paling tidak dari segi penyebutan nama istilah yang digunakan, tidak kurang seperti Mushthafa Al-Saqa, Ibrahim Al-Abayary, Abd al-Hafizh Syalaby, Abd al-Wahid Wafi, Subhi Shaleh, Mukhtar Umar, Mahmud al-Sa’ran dan lain-lain mensepadankan istilah ”filologi” dengan ”fiqh al-lughah” dan istilah ”linguistik” dengan ”Ilmu al-Lughah dalam bahasa Arab.
Dengan begitu paling tidak, penggunaan istilah linguistik dengan  ilmu al-lughah dan filologi dengan fiqh al-lughah dalam bahasa Arab telah memudahkan para pembelajar untuk memahami konsep yang terkandung di dalamnya. Kendati demikian, buku-buku yang bertema fiqh al-lughah atau ilmu lughah isinya tetap ”linguistik”, apalagi jika yang diamati buku-buku linguistik yang lama.
Menurut Imam Asrori (2004), istilah ilmu lughah pertama kali digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Bahkan oleh Ibnu Khaldun istilah ”lmu al-lughah” tidak merujuk kepada istilah ”linguistik” tetapi ”leksikologi”. Demikian juga kalau membuka buku Fiqh al-Lughah wa Sirr al-’Arabiyyah karya Abu Manshur Al-Tsa’aliby yang terkenal itu, bukanlah merujuk pada istilah filologi atau linguistik tetapi malahan sebenarnya tentang leksikologi.
2.4.4  Objek Kajian Linguistik
Menurut Verhaar (1992), yang jelas sampai sekarang ialah bahwa objek linguistik itu adalah bahasa. Akan tetapi pengertian kata ”bahasa” dalam bahasa Indonesia belum begitu jelas. Setidaknya menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995), bahwa kata atau istilah  ”bahasa” menanggung beban konsep tiga kata dalam bahasa Prancis, yaitu langage, langue dan parole. Padahal, ketiga kata tersebut memiliki konsep yang berbeda.
Pada bagian terdahulu telah diterangkan secara singkat tentang ketiga istilah Perancis tersebut, tetapi belum ditentukan mana yang menjadi objek kajian linguistik. Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara langage, langue dan parole.
Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa secara umum. Langage ini bersifat abstrak dan dapat diterjemahkan dengan ”bahasa” secara umum. Jadi, tidak mengacu pada bahasa tertentu.
Istilah langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu, seperti bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan sebagaianya. Kata “bahasa” di sini masih bersifat abstrak tetapi sudah agak konkrit, sebab bisa dibedakan antara bahasa Arab dengan bahasa Jepang misalnya.
Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, maka istilah parole bersifat konkrit, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat didalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya. Parole di sini barang kali dapat dipadankan dengan ucapan atau tuturan. Di dalam bahasa Inggris disebut dengan speech dan di dalam bahasa Arab disebut dengan kalam atau hadits. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris. Apabila kita merekam ucapan seseorang ke dalam sebuah pita rekaman atau lainnya, maka suara tuturan atau ucapan seseorang dalam bahasa tertentu itulah yang disebut parole.
Perlu dicatat dan dipahami yang menjadi objek studi linguistik adalah langue sebagai satu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Mengapa? Karena parole inilah yang dapat diobservasi secara empiris, selain itu parole itu nyata, ada, dapat diamati dan konkrit.
Di samping itu kita juga membedakan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa tulisan boleh disebut ”turunan” dari pada bahasa lisan. Disebut ”turunan”, karena awal bahasa itu ada secara lisan terlebih dulu kemudian tulisan (اللغة في الأصل منطوقة قبل أن تكون مكتوبة), bahasa lisan juga adalah hakikat bahasa itu sendiri. Bahasa lisan merupakan objek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan merupakan objek sekunder linguistik. Bahasa tulisan pada umumnya bukan merupakan representasi langsung dari bahasa lisan, dan justru di sinilah ada banyak masalah yang pantas diselidiki oleh ahli linguistik. Yang penting ditandaskan di sini ialah bahwa setiap bahasa terdapat dalam bentuk yang sesungguhnya adalah dalam berbicara dan mendengarkan, hanya sedikit sekali dalam bentuk membaca dan menulis. Oleh karena itu bahasa tulisan hanya bersifat sekunder bukan primer, karena itu juga, parole itu pertama-tama terdapat secara lisan. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bloomfiled (1979) dalam Suparno (1995) mengemukakan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah lisan (oral).
Kami ingin membantu Anda lewat uraian singkat berikut tentang maksud objek kajian linguistik di atas, sehingga nyata peran linguistik yang menjadikan bahasa sebagai objeknya. (Semoga Tuhan memberikan pemahaman kepada Anda!).
Menguasai suatu bahasa, misalnya bahasa Arab, (dalam arti dapat menggunakannya secara lancar untuk berbicara) tidak sama dengan mampu menerangkan kaidah-kaidahnya. Banyak orang yang lancar dan fasih berbahasa Arab, tetapi belum tentu mampu menerangkan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab dengan baik. Demikian juga, belajar suatu bahasa tidak sama dengan belajar tentang bahasa, sebaliknya, mengajarkan suatu bahasa tidak sama dengan mengajarkan tentang bahasa. Jadi, mempelajari linguistik akan membantu Anda dengan mudah mengajarkan bahasa atau tentang bahasa.
Jika Anda menguasai bahasa Indonesia dengan lancar, tetapi tidak pernah studi khusus tentang bahasa Indonesia, Anda tidak akan dapat menerangkan tata bahasa Indonesia dengan baik. Dengan perkataan lain, apa yang Anda kuasai (yakni bahasa Indonesia sebagai langue) yang memang merupakan objek penyelidikan linguistik terhadap bahasa Indonesia, tetapi cara menguasai bahasa tersebut bukanlah objek linguistik. Kalau begitu, apakah fungsi penguasaan suatu bahasa dalam penyelidikan linguistik? Penguasaan merupakan titik tolak dari penyelidikan, karena kita tahu secara intuitif, pakah suatu contoh dari parole betul atau salah. Misalnya bila ada orang berkata: “Buaya makan besar tikus” atau dalam bahasa Arab, “أكل الكبير التمساح الفأرة“, serta merta kita tahu bahwa kedua kalimat itu salah; bukan karena salah ucap, mungkin karena ia lelah, atau mungkin karena kurang memperhatikan apa yang dikatakannya.
Dengan demikian parole adalah obyek linguistik yang konkrit. Menguasai suatu bahasa diperlukan untuk membedakan mana di antara ujaran yang kita kumpulkan tepat dan mana yang tidak; dari ujaran yang tepat kita simpulkan apa yang berlaku untuk langue dan kaedah-kaedahnya. Lalu bila kita sadari bahwa dalam macam-macam langue ada sesuatu yang umum, maka kita mencoba merumuskan yang umum itu sebagai penyelidikan langage. Munculnya kaidah-kaidah kebahasaan adalah dari parole yang umum dan diterima oleh masyarakat bahasa itu sendiri.
2.4.5  Pembagian linguistik
Kalau kita menelaah buku-buku tentang linguistik, kita akan mendapati  tidak ada kesepakatan jumlah yang pasti di antara ahli linguistik tentang pembagian linguistik dan bidang-bidang di dalam linguistik. Pada pembahasan ini kami ingin sampaikan pembagian linguistik sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Muwaffaq Abdullah Al-Qusyairy (2004) dalam buku Muhadlarat fi Ilm al-Lughah al-Nazhary, dia membagi cabang linguistik itu menjadi dua, (a) ilmu al-lughah al-nazhary (linguistik teoritik), dan (b) ilmu al-lughah al-tathbiqy (linguistik terapan). Adapun linguistik teoritik terdiri dari tujuh bidang:
  1. Ilmu al-ashwat (fonologi), ilmu yang menyelidiki tentang bunyi yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh pembicara kepada lawan bicara, atau pemahaman pendengar terhadap bunyi yang didengarnya.
  2. Ilmu al-fonemat (fonemik), ilmu yang menyelidiki tentang fungsi fonem-fonem kebahasaan dan segala macam pembagian dan cabangnnya yang dapat membedakan makna.
  3. Ilmu tarikh al-lughah (linguistik diakronis atau  historis), ilmu yang menyelidiki pertumbuhan dan perkembangan suatu bahasa dengan bahasa-bahasa lainnya, termasuk rumpun keluarga bahasa.
  4. Ilmu al-sharaf (morfologi), ilmu yang memyelidiki dan menganalisa tentang tata bentuk kata dan bagian-bagiannya, juga menyelidiki tentang morfem dan kombinasinya dari tataran kebahasaan yang paling kecil.
  5. Ilmu al-nahw (sintaksis), ilmu yang menyelidiki tentang tata kalimat dalam satuan gramatika terbesar, termasuk mengkaji struktur frase dan kalimat.
  6. Ilmu al-dalalah (semantik), ilmu yang menyelidiki tentang arti kata dan hubungannya dengan maknanya, baik makna leksikal maupun makna gramatikalnya.
  7. Ilmu al-lughah al-muqarin (linguistik komparatif), ilmu yang menyelidiki bentuk-bentuk persamaan atau perbedaan antara dua bahasa atau lebih dari segi fonetik, morfologis, semantik, atau un sintaksisnya.
Sedangkan linguistik terapan terdiri dari delapan bidang:
  1. Pengajaran bahasa, suatu cabang pengajaran yang menfokuskan pada metode dan teknik-teknik terbaik dalam pengajaran bahasa pertama dan bahasa kedua serta bahasa asing lainnya.
  2. Tes kebahasaan, suatu cabang ilmu yang memfokuskan pada proyek pembuatan dan evaluasi tes-tes kemahiran kebahasaan, sehingga dapat diketahui tingkat kemampuan dan keahlian seseorang.
  3. Laboratorium bahasa, suatu cabang yang memfokuskan pada bidang-bidang pemanfaatan laboratorium bahasa dan cara-cara penggunaannya untuk peningkatan penguasaan suatu bahasa.
  4. Psikolinguistik, suatu disiplin ilmu yang menyelidiki tentang pemerolehan anak terhadap bahasa pertamanya (akuisisi), dan pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing lainnya, serta pengaruh pemerolehan bahasa pertama terhadap pembelajaran bahasa kedua, juga pengaruh pembelajaran bahasa kedua terhadap pemerolehan bahasa pertama. Selain itu juga menyelidiki fungsi otak dalam preode masa pertumbuhan dan perkembangan.
  5. Sosiolinguistik, suatu disiplin peneyelidikan yang memfokuskan tentang bahasa dari segi sosial atau politik, juga membahas tentang macam-macam dialek dan ragam bahasa, serta membahas tentang problematika kebahasaan dari segia sosial dan politik.
  6. Ilmu terjemah, suatu disiplin ilmu yang menyelidiki dan membahas tentang dasar-dasar,  kaidah-kaidah, dan pelik-pelik penerjemahan. Selain itu, dewasa ini juga dikembangkan pemanfaatan komputer untuk penerjemahan. (penerjemahan elektronik).
  7. Leksikologi, suatu disiplin ilmu yang memfokuskan pada pembuatan kamus umum dan khusus.
  8. Program bahasa lewat komputer, suatu disiplin ilmu yang memfokuskan pada pemanfaatan komputer untuk menganalisis, penyimpanan, dan pembuatan program shofware dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa.
Demikianlah pembagian linguistik menurut Dr. Abdullah Muwaffaq (2004) yang kami anggap lebih komprehensif dan lebih mutakhir.
Linguistik sebagai ilmu pengetahuan membutuhkan suatu teori yang konsekwen, bila seseorang ahli linguistik memusatkan perhatiannya khusus pada pendirian suatu teori, maka apa yang dikerjakannya boleh disebut sebagai linguistik teoritis. Akan tetapi, linguistik itu dapat dimanfaatkan pula untuk masalah-masalah praktis di luar linguistik itu sendiri. Misalnya bagaimana mengatasi kesulitan dalam pengajaran suatu bahasa asing? Lalu itu berarti linguistik tersebut menjadi linguistik terapan. Ilmu linguistik dan teori linguistik itu dikerjakan bukan demi teori itu sendiri, melainkan hanya sejauh menolong untuk mengatasi kesulitan tadi. Linguistik terapan disebut dengan istilah applied linguistics, sedangkan linguistik teoritis disebut theoretical linguistics.
Selanjutnya akan diuraikan secara singkat tentang tataran kebahasaan yang boleh dibilang sebagai ”rukun” linguistik, sekali pun nanti akan diuraikan secara khusus pada bab-bab pembahasan selanjutnya dalam buku ini.
2.4.6  Pembagian tataran linguistik
Pada pembahasan terdahulu telah disinggung dan dikemukakan bahawa bahasa itu merupakan sistem dan mencakup sejumlah sub-sistem. Sejumlah susb-sistem bahasa inilah yang dimaksud dengan tataran kebahasaan. Verhaar (1992), menyebutnya sebagai ”hierarki yang bertaraf”. Imam Asrori (2004), menyebutnya ”tataran kebahasaan”. Disebut tataran kebahasaan karena sub-sistem bahasa itu berlapis-lapis atau tataran terendah atau terkecil, sub-sistem kedua merupakan tataran yang lebih besar, dan seterusnya. Dapat dikatakan pula bahwa tataran yang lebih besar mengandung sejumlah unsur dari tataran di bawahnya.
Verhaar (1992) dan Suparno (1995) dalam buku yang berbeda membagi empat tataran kebahasaan, yaitu (a) fonetik, (b) fonologi, (c) morfologi, dan (d) sintaksis. Pateda (1988) juga membagi ada empat tataran kebahasaan, tetapi agak berbeda dengan Verhaar dan Suparno, yaitu (a) fonologi, (b) morfologi, (c) morfonologi, dan (d) sintaksis.
Meskipun tampak ada perbedaan, tataran kebahasaan yang dikemukakan oleh Verhaar dan Suparno serta Pateda  tersebut, Imam Asrori (2004) mengatakan pada prinsipnya sama saja.
Seperti telah dinyatakan di atas, keempat tataran kebahasaan tersebut merupakan suatu ”hierarki” atau sesuatu keseluruhan yang bertaraf. Diagram berikut sebagaimana dikemukakan Verhaar (1992) yang telah diadaptasi dapat menjelaskan hal itu.
Diagram 2.2

Fungsi
Tataran kebahasaan
Keterangan
        Fungsional

        Tidak fungsional
Sintaksis
Morfologi
Fonologi
Fonetik
     Tatabahasa (grammar)
      (Qawa’id al-lughah)
       Analisis bunyi; di
        luar tatabahasa

Dapat dilihat dengan jelas posisi sintaksis dan morfologis desebut tatabahasa (grammar) atau dalam bahasa Arab disebut qawa’id al-lughah. Penyebutan istilah ini sering dikaburkan oleh sebagian kalangan. Sedangkan fonologi dan fonetik tidak termasuk bagian tatabahasa, akan tetapi fonologi bersifat fungsional, dan fonetik tidak fungsional. Maksudnya fonologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa. Bunyi bahasa dibedakan menjadi dua: (a) bunyi-bunyi yang tidak membedakan makna, dan (b) bunyi-bunyi yang membedakan makna. Bunyi yang tidak membedakan makna disebut fon (tidak fungsional). Adapun bunyi-bunyi yang membedakan makna disebut fonem (fungsional).
Selain dari leksikon, sistematik setiap bahasa meliputi empat tataran kebahasaan atau ”hierarki”, (1) fonologi, (2) fonetik, (3) morfologi, dan sintaksis. Dari keempat tataran tersebut, dua yang terakhir yaitu morfologi dan sintaksis dianggap tataran yang paling tinggi dan disebut ”tatabahasa”, atau (Inggris: grammar), atau (Arab: qawa’id al-lughah). Jadi sebetulnya morfologi dan sintaksislah yang dibedakan secara prinsipil dari leksikon. Sedangkan dua yang pertama yaitu ponetik dan fonologi  dianggap tataran yang lebih rendah dan tidak termasuk dalam tatabahasa, juga tidak termasuk dalam leksikon.
Para ahli linguistik dewasa ini fonetik itu dianggap termasuk dalam fonologi, sehingga kedua taraf sistematik bunyi tadi disebut fonologi saja; namun disini fonetik dianggap berbeda dari fonologi.
2.4.7  Manfaat mempelajari linguistik
Manfaat mempelajari linguistik sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad al-Mubarak (tt), secara singkat akan diuraikan sebagai berikut.
w  Memahami dan mengkaji suatu bahasa secara mendalam tidak bisa dilakukan hanya dari segi kata-kata atau kaidah-kaidahnya saja, melainkan harus terjun menyelami tentang ketentuan-ketentuan yang menjadi kebijakan serta pertumbuhan dan perkembangan bahasa tersebut. Dengan mempelajari linguistik akan dapat mengeksplorasi tentang kelebihan-kelebihan suatu bahasa serta mengetahui pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu, linguistik juga menguraikan sebagian besar problematikanya.
w  Mempelajari linguistik dapat mengungkap pola pikir suatu bangsa yang menggunakana bahasa tertentu, seperti sejarah dan peradabannya. Misalnya pada bidang etimologi, suatu kata dalam bahasa Arab, kita akan dapat merujuk kata tersebut kepada rumpun bahasa asalnya, sehingga kita tahu persis makna yang sesungguhnya. Selain itu, dalam linguistik dibahas kaidah tentang hubungan struktur kalimat dengan pola pikir penuturnya, dalam hal maf’ul li ajlih dalam tatabahasa Arab diungkapkan latar belakang motivasi psikologis penuturnya, seperti:  فعلت هذا رغبة أو رهبة أو حبا أو انتقاما ... . Dengan demikian, setiap orang yang melakukan sesuatu akan tergambar motivasi psikologis yang mengucapkannya, mungkin karena suka, benci, cinta atau gusar dan sebagainya. Oleh sebab itu, linguistik mampu mengungkapkan secara historis tentang tradisi, moral, dan keadaan lingkungan tertentu.
w  Sikap moderat, dewasa ini bahasa Arab misalnya, sedang menghadapi dua persimpangan kelompok. Satu kelompok tidak peduli dengan membanjirnya kosa kata asing masuk ke dalam bahasa Arab tanpa ada seleksi dan panetrasi, sehingga dikhawatirkan merusak tatabahasa Arab standar yang dengan susah payah dibangun oleh para linguis terdahulu. Satu kelompok lainnya ingin mempertahankan dan memelihara bahasa Arab, tidak boleh ada unsur asing masuk ke dalam bahasa Arab. Dengan mempelajari linguistik kita dapat memoderasi dengan perimbangan, bagaimana bahasa Arab tetap maju dan terbuka, bahasa asing boleh masuk tetapi tanpa merusak tatanan kebahasaan yang sudah ada.
Saya kira masih banyak manfaat lainnya salain yang diuraikan di atas, semakin dalam kita menyelami sesuatu semakin banyak yang akan kita reguk.
2.5  Rangkuman
2.5.1  Linguistik didefinisikan sebagai ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah.
2.5.2  Objek linguistik adalah bahasa itu sendiri, karena itu linguistik disebut juga linguistik umum.
2.5.3  Bahasa dibedakan menjadi dua, bahasa tulis dan bahasa lisan; bahasa lisan merupakan objek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan merupakan objek sekunder linguistik.
2.5.4   Linguistik dibagi menjadi dua, linguistik teoritik dan linguistik terapan. Linguistik teoritik adalah teori linguistik itu dikerjakan demi untuk teori itu sendiri, sedangkan linguistik terapan adalah pemanfaatan teori-teori linguistik untuk membantu masalah-masalah praktis di luar linguistik itu sendiri.
2.5.5.  Tataran kebahasaan ada empat tingkatan, yaitu: fonetik, fonologi, morfologi, dan  sintaksis.
2.5.6 Manfaat mempelajari linguistik antara lain; dapat mengeksplorasi tentang kelebihan-kelebihan suatu bahasa serta mengetahui pertumbuhan dan perkembangannya serta dapat menumbuhkan sikap moderat terhadap semua bahasa.
 
2.6  Tugas dan Latihan
2.6.1   Definisikan kembali menurut Anda apa yang dimaksud dengan linguistik dan apa objeknya?
2.6.2    Apa yang dimaksud dengan filologi? Bagaimana perbedaan kajian filologi di Barat dan di dunia Arab?
2.6.3    Jelaskan ketiga istilah yang digunakan Ferdinand de Saussure untuk menyebut bahasa dengan language, langue, dan parole.    
2.6.4   Apa perbedaan linguistik teoritik dan linguistik terapan?
2.6.5    Sebutkan beberapa macam bidang linguistik teoritik dan linguistik terapan?
2.6.6    Sebutkan dan jelaskan macam-macam tataran linguistik?
2.6.7    Apa manfaat mempelajari linguistik menurut Anda selain yang diuraikan sebelumnya ?