Sabtu, 15 Maret 2014

Linguistik-3


Mata Kuliah    : Linguistik (Ilmu al-Lughah)
                                    Kode               : PBA-725
                                    SKS                 : 3 SKS
                                    Fakultas           : Tarbiyah/Program S1
                                    Jurusan            : Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
                                    Semester          : Genap
                                    Pengampu       : Drs. Akhmad Dairoby


PERKULIAHAN 4

 LINGUISTIK TRADISIONAL DAN LINGUISTIK MODERN        

3.1  Tujuan
3.1.1       Memahami linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.1.2       Dapat membedakan ciri-ciri linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.1.3       Mempunyai pandangan obyektif terhadap bahasa.

3.2  Kompetensi Dasar
3.2.1       Mahasiswa mampu memahami linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.2.2       Mahasiswa dapat membedakan ciri-ciri linguistik tradisional dan linguistik modern.
3.2.3       Mahasiswa mempunyai pandangan obyektif terhadap bahasa.

3.3  Deskripsi
Pada perkuliahan yang lalu sudah dibicarakan tentang pengertian linguistik dan ruang lingkupnya. Pada perkuliahan kali ini akan dipaparkan tentang ciri-ciri linguistik tradisional dan linguistik modern serta perbedaan yang mendasar antara keduanya. Dengan demikian, diharapkan setelah selesai perkulihan ini para peserta memiliki cara pandang terhadap suatu bahasa dengan pendekatan yang obyektif sehingga tidak ada berbagai macam prasangka sosial dan rasial terhadap bahasa. Selain itu juga diharapkan memiliki cara pandang terhadap pembelajaran bahasa dan pengajaran bahasa dengan pendekatan metode-metode dan teknik-teknik yang lebih maju dan modern.
3.4  Pembahasan
3.4.1    Tata Istilah Linguistik
Kadang-kadang disarankan agar tata istilah atau ”jargon” linguistik modern tidak perlu rumit. Inilah kritik yang tidak usah membuat kita menunggu terlalu lama. Tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan memiliki istilah-istilah teknisnya sendiri: hanya karena orang awam menerima ilmu-ilmu pengetahuan yang sudah mantap dengan kepercayaan penuh, khususnya ilmu-ilmu pengetahuan ”alam”, maka ia tidak mempertanyakan hak ilmu-ilmu itu untuk melengkapi diri dengan perbendaharaan kata khusus.
Istilah-istilah teknis yang dipakai para linguis muncul pada waktu mereka sedang bekerja dan mudah dipahami oleh mereka yang menedekati bidang studi ini dengan simpati dan tanpa prasangka. Hendaknya jangan dilupakan bahwa sebagian besar istilah itu, yang dipakai oleh orang yang bukan linguis untuk membicarakan bahasa (”kata”, ”suku kata”, ”huruf”, ”frase”, ”kalimat”, ”kata benda/nomina”, ”kata kerja/verba” dan lain-lain), asal mulanya adalah istilah-istilah teknis tata bahasa tradisional dan tidak kurang ”abstrak” dalam acuannya dari yang diciptakan oleh para akhir-akhir ini. Seorang linguis kontemporer mungkin membutuhkan istilah-istilah yang berbeda sebagai ganti atau untuk menambah yang sudah dikenal orang awam. Ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa pemakaian istilah-istilah tata bahasa tradisional secara non-teknis membuatnya tidak cukup tepat untuk hal-hal ilmiah, dan sebagian oleh kenyataan sederhana bahwa dalam hal-hal tertentu, linguistik modern telah jauh lebih maju dari tata bahasa tradisional dalam usahanya menyusun sebuah teori umum tentang struktur bahasa.
Istilah-istilah teknis yang dipakai dalam perkuliahan ini akan diperkenalkan sedikit demi sedikit, dengan keterangan lengkap dan sedapatnya dengan mengacu pada istilah-istilah tradisional yang berlaku secara umum. Seperti akan kita lihat, penggunaan kata-kata yang khusus dalam membicarakan bahasa menghilangkan banyak keraguan dan kemungkinan salah pengertian.
3.4.2    Pendekatan Obyektif terhadap Bahasa
Kesulitan pokok yang dihadapi orang yang baru pertama kalinya belajar linguistik  adalah kesiapannya untuk memandang bahasa secara obyektif. Karena bahasa adalah sesuatu yang cenderung kita anggap sudah benar dan semestinya; sesuatu yang sudah kita kenal sejak kecil dengan mempraktekkannya dan tanpa memikirkannya. Dan, seperti sering kita lihat, memandang hal-hal yang telah kita kenal dengan cara baru memerlukan kerja cerdas yang luar biasa. Tidak hanya karena kita telah mengenal bahasa secara intuitif atau praktis sajalah yang menghalangi pengamatan secara obyektif terhadapnya.
Ada berbagai macam prasangka sosial dan rasial yang berkaitan dengan bahasa, dan banyak pengertian umum yang keliru, ditambah lagi oleh pemutarbalikan tata bahasa tradisional yangsering diajarkan di sekola-sekolah. Sungguh sulit membebaskan pikiran seseorang dari prasangka-prasangka dan pengertian-pengertian keliru tersebut, tetapi ini merupakan langkah pertama yang perlu dan cukup besar manfaatnya.
3.4.3    Ciri-ciri Tata Bahasa Tradisional
Ketika mempelajari pembidangan dalam linguistik, dibedakan antara linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Untuk mengetahui ciri-ciri tata bahasa tradisional tidak ada suatu yang pasti, akan tetapi dapat dilacak melalui penelaahan terhadap kedua bidang tersebut. Untuk membedakan linguistik tradisional dengan linguistik modern bisa mengacu pada masalah waktu, disebut linguistik tradisional adalah pada masa sebelum abad ke-19, sedangkan disebut linguistik modern adalah pada masa sesudahnya. Pendapat lain mengatakan, linguistik tardisional mengacu kepada tradisi analisis linguistik dan teori linguistik yang berasal dari Yunani.
w  Asal-usul Filosofis Tata Bahasa Tradisional
Tata bahasa tradisional, seperti halnya begitu banyak tradisi akademis kita, sudah ada sejak zaman Yunani pada abad kelima sebalum Masehi. Bagi orang-orang Yunani “tata bahasa” sejak semula merupakan bagian dari ‘filsafat”. Maksudnya, itu merupakan bagian dari keluasan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat alam di sekitar mereka dan lembaga-lembaga sosial mereka sendiri. Istilah ‘tata bahasa tradisional’ digunakan untuk mengacu kepada tradisi analisis linguistik dan teori linguistik yang berasal dari Yunani.
w  Kaum Naturalis dan Kaum Konvensional
Filsuf-filsuf Yunani memperdebatkan apakah bahasa dipenagruhi oleh “alam” atau “konvensi”. Pertentangan antara “alam” dan “konvensi” ini biasa dalam spekulasi filsafat Yunani. Apabila suatu lembaga tertentu dikatakan ”alamiah”, itu berarti bahwa lembaga tersebut berasal dari asas-asas yang abadi dan tak berubah di luar manusia sendiri. Apabila dikatakan ”konvensional” maksudnya adalah hasil dari kebiasaan dan tradisi (yaitu persetujuan yang tak terucapkan, atau ”perjanjian sosial” antara anggota-anggota masyarakat), karena itu hasil perbuatan manusia sendiri.
Dalam diskusi tentang bahasa, perbedaan ”alam” dan ”konvensi” dipertegas, terutama untuk menjawab pertanyaan apakah mesti ada hubungan antara arti sebuah kata dan bentuknya? Para penganut aliran ”naturalis” yang ekstrem, seperti Cratylus, berpendapat bahwa semua kata secara ”alamiah” memang sesuai dengan sesuatu yang ditandainya. Maka, lahirlah praktek etimologi, yang mempelajari tentang asal-usul kata dengan maknanya. Kata etymo berarti ”benar” atau ”nyata”, mengisyaratkan asalnya yang filosofis. Membeberkan asal sebuah kata dan dengan demikian juga artinya yang ”benar” berarrti mengungkapkan salah satu kebenaran ”alam”.
Berbagai cara dikenal untuk mengetahui apakah kata secara ”alamiah” sesuai dengan artinya. Sebagai contoh dalam bahasa Inggris seperti neigh (meringkik), bleat (mengembik), hoot (suara burung hantu), crash (bunyi benturan), tinkle (bunyi denting), dan sebagainya. Kelompok kata tersebut sekalipun relatif kecil jumlahnya, bagi aliran naturalis berpendapat ada hubungan antara kata dengan ”alam”. Selain itu, ada pandangan sebagai semangat ”naturalis” bahwa fonem ”L” adalah selalu berhubungan dengan yang cair, misalnya: liquid (benda cair), oil (minyak), flow (aliran, arus), leak (kebocoran), dan sebagainya mengandung bunyi yang secara ”alamiah” sesuai dengan artinya.
Dalam bahasa Arab juga terdapat beberapa kelompok kata yang berkenaan dengan bunyi-bunyi alam. Al-Tsa’alaby (350-430 H), (tt) dalam buku Fiqh al-Lughah wa Sirr al-’Arabiyyah menghipun dalam bab tersendiri Fi al-Ashwat wa Hikayatiha, terdapan ratusan kata-kata dalam kelompok tersebut, sebagai contoh urutan suara rintihan orang yang sakit, pertama disebut (الرنين), bila kedengarannya agak keras lagi disebut (الهنين), tambah keras lagi suaranya disebut (الخنين), lebih keras lagi disebut (الأنين), paling keras disebut (الحنين). Ada lagi seperti (غاق غاق) suara burung gagak, ( طاق طاق/ طقطقة) suara ketukan, (غِق غِق) suara air mendidih. Suara ini disebutkan dalam sebuah hadits :
 "إن الشمس لتقرب يوم القيامة من الناس، حتى إن بطونهم لتقول: غق غق".
Dalam bahasa Indonesia pun terdapat beberapa kelompok kata yang diambil dari bunyi-bunyi alam. Asrifin An Nakhrawie (2004) mengumpulkan sejumlah tiga puluh lebih kelompok kata tersebut, seperti: menggonggong (bunyi suara anjing), berkokok (suara ayam), berkicau (suara burung), berdetak (arloji/jam), dan sebaginya. Saya kira semua bahasa memiliki bahasa-bahasa yang diambil dari “alam”, akan tetapi kelompok kata tersebut relatif sedikit.
Tata bahasa tradisional menyebutnya dengan istilah onomatope. Sedangkan tata bahasa moderen menyebutnya dengan istilah simbolisme bunyi.
Singkatnya, pertentangan antara kaum “naturalis” dan “konvensionalis” berlangsung berabad-abad dan mempengaruhi semua spekulasi mengenai asal mula bahasa dan hubungan antara kata-kata dan artinya. Ini penting bagi perkembangan teori tata bahasa karena menyebabkan adanya studi-studi “etimologis”.
w  Kaum Analogis dan Kaum Anomalis
Menurut John Lyons (1995:6), kata “analogi” berasal dari terjemahan kata Yunani analogia ke dalam bahasa Latin yang berarti ”teratur”. Kata ”analogi” juga dipakai dalam arti yang lebih khusus, yakni berarti ”perbandingan” matematis. Berdasarkan itu, kita katakan, misalnya, bahwa perbandingan 6:3 sama dengan perbandingan 4:2, 2:1, dan seterusnya. Istilah terakhir ini tidak dipakai disini. Sedangkan kata ”anomali” terdiri dari ”a” berarti ”tidak”, ”nomalia” berati ”teratur”. Jadi jika dihubungkan artinya ”tidak teratur”.
Untuk membedakan antara kaum analogis dan kaum anomalis, kembali menurut  Johnn Lyons (1995:6) adalah mereka yang berpendapat bahwa bahasa itu pada hakikatnya sistematis dan teratur biasanya disebut kaum ”analogis”, (Arab:قياسيون/أهل القياس)dan mereka yang berpendapat dengan sebaliknya disebut kaum ”anomalis” (Arab: مشذذون/أهل التشذيذ). Jadi aliran analogis berpandangan bahwa bahasa pada hakikatnya sistematis dan teratur. Sedangkan aliran anomalis berpandangan bahwa hakikat bahasa itu tidak sistematis dan tidak teratur.
Sebagai contoh, pola “keteraturan” dalam bahasa Inggris tentang pembentukan jamak, misalnya boy menjadi boys, cow menjadi cows, book menjadi books, dan sebagainya; dan dalam bahasa Arab, misalnya (محاضر) menjadi (محاضرون), (مسلم) menjadi (مسلمون), dan sebagainya; dalam bahasa Indonesia, misalnya buku menjadi buku-buku, kota menjadi kota-kota, dan sebagainya. Berdasarkan perbandingan secara “analogis” kita dapat membentuk beribu-ribu kata lainnya.
Kaum “analogis”  mencurahkan perhatian mereka untuk menetapkan berbagai model yang dapat dijadikan acuan penggolongan kata-kata yang teratur dalam bahasa. Sebenarnya, kaum ”anomalis” tidak menyangkal adanya keteraturan dalam pembentukan kata-kata dalam bahasa, tetapi mereka menunjukkan banyaknya contoh ketidakteraturan kata-kata yang untuk membentukanya. Oleh karena itu mereka berpandangan penalaran analogis tidak ada gunanya. Contoh dalam bahasa Inggris dalam hal pembentukan jamak, child menjadi children, man menjadi men, dan sebagainya; dalam hal kata kerja dari bentuk infinitive (arise), past tense (arose), dan past participle (arisan). Jika bahasa benar-benar hasil ”konvensi” manusia, seseorang tidak akan mengharapkan adanya berbagai macam ”ketidakteraturan” itu.
Bahwasanya perselisihan antara kaum ”analogis” dan kaum ”anomalis” tidak pernah terselesaikan secara tuntas oleh orang-orang Yunani, sejarah pertentangan di antara mereka sangat kabur, perkembangan awalnya hanya diketahui sebagian-sebagian dari kutipan dan komentar dalam karya-karya para pengarang kemudian.
3.4.4    Ciri-ciri Linguistik Modern
Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern, dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure. Kuliah-kuliahnya (yang direkonstruksikan dari catatan-catatan para mahasiswanya Bally dan Schehaye setelah ia meninggal) diterbitkan pada tahun 1915 dengan judul Cours de Linguistique Generale (Kuliah Linguistik Umum).
De Saussure disebut sebagai “Bapak Linguistik Modern” karena pandangan-pandangannya yang baru mengenai studi bahasa yang dimuat dalam bukunya itu. Menurut Abdul Chaer (2003:66), pandangan-pandangannya itu antara lain mengenai (1) telaah sinkronik dan diakronik dalam studi bahasa, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie sebagai pembentuk signe linguistique, dan (4) hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau paradigmatik. Keempat hal tersebut belum dikenal dalam studi linguistik sebelumnya.
Pada bagian ini, sebetulnya kita hendak meninggalkan sama sekali asas urutan kronologis. Sebagai gantinya, kita hendak mendaftar ciri-ciri yang paling penting yang membedakan linguistik modern sebagai keseluruhan dengan linguistik pada zaman-zaman sebelumnya. Menurut John Lyons (1995:38), setidaknya ada enam ciri yang membedakannya, yaitu berikut petikannya.
3.4.4.1 Memprioritaskan bahasa lisan
Seperti telah kita ketahui, ahli tata bahasa tradisional cenderung menganggap bahwa bahasa lisan lebih rendah dari pada bahasa tulis yang baku. Dengan sadar linguis kontemporer menentang pandangan ini dan berpendapat bahwa bahasa lisan adalah utama dan bahwa tulisan pada hakikatnya adalah suatu cara menggambarkan wicara dengan sarana lain.
Asas prioritas bahasa lisan mengatasi bahasa tulis mengandung arti, pertama-tama bahwa wicara lebih tua dan lebih luas tersebar daripada tulisan. Kadang-kadang dikatakan bahwa wicara tak dapat “dibuktikan” lebih tua daripada tulisan. Tetapi, ini benar hanya jika kata ”dibuktikan” diberi beban yang lebih berat daripada yang biasanya diperlukan dalam persoalan yang menyangkut fakta sejarah. Kita tidak mengenal sistem tulisan yang sejarahnya sudah lebih dari 6000-7000 tahun. Sebaliknya; tidak ada kelompok orang yang dikenal ada atau pernah ada tanpa kemampuan berbicara; dan beratus-ratus bahasa tidak pernah dikaitkan dengan sistem tulisan sampai dicatat oleh para linguis pada zaman kita ini. Oleh karena itu, rasanya masuk akal mengandaikan bahwa wicara sudah ada sejak permulaan adanya masyarakat manusia. Jadi singkatnya, bahasa tulisan dapat dibuktikan melalui pelacakan sejarah tentang masa awalnya, tetapi bahasa lisan tidak bisa dibuktikan kapan masa awalnya, ya sejak ada manusia itu sendiri. Sebab, asal-usul orang berbahasa itu pada awalnya secara lisan baru kemudian tulisan, tidak ada sejarahnya orang mampu menulis dulu baru berbicara.
Akan tetapi, relatif kunonya wicara dan tulisan tidak amat penting. Yang jauh lebih relevan untuk memahami hubungan antara wicara dan tulisan adalah:
? Kenyataan bahwa segala sistem tulisan adalah berdasarkan satuan-satuan bahasa lisan.
? Dalam bahasa tulisan linguis harus mengenali tiga (bisa lebih) macam satuan, ”bunyi”, ”suku kata”, dan ”kata”.
? Ada banyak bahasa yang kesulitan untuk membahasakan secara tulisan sehingga meminjam aksara (alfabetis) bahasa lain.
? Dalam bahasa tulis tidak bisa mengungkapkan intonasi bahasa lisan.
? Dalam situasi-situasi khas saat bahasa tulis dipkai, penulis dan pembaca tidak dapat langsung bertatap muka; maka informasi yang mungkin dibawakan dengan isyarat-isyarat atau air muka yang menyertai wicara harus disampaikan secara verbal.
? Tidak ada korelasi antara struktur umum bahasa-bahasa lisan yang berbeda dan macam sistem tulisan yang digunakan untuk menggambarkannya. Misalnya, bahasa Turki lisan tidak berubah sebagai akibat digantikannya tulisan Arab dengan tulisan Latin pada tahun 1926; dan juga tidak berubah bahasa Cina lisan yang terkandung dalam usulan pemerintah yang sekarang untuk mulai menggunakan tulisan alfabetis sebagai pengganti sistem ideografis tradisional. Artinya, bahasa lisan lebih bertahan sekalipun bahasa tulisnya berubah atau berganti. Bagaimana dengan bahasa Arab sendiri? Mau diubah juga?
? Dalam bahasa lisan tidak perlu membedakan pada kata-kata homofon, tetapi dalam bahasa tulis mungkin dibedakan. Contoh Inggris: great dan grat, meat dan meet, seen dan scene, dan kata-kata homograf, seperti lead dan read. Artinya, sekalipun dalam bahasa tulis dapat dibedakan tulisannya tetapi dalam bahasa lisan sama saja. Makin lama suatu bahasa telah dituliskan makin besar ketidaksesuaian antara pelafalan dengan ejaannya, kecuali, tentu saja, bila ketidaksesuaian itu dibetulkan secara berkala. Untuk keperluan itu, diadakan pembakuan-pembakuan ejaan.
Ini berarti bahwa bahasa tulis tak dapat di pandang hanya sebagai pemindahan bahasa lisan ke sarana yang lain. Dalam masyarakat terpelajar, lebih-lebih yang mendapat pendidikan dan apresiasi-apresiasi tulisan-tulisan masa lampau, bahasa tulisan dan lisan mungkin berkembang dengan kecepatan yang berbeda dan mungkin sampai menyimpang jauh satu sama lainnya dalam perbendaharaan kata dan tata bahasa. Kamus misalnya, sering ketinggalan dan kalah cepat dengan bahasa lisan.
3.4.4.2 Linguistik adalah ilmu pengetahuan deskriptif bukan preskriptif
Deskriptif dari kata (describe) berarti menggambarkan. Sedangkan preskriptif dari kata (prescribe) berarti menetapkan atau (penilaian normatif).
            Ahli tata bahasa tradisonal lebih berpandangan preskriptif, sedangkan linguistik modern lebih berpandangan deskriptif. Tata bahasa tradisional selalu punya ukuran baku dengan bahasa yang ”murni” dan ”benar”, bila berbeda dengan bahasa kesusasteraan dianggap ”penyimpangan” atau bahkan ”salah” dan mereka mengemban tugas sebagai ”penyelamat” dan ”pelestari” bahasa dari berbagai ancaman ”kerusakan”.
Ahli tata bahasa tradisional cenderung beranggapan bahwa tidak hanya bahasa tulis yang lebih mendasar daripada bahasa lisan, tetapi juga bahwa bentuk tertentu bahasa tulis, yakni bahasa kesusasteraan, pada hakikatnya lebih ”murni” dan lebih ”benar” daripada semua bentuk bahasa yang lain, baik tulis maupun lisan; dan bahwa tugasnyalah, sebagai ahli bahasa, ”melestarikan” bentuk bahasa tersebut dari ”kerusakan”. Sehingga, mereka mempunyai pandangan ketika mendapati bahwa seorang asing telah membuat ”kesalahan” atau ”tidak gramatikal”, sebab telah mengatakan sesuatu (kalimat misalnya) yang kiranya tak akan dikatakan oleh seorang penutur asli.
Untuk menanggapi pandangan tata bahasa tradisional di atas dapat dibicarakan adalah: Pertama, tentang ”kemurnian” dan ”kebenaran”. Bagi linguistik modern berpandangan, hendaknya jelas bahwa tidak ada ukuran baku yang mutlak mengenai ”kemurnian” dan ”kebenaran” dalam bahasa dan bahwa istilah-istilah itu hanya dapat ditafsirkan dalam hubungannya dengan ukuran baku tertentu yang telah dipilih sebelumnya.
Setiap bentuk bahasa yang dibedakan menurut masyarakat atau daerahnya, mempunyai ukuran bakunya sendiri mengenai ”kemurnian” dan ”kebenaran” yang senantiasa ada di dalamnya. Jika saja ini disadari dan diterima, maka jelaslah jalan menuju ke deskripsi bahasa yang memuaskan. Apakah wicara suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat akan dipakai sebagai ukuran baku untuk digunakan secara luas (misalnya sebagai dasar bagi bahasa kesusasteraan) itu adalah soal lain.
Tugas utama linguis adalah menggambarkan (describe) bagaimana sebenarnya orang-orang memakai bahasa mereka untuk berbicara dan menulis, bukan menetapkan (prescribe) atau ”menilai secara normatif” bagaimana seharusnya mereka berbicara dan menulis. Seorang linguis harus menggambarkan bahasa yang baik bukan ”menghukum” dengan ”kebenaran” atau ”kesalahan” kepada pengguna bahasa tertentu.
Kedua, berhubungan dengan anggapan bahwa perubahan bahasa mengandung ”kerusakan”. Bagi linguistik modern berpandangan, bahwa semua bahasa dapat mengalami perubahan yang terus-menerus. Inilah suatu kenyataan empiris, yang dapat diterangkan dengan sejumlah faktor yang berapa di antaranya seperti kita lihat pada bagian sebelumnya. Boleh dianggap bahwa semua bahasa yang masih bertahan ”hidup” pada hakikatnya adalah sistem-sistem komunikasi yang efisien dan dapat dioperasikan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda dalam masyarakat lingkungan pemakainya. Karena kebutuhan-kebutuhan tersebut bahasa cenderung berubah untuk menghadapi kondisi-kondisi baru. Jika diperlukan, istilah-istilah baru akan dimasukkan ke dalam perbendaharaan kata, apakah dengan ”meminjam”-nya dari bahasa-bahasa lain atau dengan membentuknya dari unsur-unsur yang sudah ada, pembedaan-pembedaan yang baru diciptakan dan yang lama hilang.
Dengan menyangkal bahwa semua perubahan dalam bahasa menjadikan bahasa kurang baik, tentu saja kita tidak bermaksud bahwa itu mesti menjadikannya lebih baik. Apa yang kita katakan hanyalah bahwa setiap ukuran bagi penilaian terhadap perubahan bahasa harus dudasarkan pada pengenalan berbagai fungsi yang ”dimintakan” untuk dipenuhi oleh bahasa dalam masyarakat pemakainya.
Dengan menyalahkan dasar pandangan sastra tata bahasa tradisional, linguis hanyalah menyatakan bahwa bahasa digunakan untuk tujuan yang lebih banyak, dan bahwa penggunaannya dalam hubungannya dengan fungsi-fungsi itu hendaknya jangan dinilai dengan kriteria yang hanya diterapkan pada bahasa sastra. ”Kerusakan” bahasa tidak selamanya datang dari luar. Memungut dari luar yang lebih baik tetapi tidak merusak yang asal karena masih baik, itu jauh lebih bijak.
3.4.4.3 Linguis memperhatikan semua bahasa
Asas ini hanyalah generalisasi dari asas terdahulu. Masih cukup banyak orang awam yang membicarakan bahasa-bahasa masih ada yang ”primitif” dan bahkan mengulangi mitos tentang adanya sekelompok orang yang hanya berbahasa terdiri atas beberapa ratus kata saja selebihnya dilengkapi isyarat-isyarat. Linguistik modern berpandangan bahwa yang benar adalah tiap-tiap bahasa yang hingga kini diteliti, tidak peduli betapapun ”terbelakang” atau ”tak beradab”-nya para penuturnya, terbukti pada saat diselidiki merupakan sistem komunikasi yang rumit tetapi tetap berkembang maju sekali. Lagi pula, sama sekali tidak ada korelasi antara berfbagai tahap perkembangan budaya yang dialami kelompom masyarakat tersebut dalam ”evaluasi” dan ”jenis” bahasa yang dituturkan pada tahap-tahap perkembangan budaya tersebut. Kalaupun ada kebenaran dalam spekulasi-spekulasi mengenai perkembangan bahasa-bahasa dari kerumitan ke kesederhanaan struktur, atau sebaliknya, ini tak ditemukan kembali lewat satu pun penelitian dari beribu-ribu bahasa yang dituturkan di seluruh dunia dewasa ini.
            Kebanyakan linguis sekarang menghindar dan menjauhkan diri dari spekulasi tentang asal dan perkembangan bahasa secara umum, lebih memandang secara sepihak. Telah terbukti bagi mereka bahwa studi tentang semua bahasa dengan cara-cara yang sama itu memuaskan.
            Mengapa harus mempehatikan bahasa lain? Jika seseorang ingin memahami filsafat Yunani atau filsafat Skolastika, misalnya, ia harus mempelajari bahasa Yunan atau bahasa Latin Abad Pertengahan (atau sekurang-kurangnya, dengan meneliti komentar-komentar dan keterangan-keterangan dengan tekun dan kritis agar dapat memahami makna istilah yang penting), atau sekurangt-kurangnya mempelajari perbendaharaan katanya yang khusus, untuk menyelidiki pokok persoalan tertentu atau membicarakannya dengan memuaskan. Dan inilah cara mempelajarinya, secara tidak langsung, sebagian kecil dari hal-hal tertentu dalam banyak bahasa. Jadi, seorang linguis sejati harus banyak mempelajari bahasa-bahasa lain, kalau ingin hasil kerjanya memuaskan.
            Masalahnya adalah bahwa tak ada bahasa yang secara intrinsik dapat dikatakan ”lebih kaya” daripada yang lain: masing-masing disesuaikan dengan apa-apa yang secara khusus dikerjakan oleh pemakainya.
            Perhatian linguis (pada dasarnya) terhadap semua bahasa berasal dari sasaran-sasaran pokok persoalan yang diproklamasikan: menyusun teori ilmiah mengenai struktur bahasa manusia. Semua contoh peristiwa bahasa yang dicatat dan dapat diamati digunakan sebagai data yang akan disistematisasikan dan ”dijelaskan” dengan teori yang umum.
3.4.4.4 Memprioritaskan deskripsi sinkronis bukan diakronis
Salah satu dari banyak perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang diperkenalkan ke dalam linguistik oleh de Saussure adalah perbedaan antara studi secara diakronis dan secara sinkronis.
Menurut Verhaar (1992:6), secara etimologis kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani dia yang berarti melalui dan khoronos yang berarti waktu atau masa. Linguistik diakronis adalah penyelidikan tentang perkembangan suatu bahasa. Menurut John Lyons (1995:46), yang dimaksud dengan diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah (melalui waktu); misalnya, studi diakronis bahasa Inggris mungkin mengalami perkembangan dari masa catatan-catatan kita yang paling awal sampai sekarang ini, atau mungkin meliputi jangka waktu tertentu yang lebih terbatas; atau misalnya, studi diakronis bahasa Arab pada masa jahili, dan tentu saja mengalami perkembangan yang berbeda pada masa sekarang ini; atau misalnya, bahasa Indonesia sekarang berlainan dari bahasa Melayu Klasik, dan berlainan pula dari bahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno memiliki awalan mar yang dalam bahasa Melayu Klasik dan dalam bahasa Indonesia menjadi me dan ber.
Selanjutnya, menurut Verhaar (1992:7), secara etimologis kata simkronis berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari syn yang berarti dengan atau  bersama, dan khronos yang berarti waktu atau masa. Kemudian menurut John Lyons (1995:46)  menyebutkan yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang ”keadaan tertentu” bahasa tersebut (pada suatu masa). Penting untuk disadari bahwa deskripsi sinkronis pada dasarnya tidak terbatas pada analisis bahasa lisan modern. Seseorang juga dapat melakukan analisis sinkronis bahasa-bahasa ”mati” atau ”usang” tentu akan kurang lengkap dibandingkan dengan deskripsi bahasa lisan modern, hanya karena tidak mungkin mengkaji kesahihan pernayataan-pernyataan tertentu bahasa itu dengan bantuan para penutur asli sebagai sumber keterangan lebih lanjut. Tetapi, banyak bahasa ”mati” atau ”usang” yang menyediakan cukup bahan untuk dideskripsikan secara sinkronis, menyeluruh, dan masuk akal.
      Seperti telah diketahui, tata bahasa tradisional abad XIX dan sebelumnya (filologi komparatif) mengutamakan perhatian yang diakronis. Sedangkan yang menjadi ciri khas bagi kebanyakan teori linguistik modern abad XX mengutamakan asas prioritas deskripsi sinkronis, ini mengandung arti bahwa pertimbangan-pertimbangan sejarah tidak berhubungan dengan penyelidikan ”keadaan-keadaan” suatu bahasa pada waktu tertentu. Penerapan asas ini mungkin dilukiskan dengan prinsip analogi terkenal yang digunakan de Saussure membandingkan bahasa dengan permainan catur.
      Selama permainan catur keadaan langkah-langkah biji catur senantiasa berubah dari satu permainan ke permainan berikutnya. Yang dihadapi seorang pemain catur adalah perubahan yang ”sinkronis” saat itu bukan ”diakronis” permainan pada masa lampau. Maksudnya, bahasa memang berubah, yang diperhatikan linguis adalah prioritas menganalisis dan mendeskripsikan perubahan saat itu ”sinkronis”, bukan kembali mendeskripsikan bahasa pada masa atau waktu yang lalu ”diakronis”.
      Secara relatif, sedikit penutur suatu bahasa yang yahu banyak tentang perkembangan historis bahasanya itu; namun dengan mempelajari bahasa tersebut secar ”wajar” atau ”alamiah” sebagai anak-anak, sampai mereka dapat menuturkannya sesuai dengan asas-asas sistematis tertentu atau ”kaidah-kaidah”,  yang terkandung  di dalam ujaran-ujaran yang mereka dengar di sekitarnya. Sekarang, tugas deskripsi linguistik sinkronis-lah untuk merumuskan ”kaidah-kaidah” sistematis itu ketika beroperasi dalam bahasa pada suatu saat tertntu.
            Asas prioritas deskripsi sinkronis pada umumnya dianggap mengandung arti lebih jauh, yaitu bahwa deskripsi diakronis berarti analisis sinkronis berbagai keadaan sebelumnya yang telah dilewati bahasa-bahasa dalam perkembangan historisnya. Karena perhatian kita tidak terutama ditujukan kepada linguistik historis dan linguistik komparatif. Namun, ada satu hal penting yang perlu dikemukakan di sisni.
            Perbedaan yang jelas antara istilah deskripsi sinkronis dan deskripsi diakronis tidak boleh diartikan bahwa secara tidak langsung waktu merupakan faktor yang menentukan dalam perubahan bahasa. Tegasnya, perubahan dalam bahasa bukanlah semata-mata menyangkut ”fungsi waktu” dalam arti ini. Banyak faktor yang berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar bahasa yang mempengaruhi perubahan bahasa. Misalnya, ”masyarakat bahasa” selalu terdiri atas berbagai kelompok, dan para anggota kelompok itu dengan berbagai cara (pengucapan, tata bahasa, dan kosa kata) akan mencerminkan perbedaan-perbedaan umur, tempat asal atau lama tinggalnya di suatu daerah, kepentingan profesi, latar belakang pendidikan, dan sebaginya. Sealain itu, faktor perbedaan-perbedaan ”gaya” dan ”bahasa resmi” (formal) dan bahasa tidak resmi (percakapan) atau kolokial (colloquial), dan sebagainya.
3.4.4.5 Mengutamakan pendekatan struktural
Ciri linguistik modern yang paling khas – yang dimilikinya bersama-sama dengan sejumlah ilmu pengetahuan lain – adalah ”strukturalisme”. Singkatnya, ini berarti bahwa setiap bahasa dipandang sebagai sistem hubungan (lebih tepatnya, seperangkat sistem yang saling berhubungan), yang unsur-unsurnya – bunyi-bunyi, kata-kata, dan sebaginya – tidak punya validitas dan bebas dari hubungan kesamaan dan perbedaan yang ada di antaranya. Sebenarnya, de Saussure membuat pembedaan itu sebagai konsekuensi keyakinannya bahwa tiap-tiap bahasa, pada suatu waktu tertentu, merupakan sistem hubungan yang padu.
            Pada bagian ini hanya menekankan bahwa tidak ada pertentangan antara pendekatan yang istimewa abstraknya terhadap studi bahasa, yang merupakan ciri khas linguistik modern dan linguistik ”struktural”, pendekatan yang lebih ”praktis”. Betapapun abstrak atau ”formal”-nya, teori linguistik modern telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana manusia benar-benar menggunakan bahasa. Ini berasal dari, dan dinyatakan  benar atau tidak benar dengan bukti empiris.
            Dalam hal ini, linguistik tidak berbeda dari setiap ilmu pengetahuan lain; dan hal ini kiranya tidak patut ditekankan, seandainya tidak ada beberapa linguis tertentu yang, karena simpati mereka terhadap perkembangan-perkembangan linguistik waktu ini, melihat perlunya mempertentangkan apa yang disebut ”formalisme” dan ”realisme” dalam studi bahasa.
3.4.4.6 Membedakan “langue” dan “parole
Salah satu yang paling mendasar ciri khas linguistik modern yang dikemukakan oleh de Saussure, para linguis sebelumnya belum pernah “menyentuh” hal ini. de Saussure membedakan antara langue dan parole, istilah Prancis yang sering dipakai dan sulit menggantikannya dengan istilah lain karena sudah sangat “familiar” di kalangan para linguis modern saat ini.
            Simanjuntak (1987) dalam Abdul Chaer (2003) mengemukakan, sebenarnya de Saussure membedakan antara langage, langue dan parole. Ketiganya bisa dipadankan dengan kata “bahasa” dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan pengertian yang sangat berbeda. Parole adalah bahasa yang konkret yang keluar dari mulut seorang pembicara. Jadi, karena sifatnyayang konkret itu maka parole itu bisa didengar. Sedangkan langue adalah bahasa tertentu sebagai satu sistem tertentu seperti bahasa Inggris atau bahasa Jawa. Simanjuntak menggunakan istilah bahasa. Jadi, sifatnya abstrak; hanya ada dalam otak penutur bahasa yang bersangkutan. Lalu, yang dimaksud dengan langage adalah ”bahasa” pada umumnya. Ini lebih abstrak lagi.
            Sekarang timbullah beberapa pertanyaan. Apakah hubungan antara langue dan parole? Manakah, jika ada salah satunya, yang dideskripsikan linguis bila ia menulis tata bahasa ”bahasa Inggris” (atau ”bahasa” lainnya)? Jawaban de Saussure sendiri terhadap pertanyaan-pertanyaan itu sebagian besar ditentukan oleh teori-teori psikologi dan sosiologi yang dianutnya.
            Hubungan antara langue dan parole sangat rumit, dan agak kontroversial. Untuk sementara, kita boleh puas dengan mengatakan bahwa semua anggota masyarakat tertentu (semua yang berbicara dalam bahasa tertentu, misalnya bahasa Inggris) mengucapkan ujaran-ujaran ketika sedang mereka berbicara dalam bahasa tersebut, yang meskipun mempunyai variasi-variasi individual, dapat dideskripsikan menurut sistem kaidah dan hubungan tertentu: dalam arti tertentu, memiliki ciri-ciri struktural yang sama. Ujaran-ujaran itu adalah contoh-contoh parole, yang oleh linguis dianggap sebabgai bukti bagi susunan struktur umum yang mendasarinya: langue. Oleh karena itu, langue atau sistem bahasanyalah yang dideskripsikan oleh linguis. Akan tetapi, kita lihat kemudian bahwa harus dibedakan anatara ”ujaran” dan ”kalimat”; dan bahwa deskripsi suatu ”bahasa” pada dasarnya adalah operasi dua tahap. Pembedaan antara ujaran dan kalimat sifatnya mendasar dalam kebanyakan teori linguistik modern. Tetapi kita dapat mengembangkan pengertian-pengertian pendahuluan tanpa menggunakannya.
3.5  Rangkuman
3.5.1    Linguis modern menyarankan istilah-istilah atau jargon yang digunakan dalam linguistik hendaknya tidak perlu rumit dan berbelit-belit.
3.5.2    Kesulitan pokok yang dihadapi orang yang baru pertama kalinya belajar linguistik  adalah kesiapannya untuk memandang bahasa secara obyektif. Seorang linguis harus menghilangkan berbagai macam prasangka sosial dan rasial yang berkaitan dengan bahasa.
3.5.3    Lingustik tradisional diasumsikan menurut kalanya adalah masa-masa sebelum abad ke-19, sedangkan linguistik modern diasumsikan adalah pada awal abad ke-20 hingga sekarang.
3.5.4    Untuk membedakan antara linguistik tradisional dan linguistik modern dapat memperhatikan tabel berikut.
           
No.
Ciri-ciri linguistik modern
Ciri-ciri linguistik tradisional
1
Memprioritaskan bahasa lisan
Tidak memprioritaskan bahasa lisan
2
Linguistik adalah ilmu pengetahuan deskriptif.
Linguistik adalah ilmu pengetahuan  preskriptif.
3
Linguis memperhatikan semua bahasa.
Linguis masih membedakan perahatian terhadap bahasa tertentu.
4
Memprioritaskan deskripsi sinkronis.
Memprioritaskan deskripsi diakronis
5
Mengutamakan pendekatan struktural.
Tidak mengutamakan pendekatan struktural.
6
Membedakan “langue” dan “parole”.
Tidak membedakan “langue” dan “parole”.

3.6  Latihan
3.6.1    Apa kesulitan yang dihadapi seorang yang baru pertama kalinya belajar linguistik?
3.6.2    Mengapa seorang linguis harus menghilangkan berbagai macam prasangka sosial dan rasial yang berkaitan dengan bahasa?
3.6.3    Bagaimana pandangan mazhab analogis dan mazhab anomalis terhadap bahasa?
3.6.4    Jelaskan perbedaan-perbedaan antara tata bahasa tradisional (linguistik tradisional) dan linguistik modern?
3.6.5    Apa yang dimaksud dengan linguistik diakronis dan linguistik sinkronis?
3.6.6    Apa yang dimaksud dengan linguistik deskriptif dan linguistik preskriptif?
3.6.7    Mengapa linguistik modern sangat memprioritaskan bahasa lisan (oral) daripada bahasa tulisan?





˜

Tidak ada komentar:

Posting Komentar