Sabtu, 05 April 2014

Konsep Dasar Kurikulum


KONSEP DASAR KURIKULUM

Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
 
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan  pembelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa (the way of life). Tujuan dan pola kehidupan suatu negara banyak tercemin dan ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya, mulai dari kurikulum pada jenjang pendidikan terendah sampai perguruan tinggi (university). Oleh sebab itu, jika terjadi perubahan system ketatanegaraan, maka dapat berimplikasi pada perubahan system pemerintahan dan sistem pendidikan, bahkan pada sistem kurikulum yang berlaku.
Pemahaman tentang kurikulum bermacam-macam, dari yang sangat sederhana seperti kurikulum merupakan mata pelajaran sampai ke kurikulum sebagai kegiatan sosial. Uraian mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian pengertian kurikulum. Pemahaman tentang kurikulum akan mempengaruhi praktik-praktik pengembangan kurikulum. Oleh sebab itu, dimensi-demensi kurikulum, fungsi, dan peranannya serta hubungan dengan Bahasa Arab merupakan fokus bahasan pada bab ini

1.1.               Pengertian Kurikulum

Secara etimologis, istilah ‘kurikulum’ (curriculum) berasal dari Bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Daalam Bahasa Prancis, istilah ‘kurikulum’  berasal dari kata courier yang berarti “berlari” (to run). Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai dengan garis finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Istilah yang berasal dari dunia olah raga atletik tersebut kemudian berubah ke dunia pendidikan menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sehinga dikatakan: Curriculum is the entire school program and all the people in it. Program tersebut berisi mata pelajaran-mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh oleh peserta didik selama kurun waktu tertentu.
Dengan demikian, secara terminologis istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah/madrasah untuk mempeoleh ijazah. Dikatakan oleh Ragan (1966): “The curriculum has mean the subject taught in school or the course of study.  Sekalipun pengertian ini tergolong tradisional, tetapi paling tidak orang bisa mengenal dan mengetahui pengertian kurikulum. Realitas menunjukkan istilah “mata pelajaran” sampai saat ini di masyarakat masih merujuk apa yang disebut sekarang dengan ‘kurikulum'.
Pandangan klasik dalam penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai saat ini adalah rasional Tyler (1949) yang mengemukakan  pertanyaan sebab akibat yang meliputi:
a.      Tujuan apa yang harus dicapai di sekolah/madrasah?
b.      Pengalaman pendidikan apakah yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut?
c.       Bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola secara efektif?
d.     Bagaimana kita dapat menentukan bahwa tujuan pendidikan ini telah dicapai? (Tyler, 1949)
Bila digambarkan pemikiran Tyler ini sebagai berikut.



 
Skema 1.1: Pemikiran Tyler yang diadaptasi

Pemikiran Tyler ini sangat linear dan mudah diikuti. Tujuan sangat dipentingkan dalam penyusunan kurikulum. Dengan menentukan tujuan akan mudah bagi siapa pun untuk dapat melaksanakan perwujudan tujuan tersebut dan kemudian melakukan penilaian sejauh mana tujuan tersebut telah dicapai.
Apabila tujuan telah ditentukan, kemudian dipertanyakan bagaimana pengalaman-pengalaman belajar dirancang agar dapat dilaksanakan. Tentu dalam melaksanakan pengalaman belajar perlu diketahui pengelolaan atau pengaturan kegiatan belajarnya agar dapat lebdapat lebih efektif. Selanjutnya kegiatan penilaian pun sangat dipentingkan dalam pemikiran Tyler. Penilaian dapat langsung memperbaiki tujuan pembelajaran, rancangan pengalaman belajar, atau secara bertahap menyempurnakan pelaksanaan pembelajaran untuk kemudian menyempurnakan tujuan kurikulum.
Pandangan Tyler ini kemudian disempurnakan oleh Hilda Taba (1962). Taba menambahkan diagnosis kebutuhan dan seleksi konten. Menurut Taba, kurikulum, pembelajaran, dan pengembangan keperibadian tidak dapat diwujudkan secara linear seperti pencapaian tujuan yang ditentukan oleh pengambil keputusan.
Selain Hilda Taba, beberapa gagasan dari para ahli kurikulum memengaruhi pengembangan kurikulum sesuai dengan perkembangan zaman. Schubert (1986), Ornstein dan Hunkins (1988), serta Cornbleth (1990) masing-masing memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam penyempurnaan kurikulum. Beberapa pemikiran tentang kurikulum ini dapat dilihat pada table 1.2 berikut.

Nama
Tahun
Definisi
Tyler
1949
Pada tahun 1949 Tyler mengidentifikasi empat pertanyaan sebagai parameter penentuan kurikulum, yaitu:
1.      Tujuan pendidikan apa yang harus dicapai di sekolah?
2.      Pengalaman pendidikan apakah yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut?
3.      Bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola secara efektif?
4.      Bagaimana kita dapat menentukan bahwa tujuan pendidikan ini telah dicapai?
Hilda Taba
1962
Kurikulum harus memuat:
·        Persyratan tujuan,
·        Menunjukkan pemilihan dan pengorganisasian subtansi, memanifestasikan pola belajar mengajar, serta
·        Memuat program penilaian hasil belajar.
Schubert
1986
Menurut Schubert, kurikulum merupakan:
·      Mata pelajaran,
·      Program kegiatan pembelajaran yang direncanakan,
·      Hasil pembelajaran yang diharapkan,
·      Reproduksi kebudayaan,
·      Tugas dan konsep yang mempunyai ciri-ciri tersendiri,
·      Agenda untuk rekonstruksi sosial, serta “currere” (penafsiran dari kecakapan hidup).
Ornstein dan Hunkins
1988
Pendekatan dalam kurikulum perlu mencerminkan kedudukan yang menyeluruh dari dasar filosofi, teori dan pelaksanaannya.
Pendekatan dalam kurikulum meliputi:
·      Behavioral-rasional,
·      Sistem manajerial,
·      Intelektual-akademik
·      Humanistic-estetik, dan
·      Rekonseptualisasi.
Layton
1989
Kurikulum dipengaruhi oleh sistem:
·       Sosial politik,
·       Ekonomi,
·       Rasional,
·       Teknologi,
·       Moral,
·       Keagamaan, dan
·       System keindahan.
Cornbleth
1990
Pengembangan merupakan kegiatan sosial yang berkesinambungan yang dipertajam oleh berbagai pengaruh kontekstual di dalam dan di luar kelas, serta diwujudkan secara interaktif terutama oleh guru dan peserta didik. Kurikulum bukan produk yang dapat dirasa atau dibayangkan, tetapi merupakan produk nyata dari interaksi sehari-hari, antarpeserta didik, guru, pengetahuan, dan lingkungan. Kurikulum mancakup kurikulum dalam praktik, kurikulum sebagai produk, objek, atau dokumen, konteks akan mempertajam kurikulum dalam praktik.

Skema 1.2: Definisi Kurikulum

Pengertian kurikulum secara modern adalah semua kegiatan dan pengalaman dan pengalaman petensial (isi/materi) yang telah disusun secara ilmiah, baik yang terjadi di dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Implikasi pengertian ini, antara lain:
a.      Kurikulum tidak hanya terdiri atas sejumlah mata pelajaran, tetapi juga meliputi semua kegiatan dan pengalaman potensial yang telah disusun secara ilmiah.
b.      Kegiatan dan pengalaman belajar tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah. Kegiatan belajar di sekolah meliputi: menyimak, bertanya, diskusi, demonstrasi, belajar di perpustakaan, eksperimen di laboratorium, workshop, alahraga, kesenian, organisasi siswa, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan belajar di luar sekolah seperti mengerjakan tugas di rumah (PR), observasi, wawancara, studi banding, pengabdian pada masyarakat, PPL, dan lain-lain. Dengan demikian, intra-curricular, extra-curricular dan co-curricular termasuk kurikulum.
c.       Guru sebagai pengembang kurikulum perlu menggunakan multistrategi dan pendekatan, serta berbagai sumber belajar secara bendekatan, serta berbagai sumber belajar secara bervariasi.
d.     Tujuan akhir kurikulum bukan untuk memperoleh ijazah, tetapi untuk mencapai tujuan pendidikan.
Ada juga pengertian kurikulum yang lebih luas lagi yaitu semua kegiatan dan pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini bermakna hidden curriculum, misalnya, fasilitas sekolah/kampus, lingkungan yang aman, bersih, indah, rapi, dan tertata, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis, ramah tamah, santun dan saling mendorong dalam proses pembelajaran, serta media dan sumber belajar yang memadai. Kesemuanya itu terletak pada kerja sama yang harmonis antara kepala sekolah, guru, peserta didik, staf TU, orang tua, dan para stake holders.

1.2.               Dimensi-Demensi Kurikulum

S. Hamid Hasan (1988), bependapat ada empat dimensi kurikulum yang saling berhubungan, yaitu “kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, kurikulum sebagai sutu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan kurikulum sebagai suatu hasil belajar”. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) meninjau kurikulum dari tiga dimensi, yaitu: “kurikulum sebagai ilmu, kurikulum sebagai sistem, dan kurikulum sebagai rencana”. Sedangkan Zainal Arifin (2011:8-12) merinci menjadi enam dimensi, yaitu: “kurikulum sebagai suatu ide, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan, kurikulum sebagai hasil belajar, kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu, kurikulum sebagai suatu sistem.” Berikut rangkumannya.
1.2.1      Kurikulum sebagai Ide
Ide atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tuntutan masyarakat, serta IPTEK.  Dimensi kurikulum sebagai ide, biasanya dijadikan inspirasi dan langkah awal pengembangan kurikulum, yaitu melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang berkembang dalam studi pendapat tersebut, kemudian akan dipilih dan ditentukan ide-ide mana yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan konstruktif sesuai dengan visi-misi dan tujuan pendidikan.
1.2.2      Kurikulum sebagai Rencana
Dimensi kurikulum sebagai rencana biasanya tertuang dalam suatu dokumen tertulis. Dimensi ini pada dasarnya merupakan realisasi dari dimensi sebelumnya. Aspek-aspek penting yang perlu dibahas, antara lain: pengembangan tujuan dan kompetensi, struktur kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi kurikulum, manajemen kurikulum, hasil belajar, dan system evaluasi.
1.2.3      Kurikulum sebagai Proses
Kurikulum harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Apa yang dilakukan peserta didik di kelas juga merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum sebagai ide dengan kurikulum sebagai proses merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh, karena semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan bagian dari kurikulum.
1.2.4      Kurikulum sebagai Hasil
Hasil belajar adalah kurikulum, tetapi kurikulum bukan hasil belajar. Hasil belajar sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai domain, seperti pengetahuan (kognitif), keterampilan, sikap, dan lain-lain (afektif dan psikomotor). Secara teoretis, domain hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis domain tersebut harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan.
Zainal Arifin (2011) menyebutkan hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu “sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasasi peserta didik, sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan, dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik.

1.3.                Fungsi dan Peranan Kurikulum

1.3.1      Fungsi Kurikulum
Dilihat dari aspek pengembang kurikulum (guru), menurut Zainal Arifin (2011:12)  menjelaskan kurikulum mempunyai fungsi sebagai berikut:
a.         Fungsi Preventif, yaitu mencegah kesalahan para pengembang kurikulum terutama dalam melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana kurikulum,
b.        Fungsi Korektif, yaitu mengoreksi dan membetulkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pengembang kurikulum dalam melaksanakan kurikulum, dan
c.         Fungsi Konstruktif, yaitu memberikan arah yang jelas bagi para pelaksana dan pengembang kurikulum untuk membangun kurikulum yang lebih baik lagi pada masa yang akan dating.
Sementara, menurut Hilda Taba (1962) mengemukakan ada tiga fungsi kurikulum, yaitu:
a.         Sebagai transmisi, yaitu mewariskan nilai-nilai kebudayaan,
b.        Sebagai transformasi, yaitu melakukan perubahan atau rekonstruksi sosial, dan
c.         Sebagai pengembangan individu.
Dilihat dari sisi peserta didik, Alexander Inglis (dalam Zainal Arifin, 2011:13) mengemukakan beberapa fungsi kurikulum, yaitu:
a.         Fungsi penyesuaian, yaitu membantu peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara komprehensif;
b.        Fungsi pengintegrasian, yaitu membentuk pribadi-pribadi yang terintegrasi sehingga mampu bermasyarakat;
c.         Fungsi perbedaan, yaitu membantu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan individual dalam masyarakat;
d.        Fungsi persiapan, yaitu mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi;
e.         Fungsi pemilihan, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih program-program pembelajaran secara selektif sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya;
f.          Fungsi diagnostik, yaitu membantu peserta didik untuk memahami dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.
1.3.2      Peranan Kurikulum
Menurut Oemar Hamalik (1990) terdapat tiga jenis peranan kurikulum yang dinilai sangat penting, yaitu:
a.         Peranan konservatif, yaitu peranan kurikulum untuk mewariskan, mentransmisikan, dan menafsirkan nilai-nilai sosial dan budaya masa lampau yang tetap eksis dalam masyarakat. Sekolah sebagai pranata sosial harus dapat memengaruhi dan membimbing tingkah laku peserta didik sesuai dengan visi, misi dan tujuan pendidikan nasional.
b.        Peranan kritis dan evaluatif, yaitu peranan kurikulum untuk menilai dan memilih nilai-nilai sosial-budaya yang akan diwariskan kepada peserta didik berdasarkan kriteria tertentu. Perubahan dan perkembangan nilai-nilai tersebut belum tentu relevan dengan karakteristik budaya bangsa kita. Nilai-nilai yang tidak relevan tentu harus disingkirkan dan diganti dengan nilai-nilai budaya baru yang positif dan bermanfaat;
c.         Peranan kreatif, yaitu peranan kurikulum untuk menciptakan dan menyusun kegiatan-kegiatan yang kreatif dan konstruktif sesuai dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan masyarakat. Kurikulum harus dapat mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman belajar yang kreatif, efektif, dan kondusif.   
 
1.4.                Teori Kurikulum

1.4.1      Pengertian Teori
Menurut Kerlinger dalam Beachamp (1975) bahwa “a theory is a set of interrelated constructs (concepts), definition , and prepositions that present a systematic view of phenomena by specifying relation among variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena.” Dari definisi ini dapat diketahui karakteristik suatu teori, yaitu (a) adanya serangkaian pernyataan yang bersifat universal, (b) dalam pernyataan tersebut terdapat konstruk (konsep) definisi dan preposisi yang saling berhubungan , (c) merupakan lawan dari praktik, (d) menampilkan pandangan yang jelas dan sistematik tentang suatu fenomena , (e) berdasarkan fakta-fakta empiris dan dapat diuji secara empiris, (f) tujuannya adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi, dan memadukan fenomena.
Teori merupakan alat suatu disiplin ilmu yang berfungsi untuk menentukan arah dari ilmu itu, menentukan data apa yang harus dikumpulkan, memberikan kerangka konsepsional tentang cara mengelompokkan dan menghubungkan data, merangkum fakta-fakta menjadi: generalisasi empiris, sistem generalisasi, menjelaskan dan memprediksi fakta-fakta; dan menunjukkan kekurangan pengetahuan kita tentang disiplin ilmu itu.
Menyimak definisi di atas, berarti teori kurikulum mempunyai pengaruh yang besar terhadap implementasi dan pengembangan kurikulum. Teori kurikulum bukan hanya sebagai landasan dan acuan, tetapi juga dapat menjelaskan dan memprediksi bagaimana praktik kurikulum. teori kurikulum mencari prinsip-prinsip atau pernyataan tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya ada/terjadi dalam pendidikan. Teori kurikulum selalu mengandung implikasi terhadap sikap dan perbuatan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, kurikulum selalu melibatkan aspek-aspek epistemologis (pengetahuan), ontologis (eksistensi dan realitas), aksiologi (nilai-nilai). Walupun aspek-aspek tersebut sulit dipisahkan satu dengan lainnya, ahli teori kurikulum dapat menekankan pada salah satu aspek tertentu yang dianggap urgen.
Teori kurikulum harus dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi para pengembang kurikulum untuk menyusun konsep tentang situasi pendidikan yang mereka hadapi, sehingga dapat membantu mereka untuk menjawab persoalan dan tantangan yang ada. Teori kurikulum dapat dilihat dari empat aspek penting, yaitu: (a) hubungan antara kurikulum dengan berbagai faktor yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kurikulum; (b) hubungan antara kurikulum dengan struktur kompetensi (pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai) yang harus dikuasai peserta didik; hubungan antara kurikulum dengan komponen-komponen kurikulum itu sendiri, seperti tujuan, isi/materi, metode, dan evaluasi; dan (d) hubungan antara kurikulum dengan pembelajaran yang diajarkan.

1.5.                Hubungan kurikulum dengan Pembelajaran Bahasa Arab

 Dalam beberapa literatur, sering kali istilah “kurikulum” dan “pembelajaran” diartikan sama. Padahal, kedua istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda, baik secara konseptual maupun praktiknya. Kurikulum merupakan pengalaman belajar yang terorganisasi dalam bentuk tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah, sedangkan pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan guru untuk membimbing dan mengarahkan peserta didik agar terjadi tindakan belajar sehingga memperoleh pengalaman belajar. Kurikulum merupakan program pembelajaran, sedangkan pembelajaran merupakan cara bagaimana mempersiapkan pengalaman belajar bagi peserta didik. Kedua istilah tersebut secara bersama-sama digunakan oleh sekolah/madrasah untuk mengembangkan program pendidikan.
Tujuan pendidikan, antara lain agar peserta didik mampu terjun ke masyarakat, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki kepribadian yang baik. Untuk itu, peserta didik harus belajar bebagai disiplin ilmu, seperti sosial-ekonomi, sains dan matematika, bahasa dan teknologi, norma dan sebagainya, termasuk bagaimana cara menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Di antara ilmu-ilmu tersebut adalah bahasa Arab. Bahasa Arab sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu harus dipelajari dalam sebuah proses yang disebut dengan pembelajaran bahasa Arab. Hubungan lain antara kurikulum dengan pembelajaran bahasa Arab dapat juga dilihat dari silabus. Silabus ini biasanya disusun dalam satu semester daan terdiri atas berbagai komponen, antara lain: standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, urutan topik-topik, skenario pembelajaran, pendekatan dan strategi, media dan sumber belajar serta sistem penilaian. Jika diperhatikan, komponen-komponen silabus ini memiliki kesamaan dengan komponen-komponen pembelajaran.
Jika kurikulum adalah programnya, maka pembelajaran bahasa Arab merupakan implementasinya. Jika kurikulum adalah konsepnya, maka pembelajaranJika kurikulum adalah konsepnya, maka pembelajaran bahasa Arab adalah penerapannya. Jika kurikulum merupakan teorinya, maka pembelajaran bahasa Arab merupakan praktiknya. Apa yang dapat kita lihat dan dilakukan dalam pembelajaran bahasa Arab, itulah sesuangguhnya kurikulum nyata (real curriculum). Kurikulum dan pembelajaran bahasa Arab merupakan dua istilah yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keduanya mempunyai posisi yang sama. Kurikulum merupakan segala sesuatu yang ideal, sedangkan pembelajaran bahasa Arab merupakan realisasi dari idealisme suatu gagasan. Apa artinya sebuah kurikulum yang sudah dirancang dengan baik, jika tidak proses pembelajarannya. Jadi, jelas antara kurikulum dan pemebelajaran bahasa Arab mempunyai hubungan yang sangat erat sekali seperti dua sisi mata uang koin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar