KONSEP
DASAR KURIKULUM
Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
Kurikulum merupakan salah
satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam
pelaksanaan pembelajaran pada semua
jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah dan dasar negara,
yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa (the
way of life). Tujuan dan pola kehidupan suatu negara banyak tercemin dan
ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya, mulai dari kurikulum pada
jenjang pendidikan terendah sampai perguruan tinggi (university). Oleh
sebab itu, jika terjadi perubahan system ketatanegaraan, maka dapat
berimplikasi pada perubahan system pemerintahan dan sistem pendidikan, bahkan
pada sistem kurikulum yang berlaku.
Pemahaman
tentang kurikulum bermacam-macam, dari yang sangat sederhana seperti kurikulum
merupakan mata pelajaran sampai ke kurikulum sebagai kegiatan sosial. Uraian
mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian pengertian kurikulum. Pemahaman
tentang kurikulum akan mempengaruhi praktik-praktik pengembangan kurikulum.
Oleh sebab itu, dimensi-demensi kurikulum, fungsi, dan peranannya serta
hubungan dengan Bahasa Arab merupakan fokus bahasan pada bab ini
1.1.
Pengertian
Kurikulum
Secara
etimologis, istilah ‘kurikulum’ (curriculum) berasal dari Bahasa Yunani,
yaitu curir yang berarti “pelari” dan curere yang berarti “tempat
berpacu”. Istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang
atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Daalam Bahasa Prancis, istilah
‘kurikulum’ berasal dari kata courier
yang berarti “berlari” (to run). Kurikulum berarti suatu jarak yang
harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai dengan garis finish
untuk memperoleh medali atau penghargaan. Istilah yang berasal dari dunia
olah raga atletik tersebut kemudian berubah ke dunia pendidikan menjadi program
sekolah dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sehinga dikatakan: Curriculum
is the entire school program and all the people in it. Program tersebut
berisi mata pelajaran-mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh oleh
peserta didik selama kurun waktu tertentu.
Dengan
demikian, secara terminologis istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di
sekolah/madrasah untuk mempeoleh ijazah. Dikatakan oleh Ragan (1966): “The
curriculum has mean the subject taught in school or the course of study.” Sekalipun pengertian ini tergolong
tradisional, tetapi paling tidak orang bisa mengenal dan mengetahui pengertian
kurikulum. Realitas menunjukkan istilah “mata pelajaran” sampai saat ini di
masyarakat masih merujuk apa yang disebut sekarang dengan ‘kurikulum'.
Pandangan
klasik dalam penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai saat ini adalah
rasional Tyler (1949) yang mengemukakan
pertanyaan sebab akibat yang meliputi:
a. Tujuan
apa yang harus dicapai di sekolah/madrasah?
b. Pengalaman
pendidikan apakah yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut?
c. Bagaimana
pengalaman pendidikan ini dapat dikelola secara efektif?
d. Bagaimana
kita dapat menentukan bahwa tujuan pendidikan ini telah dicapai? (Tyler, 1949)
Bila digambarkan pemikiran
Tyler ini sebagai berikut.
Skema
1.1: Pemikiran Tyler yang diadaptasi
Pemikiran
Tyler ini sangat linear dan mudah diikuti. Tujuan sangat dipentingkan dalam
penyusunan kurikulum. Dengan menentukan tujuan akan mudah bagi siapa pun untuk
dapat melaksanakan perwujudan tujuan tersebut dan kemudian melakukan penilaian
sejauh mana tujuan tersebut telah dicapai.
Apabila
tujuan telah ditentukan, kemudian dipertanyakan bagaimana pengalaman-pengalaman
belajar dirancang agar dapat dilaksanakan. Tentu dalam melaksanakan pengalaman
belajar perlu diketahui pengelolaan atau pengaturan kegiatan belajarnya agar
dapat lebdapat lebih efektif. Selanjutnya kegiatan penilaian pun sangat
dipentingkan dalam pemikiran Tyler. Penilaian dapat langsung memperbaiki tujuan
pembelajaran, rancangan pengalaman belajar, atau secara bertahap menyempurnakan
pelaksanaan pembelajaran untuk kemudian menyempurnakan tujuan kurikulum.
Pandangan
Tyler ini kemudian disempurnakan oleh Hilda Taba (1962). Taba menambahkan
diagnosis kebutuhan dan seleksi konten. Menurut Taba, kurikulum, pembelajaran,
dan pengembangan keperibadian tidak dapat diwujudkan secara linear seperti
pencapaian tujuan yang ditentukan oleh pengambil keputusan.
Selain
Hilda Taba, beberapa gagasan dari para ahli kurikulum memengaruhi pengembangan
kurikulum sesuai dengan perkembangan zaman. Schubert (1986), Ornstein dan
Hunkins (1988), serta Cornbleth (1990) masing-masing memberikan kontribusi yang
sangat berharga dalam penyempurnaan kurikulum. Beberapa pemikiran tentang
kurikulum ini dapat dilihat pada table 1.2 berikut.
Nama
|
Tahun
|
Definisi
|
Tyler
|
1949
|
Pada
tahun 1949 Tyler mengidentifikasi empat pertanyaan sebagai parameter
penentuan kurikulum, yaitu:
1. Tujuan
pendidikan apa yang harus dicapai di sekolah?
2. Pengalaman
pendidikan apakah yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut?
3. Bagaimana
pengalaman pendidikan ini dapat dikelola secara efektif?
4. Bagaimana
kita dapat menentukan bahwa tujuan pendidikan ini telah dicapai?
|
Hilda
Taba
|
1962
|
Kurikulum
harus memuat:
·
Persyratan tujuan,
·
Menunjukkan pemilihan dan pengorganisasian subtansi,
memanifestasikan pola belajar mengajar, serta
·
Memuat program penilaian hasil belajar.
|
Schubert
|
1986
|
Menurut
Schubert, kurikulum merupakan:
·
Mata pelajaran,
·
Program kegiatan pembelajaran yang direncanakan,
·
Hasil pembelajaran yang diharapkan,
·
Reproduksi kebudayaan,
·
Tugas dan konsep yang mempunyai ciri-ciri tersendiri,
·
Agenda untuk rekonstruksi sosial, serta “currere”
(penafsiran dari kecakapan hidup).
|
Ornstein
dan Hunkins
|
1988
|
Pendekatan
dalam kurikulum perlu mencerminkan kedudukan yang menyeluruh dari dasar
filosofi, teori dan pelaksanaannya.
Pendekatan
dalam kurikulum meliputi:
·
Behavioral-rasional,
·
Sistem manajerial,
·
Intelektual-akademik
·
Humanistic-estetik, dan
·
Rekonseptualisasi.
|
Layton
|
1989
|
Kurikulum
dipengaruhi oleh sistem:
·
Sosial politik,
·
Ekonomi,
·
Rasional,
·
Teknologi,
·
Moral,
·
Keagamaan, dan
·
System keindahan.
|
Cornbleth
|
1990
|
Pengembangan
merupakan kegiatan sosial yang berkesinambungan yang dipertajam oleh berbagai
pengaruh kontekstual di dalam dan di luar kelas, serta diwujudkan secara
interaktif terutama oleh guru dan peserta didik. Kurikulum bukan produk yang dapat
dirasa atau dibayangkan, tetapi merupakan produk nyata dari interaksi
sehari-hari, antarpeserta didik, guru, pengetahuan, dan lingkungan. Kurikulum
mancakup kurikulum dalam praktik, kurikulum sebagai produk, objek, atau
dokumen, konteks akan mempertajam kurikulum dalam praktik.
|
Skema
1.2: Definisi Kurikulum
Pengertian
kurikulum secara modern adalah semua kegiatan dan pengalaman dan pengalaman
petensial (isi/materi) yang telah disusun secara ilmiah, baik yang terjadi di
dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab
sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Implikasi pengertian ini, antara
lain:
a.
Kurikulum tidak
hanya terdiri atas sejumlah mata pelajaran, tetapi juga meliputi semua kegiatan
dan pengalaman potensial yang telah disusun secara ilmiah.
b.
Kegiatan dan
pengalaman belajar tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di luar sekolah
atas tanggung jawab sekolah. Kegiatan belajar di sekolah meliputi: menyimak,
bertanya, diskusi, demonstrasi, belajar di perpustakaan, eksperimen di
laboratorium, workshop, alahraga, kesenian, organisasi siswa, dan lain-lain.
Sedangkan kegiatan belajar di luar sekolah seperti mengerjakan tugas di rumah
(PR), observasi, wawancara, studi banding, pengabdian pada masyarakat, PPL, dan
lain-lain. Dengan demikian, intra-curricular, extra-curricular dan co-curricular
termasuk kurikulum.
c.
Guru sebagai
pengembang kurikulum perlu menggunakan multistrategi dan pendekatan, serta
berbagai sumber belajar secara bendekatan, serta berbagai sumber belajar secara
bervariasi.
d.
Tujuan akhir
kurikulum bukan untuk memperoleh ijazah, tetapi untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Ada
juga pengertian kurikulum yang lebih luas lagi yaitu semua kegiatan dan
pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan
pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung
jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di
sini bermakna hidden curriculum, misalnya, fasilitas sekolah/kampus,
lingkungan yang aman, bersih, indah, rapi, dan tertata, suasana keakraban,
kerja sama yang harmonis, ramah tamah, santun dan saling mendorong dalam proses
pembelajaran, serta media dan sumber belajar yang memadai. Kesemuanya itu
terletak pada kerja sama yang harmonis antara kepala sekolah, guru, peserta
didik, staf TU, orang tua, dan para stake holders.
1.2.
Dimensi-Demensi
Kurikulum
S.
Hamid Hasan (1988), bependapat ada empat dimensi kurikulum yang saling
berhubungan, yaitu “kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, kurikulum sebagai
sutu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan kurikulum
sebagai suatu hasil belajar”. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) meninjau
kurikulum dari tiga dimensi, yaitu: “kurikulum sebagai ilmu, kurikulum sebagai
sistem, dan kurikulum sebagai rencana”. Sedangkan Zainal Arifin (2011:8-12)
merinci menjadi enam dimensi, yaitu: “kurikulum sebagai suatu ide, kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan, kurikulum
sebagai hasil belajar, kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu, kurikulum sebagai
suatu sistem.” Berikut rangkumannya.
1.2.1 Kurikulum
sebagai Ide
Ide
atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah
mengikuti perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tuntutan
masyarakat, serta IPTEK. Dimensi
kurikulum sebagai ide, biasanya dijadikan inspirasi dan langkah awal
pengembangan kurikulum, yaitu melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak
ide-ide yang berkembang dalam studi pendapat tersebut, kemudian akan dipilih
dan ditentukan ide-ide mana yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan
konstruktif sesuai dengan visi-misi dan tujuan pendidikan.
1.2.2 Kurikulum
sebagai Rencana
Dimensi
kurikulum sebagai rencana biasanya tertuang dalam suatu dokumen tertulis. Dimensi
ini pada dasarnya merupakan realisasi dari dimensi sebelumnya. Aspek-aspek
penting yang perlu dibahas, antara lain: pengembangan tujuan dan kompetensi,
struktur kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi kurikulum,
manajemen kurikulum, hasil belajar, dan system evaluasi.
1.2.3 Kurikulum
sebagai Proses
Kurikulum
harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Apa yang dilakukan peserta didik
di kelas juga merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum
sebagai ide dengan kurikulum sebagai proses merupakan suatu rangkaian yang
berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh, karena semua kegiatan di sekolah
maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan bagian dari
kurikulum.
1.2.4 Kurikulum
sebagai Hasil
Hasil
belajar adalah kurikulum, tetapi kurikulum bukan hasil belajar. Hasil belajar
sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai domain, seperti pengetahuan
(kognitif), keterampilan, sikap, dan lain-lain (afektif dan psikomotor). Secara
teoretis, domain hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis
domain tersebut harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor, di antaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan
lingkungan.
Zainal
Arifin (2011) menyebutkan hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu
“sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasasi
peserta didik, sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan
informasi dalam inovasi pendidikan, sebagai indikator intern dan ekstern dari
suatu institusi pendidikan, dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap
(kecerdasan) peserta didik.
1.3.
Fungsi dan Peranan Kurikulum
1.3.1
Fungsi Kurikulum
Dilihat
dari aspek pengembang kurikulum (guru), menurut Zainal Arifin (2011:12) menjelaskan kurikulum mempunyai fungsi sebagai
berikut:
a.
Fungsi Preventif,
yaitu mencegah kesalahan para pengembang kurikulum terutama dalam melakukan
hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana kurikulum,
b.
Fungsi Korektif,
yaitu mengoreksi dan membetulkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
pengembang kurikulum dalam melaksanakan kurikulum, dan
c.
Fungsi Konstruktif,
yaitu memberikan arah yang jelas bagi para pelaksana dan pengembang kurikulum
untuk membangun kurikulum yang lebih baik lagi pada masa yang akan dating.
Sementara,
menurut Hilda Taba (1962) mengemukakan ada tiga fungsi kurikulum, yaitu:
a.
Sebagai transmisi,
yaitu mewariskan nilai-nilai kebudayaan,
b.
Sebagai
transformasi, yaitu melakukan perubahan atau rekonstruksi sosial, dan
c.
Sebagai
pengembangan individu.
Dilihat
dari sisi peserta didik, Alexander Inglis (dalam Zainal Arifin, 2011:13)
mengemukakan beberapa fungsi kurikulum, yaitu:
a.
Fungsi penyesuaian,
yaitu membantu peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
secara komprehensif;
b.
Fungsi
pengintegrasian, yaitu membentuk pribadi-pribadi yang terintegrasi sehingga
mampu bermasyarakat;
c.
Fungsi perbedaan,
yaitu membantu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan individual
dalam masyarakat;
d.
Fungsi persiapan,
yaitu mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi;
e.
Fungsi pemilihan,
yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih program-program
pembelajaran secara selektif sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya;
f.
Fungsi diagnostik,
yaitu membantu peserta didik untuk memahami dirinya sehingga dapat
mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.
1.3.2 Peranan
Kurikulum
Menurut
Oemar Hamalik (1990) terdapat tiga jenis peranan kurikulum yang dinilai sangat
penting, yaitu:
a.
Peranan
konservatif, yaitu peranan kurikulum untuk mewariskan, mentransmisikan, dan
menafsirkan nilai-nilai sosial dan budaya masa lampau yang tetap eksis dalam
masyarakat. Sekolah sebagai pranata sosial harus dapat memengaruhi dan
membimbing tingkah laku peserta didik sesuai dengan visi, misi dan tujuan
pendidikan nasional.
b.
Peranan kritis dan evaluatif,
yaitu peranan kurikulum untuk menilai dan memilih nilai-nilai sosial-budaya
yang akan diwariskan kepada peserta didik berdasarkan kriteria tertentu.
Perubahan dan perkembangan nilai-nilai tersebut belum tentu relevan dengan
karakteristik budaya bangsa kita. Nilai-nilai yang tidak relevan tentu harus
disingkirkan dan diganti dengan nilai-nilai budaya baru yang positif dan
bermanfaat;
c.
Peranan kreatif,
yaitu peranan kurikulum untuk menciptakan dan menyusun kegiatan-kegiatan yang
kreatif dan konstruktif sesuai dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan
masyarakat. Kurikulum harus dapat mengembangkan semua potensi yang dimiliki
peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman belajar yang kreatif,
efektif, dan kondusif.
1.4.
Teori Kurikulum
1.4.1
Pengertian Teori
Menurut
Kerlinger dalam Beachamp (1975) bahwa “a theory is a set of interrelated
constructs (concepts), definition , and prepositions that present a systematic
view of phenomena by specifying relation among variables, with the purpose of
explaining and predicting phenomena.” Dari definisi ini dapat diketahui
karakteristik suatu teori, yaitu (a) adanya serangkaian pernyataan yang
bersifat universal, (b) dalam pernyataan tersebut terdapat konstruk (konsep)
definisi dan preposisi yang saling berhubungan , (c) merupakan lawan dari
praktik, (d) menampilkan pandangan yang jelas dan sistematik tentang suatu
fenomena , (e) berdasarkan fakta-fakta empiris dan dapat diuji secara empiris,
(f) tujuannya adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi, dan
memadukan fenomena.
Teori
merupakan alat suatu disiplin ilmu yang berfungsi untuk menentukan arah dari
ilmu itu, menentukan data apa yang harus dikumpulkan, memberikan kerangka
konsepsional tentang cara mengelompokkan dan menghubungkan data, merangkum
fakta-fakta menjadi: generalisasi empiris, sistem generalisasi, menjelaskan dan
memprediksi fakta-fakta; dan menunjukkan kekurangan pengetahuan kita tentang
disiplin ilmu itu.
Menyimak
definisi di atas, berarti teori kurikulum mempunyai pengaruh yang besar
terhadap implementasi dan pengembangan kurikulum. Teori kurikulum bukan hanya
sebagai landasan dan acuan, tetapi juga dapat menjelaskan dan memprediksi
bagaimana praktik kurikulum. teori kurikulum mencari prinsip-prinsip atau
pernyataan tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya ada/terjadi dalam
pendidikan. Teori kurikulum selalu mengandung implikasi terhadap sikap dan
perbuatan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, kurikulum selalu melibatkan
aspek-aspek epistemologis (pengetahuan), ontologis (eksistensi dan realitas),
aksiologi (nilai-nilai). Walupun aspek-aspek tersebut sulit dipisahkan satu
dengan lainnya, ahli teori kurikulum dapat menekankan pada salah satu aspek
tertentu yang dianggap urgen.
Teori
kurikulum harus dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi para pengembang
kurikulum untuk menyusun konsep tentang situasi pendidikan yang mereka hadapi,
sehingga dapat membantu mereka untuk menjawab persoalan dan tantangan yang ada.
Teori kurikulum dapat dilihat dari empat aspek penting, yaitu: (a) hubungan
antara kurikulum dengan berbagai faktor yang dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kurikulum; (b) hubungan antara kurikulum dengan struktur kompetensi
(pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai) yang harus dikuasai peserta
didik; hubungan antara kurikulum dengan komponen-komponen kurikulum itu
sendiri, seperti tujuan, isi/materi, metode, dan evaluasi; dan (d) hubungan
antara kurikulum dengan pembelajaran yang diajarkan.
1.5.
Hubungan kurikulum dengan Pembelajaran Bahasa
Arab
Dalam beberapa literatur, sering kali istilah
“kurikulum” dan “pembelajaran” diartikan sama. Padahal, kedua istilah tersebut
mempunyai arti yang berbeda, baik secara konseptual maupun praktiknya.
Kurikulum merupakan pengalaman belajar yang terorganisasi dalam bentuk tertentu
di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah, sedangkan pembelajaran adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan guru untuk membimbing dan mengarahkan
peserta didik agar terjadi tindakan belajar sehingga memperoleh pengalaman
belajar. Kurikulum merupakan program pembelajaran, sedangkan pembelajaran
merupakan cara bagaimana mempersiapkan pengalaman belajar bagi peserta didik.
Kedua istilah tersebut secara bersama-sama digunakan oleh sekolah/madrasah
untuk mengembangkan program pendidikan.
Tujuan
pendidikan, antara lain agar peserta didik mampu terjun ke masyarakat,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki kepribadian yang baik.
Untuk itu, peserta didik harus belajar bebagai disiplin ilmu, seperti
sosial-ekonomi, sains dan matematika, bahasa dan teknologi, norma dan
sebagainya, termasuk bagaimana cara menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Di antara ilmu-ilmu tersebut adalah bahasa Arab. Bahasa Arab sebagai
sebuah ilmu pengetahuan tentu harus dipelajari dalam sebuah proses yang disebut
dengan pembelajaran bahasa Arab. Hubungan lain antara kurikulum dengan
pembelajaran bahasa Arab dapat juga dilihat dari silabus. Silabus ini biasanya
disusun dalam satu semester daan terdiri atas berbagai komponen, antara lain:
standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, urutan topik-topik,
skenario pembelajaran, pendekatan dan strategi, media dan sumber belajar serta
sistem penilaian. Jika diperhatikan, komponen-komponen silabus ini memiliki
kesamaan dengan komponen-komponen pembelajaran.
Jika
kurikulum adalah programnya, maka pembelajaran bahasa Arab merupakan
implementasinya. Jika kurikulum adalah konsepnya, maka pembelajaranJika
kurikulum adalah konsepnya, maka pembelajaran bahasa Arab adalah penerapannya.
Jika kurikulum merupakan teorinya, maka pembelajaran bahasa Arab merupakan
praktiknya. Apa yang dapat kita lihat dan dilakukan dalam pembelajaran bahasa
Arab, itulah sesuangguhnya kurikulum nyata (real curriculum). Kurikulum
dan pembelajaran bahasa Arab merupakan dua istilah yang berbeda tetapi tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keduanya mempunyai posisi yang sama.
Kurikulum merupakan segala sesuatu yang ideal, sedangkan pembelajaran bahasa
Arab merupakan realisasi dari idealisme suatu gagasan. Apa artinya sebuah kurikulum
yang sudah dirancang dengan baik, jika tidak proses pembelajarannya. Jadi,
jelas antara kurikulum dan pemebelajaran bahasa Arab mempunyai hubungan yang
sangat erat sekali seperti dua sisi mata uang koin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar