PERKEMBANGAN KURIKULUM
DALAM PENGAJARAN BAHASA
Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Pemerintah
Negara Indonesia antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
mewujudkan amanat itu, pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai upaya pembangunan pendidikan
nasional. Salah satu produk UU Sisdiknas tersebut adalah kurikulum. Kurikulum
memiliki peran strategis dan signifikan dalam kemajuan pendidikan nasional.
Karena kurikulum membantu terwujudnya kualitas potensi peserta didik. Lalu
apakah yang dimaksud kurikulum itu?
Ada banyak
definisi kurikulum hingga saat ini. Dalam kurikulum termuat komponen
pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan orang tua. Tiap komponen memiliki
pandangan berbeda mengenai kurikulum. Secara umum Tyler dan Hilda Taba melalui
Ornestein dan Hunkins (2004:10) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah rencana
tindakan atau dokumen tertulis yang mencakup strategi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan atau tujuan akhir.
Sementara itu,
pemerintah melalui UU nomor 20 tahun 2003 dan PP nomor 19 tahun 2005
mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
untuk satu satuan atau jenjang pendidikan. Berdasar definisi tersebut kedudukan
pemerintah dalam kurikulum adalah penyusun dan pengatur penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya,
kurikulum juga diartikan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses
belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga
pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 2008:5). Definisi Nasution ini
mewakili pandangan lembaga pendidikan bahwa sekolah dan guru sebagai pelaksana
kurikulum. Artinya lembaga pendidikan dan guru berposisi sebagai pembimbing dan
penanggung jawab pelaksanaan kurikulum.
Di sisi lain,
orang tua beranggapan bahwa kurikulum merupakan tempat merumuskan tujuan
pendidikan dan bahan-bahan yang harus ditempuh anaknya untuk mencapai tingkat
tertentu yang (Siahaan, 1987:3). Orang tua mengharapkan kurikulum dapat
membentuk kepribadian, keterampilan, dan ilmu pengetahuan bagi anaknya.
Perbedaan
pandangan di atas terjadi karena pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan
orang tua memiliki peran berbeda baik dalam penyusunan maupun evaluasi
pelaksanaan kurikulum. Pemerintah adalan penyusun dan pengatur pedoman
penyelenggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan dan guru bertindak sebagai
pelaksana. Sementara orang tua sebagai pemberi saran dan masukan.
Kurikulum akan
selalu dikembangkan sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat. Pengembangan
kurikulum khususnya kurikulum bahasa Indonesia dilandasi tiga pandangan
teoretis dalam pengajaran bahasa. Pandangan pertama adalah pandangan paling
tradisional di antara yang lain, yaitu pandangan structural (Richard dan
Rodgers, 2001:20-21). Pandangan menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem
elemen struktural terkait untuk mengoding makna. Target pembelajaran bahasa
dilihar dari penguasaan elemen sistem bahasa seperti fonologikal dan unit
gramatikal, operasi gramatikal, dan unit leksikal. Audiolingual method, TPR,
dan Silent Way menggunakan pandangan ini.
Pandangan kedua
adalah fungsional bahasa. Menurut pandangan ini bahasa adalah sarana untuk
ekspresi makna fungsional. Teori ini menekankan pada dimensi semantik dan
komunikatif daripada hanya pada karakteristik gramatikal bahasa (Richard dan
Rodger, 2001:21). Teori ini juga mengarahkan pada spesifikasi dan organisasi
isi pengajaran bahasa dengan kategori fungsi dan makna daripada dengan elemen
struktur dan tata bahasa.
Pandangan
ketiga adalah pandangan interaksional. Pandangan ini melihat bahasa sebagai
sarana untuk merealisasikan hubungan interpersonal dan untuk kinerja transaski
antarindividu. Bahasa dilihat sebagai sebuah alat untuk mengkreasikan dan
memelihara hubungan sosial. Isi pengajaran bahasa menurut pandangan ini
ditentukan dan diorganisasi oleh pola pertukaran dan interaksi.
Kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami sederetan perubahan dimulai tahun 1947,
1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan
tersebut memang merupakan akibat logis dari perubahan sistem politik, sistem
ekonomi, sosial budaya, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Perubahan kurikulum di Indonesia terbagi dalam tiga kategori, yaitu tahun 1947
s.d. 1968 disebut kurikulum rencana pelajaran, tahun 1975 s.d.
1984 disebut dengan rencana pendidikan, tahun 1999 s.d. 2013
disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi.
Kurikulum tahun
1947 dikenal dengan istilah rencana pelajaran. Bentuk kurikulum ini dipengaruhi
oleh sistem kolonial pemerintahan Belanda. Kurikulum ini berisi dua hal pokok
yaitu a) daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya dan b) garis-garis besar
pengajaran. Selain itu, kurikulum ini kurang menekankan pada aspek kognitif
tetapi aspek watak dan perilaku. Kemudian terjadi penyempurnaan pada tahun
1952. Kurikulum itu dinamakan rencana pelajaran terurai. Hal yang menonjol
dalam rencana pelajaran terurai ini adalah isi pelajaran dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana
Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan Pancawardhana,
yaitu :a) Daya cipta, b) Rasa, c) Karsa, d) Karya, e) Moral.
Setelah itu,
lahirlah kurikulum pada tahun 1975 yang berorientasi pada tujuan. Kurikulum ini
menekankan pada isi atau materi pelajaran. Menurut kurikulum ini belajar adalah
menguasai materi sebanyak-banyaknya. Dipengaruhi oleh teori behaviorisme, bahwa
proses belajar mengajar adalah berupa stimulus dan respon. Kurikulum 1975
hingga tahun 1983 dianggap sudah tidak lagi memenuhi perkembangan kebutuhan
masyarakat dan iptek sehingga muncullah kurikulum 1984. Ciri kurikulum ini
yaitu berorientasi pada tujuan instruksional, pendekatan belajar CBSA, materi
pelajaran dikemas dengan pendekatan spiral, materi diberikan berdasarkan
kesiapan dan kematangan siswa, dan menggunakan pendekatan keterampilan proses.
Selanjutnya,
kurikulum 1984 pun akhirnya disempurnakan lagi dengan kurikulum yang lebih
baru, yaitu kurikulum 1994. Kurikulum 1994 ini bercirikan dikenalnya sistem
caturwulan, menekankan materi pelajaran yang cukup padat, menggunakan strategi
yang melibatkan siswa secara aktif. Sesudah dievaluasi, ternyata kurikulum 1947
s.d. 1994 memiliki kelemahan yaitu kurangnya penguasaan keterampilan (skill)
karena yang lebih ditonjolkan penguasaan kognitif.
Untuk semakin
memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat, disusunlah kurikulum yang berbasis
kompetensi. Kurikulum tersebut adalah kurikulum 2004 dan 2006 (KTSP) yang
menekankan penguasaan kompetensi secara holistis. Kurikulum 2004 dikembangkan
secara sentralisasi (disusun oleh pusat), sedangkan kurikulum 2006 dikembangkan
secara desentralisasi (kerangka dasar kurikulum dari pusat, sekolah dapat
mengembangkan sesuai kondisi). Keduanya sama-sama berbasis kompetensi. Kurikulum
2004 memuat SK, KD, MP, dan indikator pencapaian sementara kurikulum 2006 hanya
memuat SK, KD dan komponen lain dikembangkan oleh guru.
Secara umum
setiap kurikulum yang disusun akan dilandasi oleh landasan filosofis, landasan psikologis,
landasan sosiologis, dan landasan iptek. Ornstein dan Hunkins
(2009:32) menjelaskan bahwa landasan filosofis ini menjelaskan tujuan
pendidikan, kecocokan isi, proses pembelajaran dan pengajaran, dan pengalaman
serta aktivitas yang seharusnya ditekankan oleh sekolah. Landasan psikologis
menyediakan sebuah dasar untuk memahami proses pengajaran dan pembelajaran.
Selain itu, Ornstein dan Hunkins (2009:108) juga menegaskan peranan psikologi
yaitu untuk memberi dorongan pembentukan dasar untuk metode, materi, dan
aktivitas belajar yang termuat dalam kurikulum.
Berkaitan
dengan perkembangan kurikulum di Indonesia, lantas apa saja pendekatan yang
melandasi perubahan kurikulum sejak tahun 1947 s.d. 2013? Kurikulum tahun 1947
s.d. 1964 dilandasi oleh pendekatan behaviorisme karena menekankan
pembentukan watak perjuangan. Kurikulum 1975 s.d. 1994 dilandasi oleh pendekatan
komunikatif dan keterampilan proses karena melibatkan siswa secara aktif
dalam pembelajaran. Lalu kurikulum 2004 s.d. 2013 dilandasi oleh pendekatan
kompetensi dan kontekstual-komunikatif karena siswa diarahkan pada
pencapaian kompetensi secara holistis dan memiliki kompetensi komunikatif. Karakteristik
kurikulum bahasa akan mempengaruhi penggunaan metode pengajaran bahasa. Metode
yang digunakan pun ada bermacam-macam. Metode-metode yang pernah digunakan
dalam pengajaran bahasa dipaparkan berikut ini.
Grammar-Translation Method
Metode ini
tidak hanya menentukan cara yang seharusnya digunakan untuk mengajarkan bahasa,
dengan menekankan pada penggunaan ekslusif bahasa target, teknik pengajaran
tanya jawab intensif, demonstrasi, dramatisasi untuk mengokunikasikan makna
kata. Metode ini juga menentukan kosakata dan tata bahasa yang diajarkan dan
cara menyajikannya (Richard, 2001:3). Sesuai dengan namanya metode in merupakan
kombinasi antara Metode Tata Bahasa dan Translation Method atau Metode
Terjemahan. Ciri-ciri khusus metode ini dengan sendirinya sama dengan ciri-ciri
kedua metode tersebut, antara lain:
1.
Seperti halnya dengan Metode Tata Bahasa,
metode ini cocok untuk kelas yang besar dan tidak memerlukan seorang guru yang
harus menguasai bahasa asing secara aktif dan lancer atau pendidikan khusus.
2.
Tata bahasa yang diajarkan adalah tata bahasa
formal.
3.
Kosakata yang dipergunakan tergantung pada teks
atau bacaan yang telah dipilih.
4.
Pelajaran dimulai dengan kaidah-kaidah tata
bahasa, kosakata tanpa konteks, dan terjemahan.
5.
Kegiatan penerjemahan dimulai dengan
penerjemahan kosakata tanpa konteks, kemudia bacaan-bacaan pendek, mula-mula
dari bahasa asing ke dalam bahasa siswa, kemudian sebaliknya.
6.
Setiap pelajaran berisi kaidah tata bahasa,
kosakata yang harus diterjemahkan, paradigma yang harus dihafal, serta latihan
menerjemahkan, jumlah jam pelajaran disesuaikan dengan jumlah jam yang tersedia
untuk pengajaran bahasa.
7.
Pronounciation atau ucapan tidak diajarkan,
kalaupun diberikan hanya sedikit sekali dan tidak ada latihan yang mengarah
kepada kemahiran menggunakan bahasa secara lisan.
Structural Method
Structural
Method dikenalkan pertama pada tahun 1920 oleh ahli linguis terapan terkemuka
Inggris, Harold Palmer. Ia adalah orang yang meletakkan dasar untuk Structural
Method. Dalam buku Curriculum Development in Language Teaching (Jack C Richard,
2001:3-4) disampaikan rangkuman prinsip metodologi pengajaran bahasa pada tahun
1920 yaitu:
1.
Orientasi siswa ke arah pembelajaran bahasa.
2.
Membentuk kebiasaan.
3.
Ketepatan – menghindari bahasa tidak akurat.
4.
Gradasi – setiap tahap menyiapkan siswa untuk
tahap selanjutnya.
5.
Proporsi – setiap aspek bahasa diberikan penekanan.
6.
Konkretisasi – bergerak dari konkret menuju
abstrak.
7.
Perhatian – membangkitkan perhatian siswa
sepanjang waktu.
8.
Urutan perkembangan – mendengarkan sebelum
berbicara, dan mendengarkan-berbicara sebelum menulis.
9.
Beberapa garis pendekatan – banyak digunakan cara
berbeda untuk mengajar bahasa.
Langkah awal ke arah metode ini berpusat pada
pendekatan untuk menentukan isi kosakata dan tata bahasa program pengajaran
bahasa. Hal ini menyebabkan munculnya prosedur yang dikenal dengan seleksi dan
gradasi. Bidang seleksi dalam pengajaran bahasa berkaitan dengan pilihan unit
bahasa yang sesuai untuk tujuan pengajaran dan dengan pengembangan teknik dan
prosedur di mana bahasa dapat disederhanakan pada bahasa yang paling berguna
untuk pelajar (Mackey, 1965 melalui Richard, 2001:4). Dua aspek seleksi yang
mendapat perhatian utama dalam beberapa dekade pertama abad 20 adalah
vocabulary selection dan grammar selection. Pendekatan untuk dua aspek seleksi
meletakkan dasar untuk desain silabus dalam pengajaran bahasa. Vocabulary
selection mengacu pada ‘kata apa yang seharusnya diajarkan?’. Kata-kata dengan
frekuensi tertinggi dan jangkauan terluas dianggap yang paling berguna untuk
tujuan pengajaran bahasa. (hlm 6.) Gradasi berkaitan dengan pengelompokkan dan
pengurutan item mengajar dalam silabus. Silabus gramatikal menentukan kumpulan
struktur gramatikal yang diajarkan dan urutan di mana seharusnya diajarkan.
Situasional Method
Munculnya
metode ini dilatarbelakangi oleh pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
atau bahasa asing menjadi aktivitas semakin penting setelah perang dunia kedua
(1950-an). Mobilitas orang yang semakin luas akibat pertumbuhan perjalanan
udara dan pariwisata internasional. Semakin penting dalam perdagangan dunia.
Semua perkembangan ini mendukung perlunya perintah praktis bahasa Inggris untuk
orang-orang di berbagai belahan dunia daripada penguasaan bahasa akademik
sebagai salah satu hal yang diperoleh dalam program kelas biasa.(hlm 24).
Dengan kata
lain, pendekatan yang digunakan menitikberatkan pada bahasa sebagai alat
komunikasi. Oleh karena itu, lahirlah metodologi yang menarik pada pendekatan
lisan pada 1950-an dan 1960-an. Metodologi tersebut memiliki karakteristik
sebagai berikut.
·
Silabus struktural dengan tingkat kosakata
bergradasi.
·
Penyajian struktur bermakna dalam konteks
melalui penggunaan situasi untuk mengontekstualisasikan poin pengajaran baru.
·
Urutan aktivitas kelas dimulai dari presentasi,
latihan terkontrol, produksi bebas.
Ini menjadi
dikenal sebagai pendekatan situasional or pendekatan structural situasional
atau pengajaran bahasa situasional. Di Amerika pada tahun 1960-an pengajaran
bahasa di bawah pengaruh metode yang kuat yaitu audiolingualisme. Teknik
pengajaran memanfaatkan pola pengulangan dialog dan praktik sebagai dasar untuk
otomatisasi diikuti dengan latihan yang melibatkan pentransferan pola belajar
untuk situasi baru (Bloomfield 1942,12 melalui Richard, 2001:25).
Karakteristik
utama metode ini adalah:
·
Pengajaran bahasa dimulai dengan bahasa lisan.
Materi diajarkan secara lisan sebelum disajikan dalam bentuk tertulis
·
Bahasa target adalah bahasa yang digunakan di
kelas
·
Poin bahasa baru dikenalkan dan dipraktikkan
secara situasional
·
Prosedur pemilihan kosakata diikuti untuk
memastikan kosakata pelayanan umum tercakup
·
Item tata bahasa yang dinilai mengikuti prinsip
bahwa bentuk sederhana lebih dulu diajarkan daripada bentuk yang kompleks. (Richard
dan Rodger 2001:39)
Communicative
Method
Metode ini didasarkan pada pendekatan
komunikatif dalam pengajaran bahasa. Pendekatan komunikatif berawal dari teori
bahasa sebagai komunikasi (Richard, ….159). Tujuan pengajaran bahasa adalah
sebagai kompetensi komunikatif (Hymes, 1972). Teori belajar bahasa menurut
metode ini adalah 1) aktivitas yang melibatkan komunikasi nyata dalam pembelajaran;
2) aktivitas di mana bahasa digunakan untuk melakukan tugas bermakna; 3) bahasa
yang berarti bagi pelajar adalah yang mendukung proses belajar (Johnson 1982
melalui Richard 161). Harmer (2001:84) memaparkan bahwa pengajaran bahasa
komunikatif adalah seperangkat keyakinan yang dicakup tidak hanya pada apa
aspek bahasa untuk mengajar tetapi juga pergeseran dalam penekanan dalam
bagaimana cara untuk mengajar. Metode ini juga menekankan pada pentingnya
fungsi bahasa daripada memfokuskan semata-mata pada tata bahasa dan kosakata
(daripada menekankan pada pola-pola mekanik bahasa).
ANALISIS
KEBUTUHAN
Salah satu
bagian penting dalam pengembangan kurikulum adalah analisis kebutuhan. Analisis
kebutuhan dilakukan untuk menemukan apa yang perlu dipelajari dan apa
diinginkan pembelajar untuk diketahui. Karena itulah, kurikulum yang ideal
harus mewakili kebutuhan peserta didik. Dengan demikian, analisis kebutuhan
diarahkan terutama pada tujuan dan isi dari program pembelajaran (Nation dan
Machalister, 2010:24).
Lantas apa
hakikat analisis kebutuhan itu? Richard (2001:51) menjelaskan bahwa program
pendidikan yang baik harus didasarkan pada analisis kebutuhan pembelajar.
Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan
pembelajar tersebut dikenal dengan analisis kebutuhan (Richard, 2001:51).
Selanjutnya, analisis kebutuhan dalam pengajaran bahasa bisa digunakan untuk
sejumlah tujuan berbeda. Tujuannya antara lain,
·
Untuk mengetahui apa kemampuan bahasa yang
pembelajar butuhkan dalam melakukan peran tertentu.
·
Untuk membantu menentukan apakah program
pembelajaran yang ada memadai bagi kebutuhan potensial siswa.
·
Untuk mengumpulkan informasi tentang masalah
tertentu yang dialami pembelajar.
·
Untuk mengidentifikasi kesenjangan antara apa
yang dapat siswa lakukan dan apa yang dibutuhkan siswa untuk dapat melakukan.
Richard
(2001:52) menyebutkan langkah pertama dalam melakukan analisis kebutuhan yaitu
menentukan dengan tepat apa tujuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar