Sabtu, 05 April 2014

Landasan Pengembangan Kurikulum Bahasa Arab


ASAS-ASAS PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA ARAB

Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary

1.      Pendahuluan

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pendidikan dan Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan dan proses pendidikan tidak akan berjalan mulus. Kurikulum diperlukan sebagai salah satu komponen untuk menentukan tercapainya tujuan pendidikan. Di dalam kurikulum terangkum berbagai kegiatan dan pola pengajaran yang dapat menentukan arah proses pembelajaran. Itulah sebabnya, menelaah dan mengkaji kurikulum merupakan suatu kewajiban bagi guru.
Berbicara lebih jauh mengenai kurikulum telah banyak yang mengemukakan pendapat para ahli pendidikan. Dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Senada dengan pengertian di atas, Oemar Hamalik menyatakan bahwa kurikulum adalah suatu alat yang amat penting dalam rangka merealisasi dan mencapai tujuan pendidikan sekolah.
Dalam arti luas kurikulum dapat diartikan sesuatu yang dapat mempengaruhi siswa, baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Namun, kurikulum haruslah direncanakan agar pengaruhnya terhadap siswa benar-benar dapat diamati dan diukur hasilnya. Adapun hasil–hasil belajar tersebut haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, relevan dengan kebutuhan ocial ekonomi dan ocial budaya masyarakat, sesuai dengan tuntutan minat, kebutuhan dan kemampuan para siswa sendiri, serta sejalan dengan dengan proses belajar para siswa yang menempuh kegiatan-kegiatan kurikulum. Sementara S. Nasution menyimpulkan bahwa berbagai tafsiran kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan yaitu:
Pertama, Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.
Kedua, kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakuaka oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
Ketiga, Kurikulum dapat dilihat sebagai hal-hal yang diharpkan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
Keempat, kurikulum sebagai pengalaman siswa. Dari beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa kurikulum merupakan seperangkat pelajaran yang harus diberikan kepada siswa dengan metode tertentu dan pengalaman belajar yang relevan dengan tujuan pembelajaran di bawah tanggung jawab sekolah.
Mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan yang dapat diajukan untuk diperhitungkan. Misalnya, apakah yang ingin dicapai, manusia yang bagaimana yang diharpakan akan bentuk? Dan seterusnya, hal ini mengindikasikan bahwa kurikulum haruslah kita lihat apakah relevan dengan tujuan negara kita (filosofi Indonesia), apakah sejalan dengan kebutuhan manusia (asas psikologi), apakah sesuai dengan perkembangan, perubahan, kebudayaan keadaan masyarakat kita (asas sosiolgis), apakah sesuai dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan dan yang terakhir adalah apakah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi (asas teknologi). Dari paparan singkat di atas dapat kita pahami bahwa untuk mengembangkan kurikulum ternyata ada beberapa (empat atau lima) landasan atau asas yang perlu kita perhatikan. Sehingga dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas landasan-landasan (asas-asas) tersebut.

2.      Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka penulis hanya membatasi pada persoalan :
a.       Hakikat Pengembangan Kurikulum
b.      Asas-asas pengembangan Kurikulum
c.       Hakikat Pengembangan Kurikulum
Kurikulum adalah rencana yang membutuhkan proses dan pengaturan secara rinci guna mewujudkan tercapainya arah tujuan pendidikan tertentu, kususnya pada pengembangan kurikulum pendidikan bahasa arab. Mengingat jurusan arah tempuh  pendidikan kita adalah bahasa arab maka focus pembahasan kita adalah seputar kurikulum bahasa . Namun perlu disadari bahwa kurikulum bahasa arab pada fondasi pokoknya itu sama dengan pengembangan kurikulum lain. Berarti pembahasan ini mau tidak mau pasti akan berurusan dengan kurikulum secara umum, karena bila berbicara masalah asas-asasnya itu pasti dari fondasi dasar kurikulum pendidikan itu sendiri. Bila ingin menelaah tentang asas- asas kurikulum maka tidak bisa lepas dari factor-faktor berikut :
  • Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan rujukan utama dasar pendidikan nasional, sebab hal itu merupakan falsafah bagi pendidikan di Negara Indonesia.
  • Tujuan pendidikan nasional baik secara umum maupun secara kusus. Sebab dalam hal ini perlu menggunakan asas filosofis untuk merumuskannya baik dari segi konsep maupun teknisnya.
  • Standar pendidikan nasional, artinya ini merupakan paket pendidikan lengkap dan fasilitas memadai. Biasanya yang menjadi sorotan adalah standar isi dan standar kompetensi lulusan.
  • Nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat setempat atau wilayah setempat yang masih berlaku. Untuk lebih jelasnya adalah tergantung pada kebutuhan.
  • Tuntutan zaman, semakin berkembang maka semakin beragam banyaknya tuntutan. Kususnya dalam bidang IPTEK yang selalu dirasa factor paling berpengaruh cepat dalam dunia pendidikan kususnya dalam pengamplikasian kurikulum.
Pengembangan kurikulum pada hakikatnya proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana cara mempelajarinya. Namun demikian, persoalan mengenmabngkan isi dan bahan pelajaran serta bagaimana cara belajarsiswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai; sedangkan menetukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakt. Persoalan inilah yang kemudian membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita namakan asas-asas atau landasan pengembangan kurikulum.

2.1       Asas-asas Pengembangan Kurikulum

Guru, sebagai pengembang kurikulum dalam skala mikro, perlu memahami kurikulum dan asas-asas yang mendasarinya. Karena guru mempunyai peran sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa atau guru sebagai agen pembelajaran. Karena kita ketahui bersama asas merupakan pondasi (landasan), sehingga hal ini sangat urgen untuk kita ketahui. Terlebih lagi hal ini merupakan kritik sosial buat pemerintah apakah yang selama ini mereka sajikan (kurikulum) mempunyai relevan dengan keenam asas ini atau tidak relevan.
Sehingga kita mengetahui, pertama apakah memang kurikulum yang selama ini kita pakai sesuai dengan tujuan Negara (asas filosofi), kedua apakah sejalan dengan kebutuhan manusia (asas psikologi), ketiga apakah sesuai dengan perkembangan, perubahan, kebudayaan dan keadaan masyarakat kita (asas sosiolgis), apakah sesuai dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan (asas organisatoris) dan apakah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi (asas teknologi) dan yang terakhir adalah apakah sesuai dengan aspek-aspek bahasa yang dipelajari, yang mana pada hal ini adalah bahasa arab (asas kebahasaan) Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan keenam asas diatas yakni asas filosofi, asas psikologi, asas sosiolgis, asas teknologi dan asas kebahasaan sebagai berikut.
2.1.1        Asas Filosofis
           Filsafat dalam arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua kata philo (cinta) dan shopia (kebijakan). Dalam batasan modern filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang mana diharapkan agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta. Sekolah bertujuan mendidik anak menjadi manusia yang baik dalam masyarakat tempat ia hidup. Perbedaan landasan filsafat dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan dalam tujuan pendidikan. Karena hal ini menyangkut apa saja bahan pelajaran yang akan disajikan guna mencapai tujuan tersebut.
Sebagai induk dari semua pengetahuan, filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang metafisika yang membahas segala yang ada di alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran, dan axiology,yang membahas nilai.Apabila diamati dari unsur-unsur tersebut, tampaknya filsafat mempunyai jangkauan kajian yang sangat luas. Bagi pengembang kurikulum, dengan memiliki pengetahuan filsafat maka akan memberikan dasar yang kuat untuk mengambil suatu keputusan yang tepat dan konsisten. Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya, yaitu filsafat dan pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan filosofis.
Dalam makalah ini akan dikemukakan salah satu pandangan tentang filsafat pendidikan, yaitu pandangan John Dewey. Hal itu tidak berarti bahwa pandangan tersebut paling sesuai untuk masyarakat kita atau paling disetujui penulis. Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membawa konsekuensi yang cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah. Filsafat Dewey lebih berkenaan dengan epistemologi dan tekanannya kepada proses berfikir. Proses berfikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses berfikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata.Apakah pendidikan menurut John Dewey? Pendidikan berarti perkembangan, perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi, pendidikan juga berarti sebagai kehidupan.
Bagi Dewey, education is growth, development, life. Proses pendidikan bersifat kontinyu, dan merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup.Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. Tujuan pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan pendidikannya. Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan keharusan individu meneruskan perkembangannya. Dalam penyusunan bahan ajaran menurut Dewey hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
  • Bahan ajaran hendaknya konkret, dipilih yang benar-benar berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara sistematis dan mendetail,
  • Pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya ditempatkan dalam kedudukan yang berarti, yang memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih menyeluruh.
Bahan pelajaran bagi anak tidak bisa semata-mata diambil dari buku pelajaran. Bahan pelajaran harus berisikan kemungkinan-kemungkinan, dan harus mendorong anak untuk bergiat dan berbuat. Bahan pelajaran harus memberikan rangsangan pada anak-anak untuk bereksperimen. Peranan guru bukan hanya berhubungan dengan mata pelajaran melainkan dia harus menempatkan dirinya dalam seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. Guru juga harus dapat memilah dan memilih bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Metode mengajar merupakan penyusunan bahan ajaran yang memungkinkan diterima oleh para siswa dengan lebih efektif. Metode mengajar harus fleksibel dan menimbulkan inisiatif kepada para siswa.Sekolah merupakan suatu lingkungan khusus, bagian dari lingkungan manusia, yang mempunyai peranan dan fungsi khusus.
Fungsi-fungsi dari sekolah adalah:
  • Menyediakan lingkungan yang disederhanakan, karena tidak mungkin memasukkan semua peradaban manusia yang sangat kompleks ke sekolah,
  • Membentuk masyarakat yang akan datang lebih baik,
  • Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam lingkungan. Sekolah memberikan kesempatan kepada individu memperluas lingkungan hidupnya.
Namun suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah bahwa pengembang kurikulum tidak bisa hanya menonjolkan filsafat pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan filsafat yang lain, antara lain falsafah negara dan falsafah lembaga pendidikan.Setiap negara pasti mempunyai suatu falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Di Indonesia landasan filosofisnya adalah Pancasila. Seperti dinyatakan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1968, Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan negara kita.Tiap lembaga pendidikan mempunyai misi dalam rangka bagian dari pendidikan nasional.
Falsafah suatu lembaga pendidikan (Universitas, IAIN, UIN, STAIN, Akademi maupun Sekolah) jarang sekali dinyatakan secara jelas, spesifik dan eksplisit dalam bentuk tertulis. Bahasa Arab masuk wilayah Indonesia dapat dipastikan bersamaan dengan masuknya agama Islam, karena bahasa Arab erat kaitannya dengan berbagai bentuk peribadatan dalam Islam. Maka tujuan pembelajaran bahasa Arab yang pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan shalat. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, materi yang diajarkan adalah doa-doa shalat serta surat-surat pendek dalam al-Qur’an yang lazim disebut juz amma.
Apabila pembelajaran bentuk pertama ini kita lihat dari pendekatan filososfis maka tentunya belum ada tujuan eksplisit yang tertulis yang bisa dijumpai. Orang belajar bahasa Arab semata-mata karena motif agama. Meski demikian secara tersirat sudah ada tujuan yang jelas, yakni bahasa Arab sebagai sarana untuk beribadah.Pengajaran bahasa Arab yang verbalistik ini dirasa tidak cukup, karena al-Qur’an tidak cukup dibaca hanya sebagai sarana peribadatan saja, melainkan pedoman hidup yang harus dipahami ma’nanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Maka muncullah pengajaran bahasa Arab bentuk kedua dengan tujuan pendalaman ajaran agama Islam, yang tumbuh berkembang di pondok pesantren. Materi pelajaran di pesantren ini meliputi fiqih, aqaid, hadist, tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, saraf dan balaghah dengan buku teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari pelbagai abad masa lalu. Pengajaran bahasa Arab bentuk kedua – yang dapat digolongkan ke dalam bentuk pengajaran bahasa Arab untuk tujuan khusus – adalah yang paling dominan di tanah air dan diakui kontribusinya dalam memahamkan umat Islam Indonesia terhadap ajaran agamanya.
Meski dipandang dari segi penguasaan bahasa Arab, kemahiran yang berhasil dicapai terbatas pada kemahiran reseptif. Bentuk pembelajaran bahasa arab yang kedua ini juga hampir tidak berbeda jauh dengan bentuk pembelajaran bahasa Arab yang pertama. Hanya tujuannya saja yang diperluas, yakni mempelajari atau memperdalam ajaran Islam dan demikian juga materi-materi pelajaran yang diajarkan sudah beragam.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan jarang membuat falsafah lembaganya secara tertulis. Falsafah yang dimaksudkan di sini adalah mencakup:
·         Alasan rasional mengenai eksistensi lembaga pendidikan itu,
·         Prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya,
·         Nilai-nilai dan prinsip yang dijunjung tinggi,
·         Prinsip-prinsip pendidikan mengenai anak, hakikat proses belajar mengajar dan hakikat pengetahuan.
Sementara bentuk lain pengajaran bahasa Arab yang ada di Indonesia adalah yang terdapat di lembaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum), meminjam istilah Wajiz Anwar, L.Ph adalah “bentuk yang tidak menentu”. Ketidakmenentuan ini bisa dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi tujuan, terdapat kerancauan antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) atau sebagai alat untuk menguasai pengetahuan lain yang menggunakan wahana bahasa Arab. Kedua dari segi jenis bahasa yang dipelajari, terdapat ketidakmenentuan apakah bahasa Arab klasik, bahasa Arab Modern atau bahasa Arab sehari-hari. Ketiga dari segi metode, terdapat kegamangan antara mempertahankan yang lama (gramatika-terjemah) dan metode baru (all in one sistem, direct methode dll).
Melihat fenomena ini pemerintah memang telah melakukan perbaikan-perbaikan, diantaranya dimulai sejak workshop penyusunan silabus pengajaran bahasa Arab untuk tingkat dasar, menengah, dan lanjut (1972) sampai disosialisasikannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (disingkat KBK pada tahun 2004) dalam jajaran pendidikan Indonesia, dan mengadakan pelatihan bagi guru mengenai berbagai pendekatan atau strategi pembelajaran mutakhir, seperti Pembelajaran Quantum, (Quantum Learning) Belajar Mengajar Kontekstual (Contextual Teaching) dan sebagainya.Dari segi landasan filosofis, bentuk pengajaran bahasa Arab yang ketiga ini memiliki landasan filosofis yang jelas, yaitu ‘Pancasila’. Namun sayangnya asas filosofis disini nampaknya masih monoton atau asas tunggal dimana filsafat pendidikan masih belum difungsikan. Sehingga muncullah problem- problem sebagaimana yang dikemukakan oleh Wajiz Anwar di atas. Atau mungkin masalah ‘kegagalan pembelajaran Bahasa Arab’ adalah masalah yang sangat kompleks, sehingga yang perlu diperbaiki bukan hanya sisi landasan filosofisnya saja.
2.1.2        Asas Psikologis
Dalam pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik serta antara peserta didik dengan orang-orang lainnya. Manusia berbeda dengan mahluk lainnya seperti hewan, benda dan binatang karena kondisi psikologisnya. Kondisi psikologis tiap individu berbeda karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa sejak kelahirannya.Minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari kurikulum, yaitu psikologi perkembangan, karena peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan dan psikologi belajar, karena kemajuan-kemajuan yang dialami peserta didik sebagian besar karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan, pengingatan, pembiasaan, pemahaman, penerapan, maupun pemecahan masalah.Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.
Sementara psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar.Apabila landasan psikologi perkembangan ini kita coba terapkan dalam pembelajaran bahasa Arab maka hal yang pertama kali perlu diperhatikan adalah masalah kesesuaian materi dengan tahap perkembangan peserta didik. Misalnya anak yang masih belajar bahasa Arab di tingkat Madrasah Ibtidaiyah tentunya tidak tepat bila diberi materi pelajaran qawaid. Selain itu dalam menyajikan materi pelajaran dari Madrasah Ibtadaiyah sampai Madrasah Aliyah perlu dirancang sedemikian rupa dengan menjadikan masa/fase perkembangan fisik dan intelektual peserta didik sebagai landasan dan menghasilkan susunan materi yang berangkat dari hal-hal yang mudah menuju hal-hal yang rumit dan kompleks. Sementara dari teori psikologi belajar kita bisa menerapkan beberapa teori. Misalnya terori Stimulus-Respon dari aliran Behaviorisme.
Dengan model reward dan punishment dalam pembelajaran tentunya siswa lebih bersemangat. Berikan saja hadiah yang sederhana misalnya penggaris atau ballpoint untuk setiap jawabnya yang benar yang diberikan oleh siswa. Atau ketika menghukum siswa, berilah hukuman yang edukatif misalnya dengan menyuruh siswa menghafalkan 50 kosa kata baru dalam bahasa Arab.
2.1.3        Asas Sosiologis atau Sosial Budaya
Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita dan kebutuhan masyarakat. Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum para pengembang kurikulum hendaknya merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka tinggal, merespon terhadap berbagai kebutuhan yang dilontarkan atau diusulkan oleh beragam golongan dalam masyarakat. Sangat banyak kebutuhan masyarakat yang harus dipilah-pilah, disaring dan diseleksi agar menjadi suatu keputusan dalam pengembangan kurikulum. Kompleksitas kehidupan dalam masyarakat disebabkan oleh :
·         Dalam masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam,
·         Kepentingan antar individu berbeda-beda,
·         Masyarakat selalu mengalami perkembangan.
Bila dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Arab, maka kita perlu mengambil keputusan dengan tepat, masyarakat membutuhkan belajar bahasa Arab untuk apa? Apakah untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam, atau mungkin sarana komunikasi antar bangsa. Seandainya masyarakat membutuhkan bahasa Arab karena untuk tujuan dunia kerja (TKW) maka tentunya yang lebih ditekankan adalah kemampuan muhadatsahnya (conversation) dan seandainya masyarakat membutuhkan untuk mendalami ajaran-ajaran Islam maka tentunya kemampuan gramatikal dan tarjamah perlu diberikan. Sedapat mungkin kurikulum dibangun dan dikembangkan dengan tetap merujuk pada asas kemasyarakatan berikut dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada zamannya.
2.1.4        Asas Organisatoris
Asas ini berkenaan dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan. Bagaimana bahan pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, atau bidang studi seperti yang dilaksanakan di Indonesia, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran dalam bentuk kurikulum yang terpadu.Hal ini juga muncul dalam Bahasa Arab.
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pengajaran bahasa Arab. Yang pertama نظرية الوحدة atau integrated system dan kedua نظرية الفروع  atau separated system.Untuk me refresh ingatan kita, perlu dijelaskan kembali secara singkat tentang dua pendekatan tersebut. Nadhariyatul Wahdah dimaksudkan agar dalam pembelajaran bahasa kita harus melihat bahasa itu sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan sebagai bagian-bagian atau segi-segi yang terpisah dan masing-masing berdiri sendiri. Sedangkan Nadhariyatul Furu’ justru sebaliknya, dalam arti bahasa itu terdiri dari beberapa aspek, baik gramatik, morpologis, sintaksis, semantic, leksikal, stilistik yang harus diajarkan secara terpisah-pisah sesuai dengan cabangnya masing-masing.
Tampaknya landasan organisatoris pengajaran bahasa Arab di Indonesia untuk tingkatan Madrasah Ibtidaiyah sampai dengan Madrasah Aliyah bahkan Perguruan Tinggi (PT) menggunakan pendekatan Nadhariyatul Wahdah. Sehingga pengajaran bahasa Arab disajikan dalam bentuk satu kesatuan bidang studi. Dalam satu kesatuan bidang studi tersebut sudah mencakup materi al-qaidah, al-Qiraah, al-Hiwar, dan Imla’. Sementara untuk jurusan tertentu di perguruan tinggi, seperti Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan Bahasa dan Sastra Arab (BSA) menggunakan pendekatan Nadhariyatul Furu’ di mana materi-materi bahasa Arab disajikan secara terpisah.
2.1.5        Asas Perkembangan Ilmu dan Teknologi
Yang dimaksud dengan asas pengembangan ilmu dan teknologi adalah para pengambil kebijakan kurikulum hendaknya memperhatikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa masyarakat terpencil yang tertutup, dengan adanya transportasi dan komunikasi yang luas berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan mau berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang tadinya hanya konsumtif terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru.
Hal-hal di atas menuntut perubahan pada system dan isi pendidikan. Sehingga, pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agar mampu hidup pada masa kini dan masa yang akan datang.
Dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa Arab, maka sudah seyogyanya mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada sekarang ini. Misalnya untuk keperluan kemahiran istima’, dirancang sebuah software yang bisa dimanfaatkan oleh siswa di labolatorium bahasa atau digunakan secara mandiri. Sehingga problema kegagalan siswa memperoleh kemampuan aktif ekspresif bisa diatasi.

2.1.6        Asas Kebahasaan

Setiap bahasa mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan bahasa lain. Oleh karena itu, dalm pengembangan kurikulum bahasa Arab, terutama untuk pembelajarannya bagi selain orang Arab harus memperhatikan berbagai aspek bahasa tersebut. Asas kebahasaan ini meliputi berbagai kajian bahasa Arab yang bersifat teoritik maupun praktik. Seperti hakikat bahasa Arab, karakteristik bahasa Arab dan kontrastif dan error analisis.

3.2       Hakikat bahasa Arab

Hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum bahasa Arab diantaranya adalah hakikat bahasa Arab atau the nature of Arabic language. Bahasa Arab memiliki prinsip dasar:
·         bahasa adalah suatu sistem
·         bahasa adalah bunyi ujaran
·         bahasa adalah tersusun dari lambing-lambang albitrer
·         bahasa adalah bersifat unik dan khas
·         bahasa adalah dibangun dari kebiasaan-kebiasaan
·         bahasa adalah alat komunikasi
·         bahasa berhubungan erat dengan budaya setempat
·         bahasa selalu berubah-ubah

3.3              Karakteristik Bahasa Arab

Aspek karakteristik bahasa juga harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum bahasa Arab. Diantara ciri-ciri dan kekhasan bahasa arab
  1. Al-Ashwat
  2. Al-Isytiqaq
  3. Al-Ma’ani
  4. Al-Tarkib
  5. Al-Lahjah
  6. Al-Ta’rib
  7. Al-Rasm
  8. A-adab (Ahmad Syalabi,1970:23-25)
3.4       Kontrastif Analisis dan Error Analisis

Kontrastif analisis adalah asalah suatu kajian yang membandingkan dua bahasa atau lebih dengan mengacu pada segi-segi persamaan dan perbedaan.
-Error analisis adalah suatu kajian yang membahas tentang kesilapan- kesilapan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa asing.

Perkembangan Kurikulum dalam Pengajaran Bahasa


PERKEMBANGAN KURIKULUM DALAM PENGAJARAN BAHASA

Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary



Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan amanat itu, pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai upaya pembangunan pendidikan nasional. Salah satu produk UU Sisdiknas tersebut adalah kurikulum. Kurikulum memiliki peran strategis dan signifikan dalam kemajuan pendidikan nasional. Karena kurikulum membantu terwujudnya kualitas potensi peserta didik. Lalu apakah yang dimaksud kurikulum itu?
Ada banyak definisi kurikulum hingga saat ini. Dalam kurikulum termuat komponen pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan orang tua. Tiap komponen memiliki pandangan berbeda mengenai kurikulum. Secara umum Tyler dan Hilda Taba melalui Ornestein dan Hunkins (2004:10) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah rencana tindakan atau dokumen tertulis yang mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau tujuan akhir.
Sementara itu, pemerintah melalui UU nomor 20 tahun 2003 dan PP nomor 19 tahun 2005 mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu untuk satu satuan atau jenjang pendidikan. Berdasar definisi tersebut kedudukan pemerintah dalam kurikulum adalah penyusun dan pengatur penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya, kurikulum juga diartikan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 2008:5). Definisi Nasution ini mewakili pandangan lembaga pendidikan bahwa sekolah dan guru sebagai pelaksana kurikulum. Artinya lembaga pendidikan dan guru berposisi sebagai pembimbing dan penanggung jawab pelaksanaan kurikulum.
Di sisi lain, orang tua beranggapan bahwa kurikulum merupakan tempat merumuskan tujuan pendidikan dan bahan-bahan yang harus ditempuh anaknya untuk mencapai tingkat tertentu yang (Siahaan, 1987:3). Orang tua mengharapkan kurikulum dapat membentuk kepribadian, keterampilan, dan ilmu pengetahuan bagi anaknya.
Perbedaan pandangan di atas terjadi karena pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan orang tua memiliki peran berbeda baik dalam penyusunan maupun evaluasi pelaksanaan kurikulum. Pemerintah adalan penyusun dan pengatur pedoman penyelenggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan dan guru bertindak sebagai pelaksana. Sementara orang tua sebagai pemberi saran dan masukan.
Kurikulum akan selalu dikembangkan sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat. Pengembangan kurikulum khususnya kurikulum bahasa Indonesia dilandasi tiga pandangan teoretis dalam pengajaran bahasa. Pandangan pertama adalah pandangan paling tradisional di antara yang lain, yaitu pandangan structural (Richard dan Rodgers, 2001:20-21). Pandangan menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem elemen struktural terkait untuk mengoding makna. Target pembelajaran bahasa dilihar dari penguasaan elemen sistem bahasa seperti fonologikal dan unit gramatikal, operasi gramatikal, dan unit leksikal. Audiolingual method, TPR, dan Silent Way menggunakan pandangan ini.
Pandangan kedua adalah fungsional bahasa. Menurut pandangan ini bahasa adalah sarana untuk ekspresi makna fungsional. Teori ini menekankan pada dimensi semantik dan komunikatif daripada hanya pada karakteristik gramatikal bahasa (Richard dan Rodger, 2001:21). Teori ini juga mengarahkan pada spesifikasi dan organisasi isi pengajaran bahasa dengan kategori fungsi dan makna daripada dengan elemen struktur dan tata bahasa.
Pandangan ketiga adalah pandangan interaksional. Pandangan ini melihat bahasa sebagai sarana untuk merealisasikan hubungan interpersonal dan untuk kinerja transaski antarindividu. Bahasa dilihat sebagai sebuah alat untuk mengkreasikan dan memelihara hubungan sosial. Isi pengajaran bahasa menurut pandangan ini ditentukan dan diorganisasi oleh pola pertukaran dan interaksi.
Kurikulum pendidikan nasional telah mengalami sederetan perubahan dimulai tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan tersebut memang merupakan akibat logis dari perubahan sistem politik, sistem ekonomi, sosial budaya, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Perubahan kurikulum di Indonesia terbagi dalam tiga kategori, yaitu tahun 1947 s.d. 1968 disebut kurikulum rencana pelajaran, tahun 1975 s.d. 1984 disebut dengan rencana pendidikan, tahun 1999 s.d. 2013 disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi.
Kurikulum tahun 1947 dikenal dengan istilah rencana pelajaran. Bentuk kurikulum ini dipengaruhi oleh sistem kolonial pemerintahan Belanda. Kurikulum ini berisi dua hal pokok yaitu a) daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya dan b) garis-garis besar pengajaran. Selain itu, kurikulum ini kurang menekankan pada aspek kognitif tetapi aspek watak dan perilaku. Kemudian terjadi penyempurnaan pada tahun 1952. Kurikulum itu dinamakan rencana pelajaran terurai. Hal yang menonjol dalam rencana pelajaran terurai ini adalah isi pelajaran dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan Pancawardhana, yaitu :a) Daya cipta, b) Rasa, c) Karsa, d) Karya, e) Moral.
Setelah itu, lahirlah kurikulum pada tahun 1975 yang berorientasi pada tujuan. Kurikulum ini menekankan pada isi atau materi pelajaran. Menurut kurikulum ini belajar adalah menguasai materi sebanyak-banyaknya. Dipengaruhi oleh teori behaviorisme, bahwa proses belajar mengajar adalah berupa stimulus dan respon. Kurikulum 1975 hingga tahun 1983 dianggap sudah tidak lagi memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat dan iptek sehingga muncullah kurikulum 1984. Ciri kurikulum ini yaitu berorientasi pada tujuan instruksional, pendekatan belajar CBSA, materi pelajaran dikemas dengan pendekatan spiral, materi diberikan berdasarkan kesiapan dan kematangan siswa, dan menggunakan pendekatan keterampilan proses.
Selanjutnya, kurikulum 1984 pun akhirnya disempurnakan lagi dengan kurikulum yang lebih baru, yaitu kurikulum 1994. Kurikulum 1994 ini bercirikan dikenalnya sistem caturwulan, menekankan materi pelajaran yang cukup padat, menggunakan strategi yang melibatkan siswa secara aktif. Sesudah dievaluasi, ternyata kurikulum 1947 s.d. 1994 memiliki kelemahan yaitu kurangnya penguasaan keterampilan (skill) karena yang lebih ditonjolkan penguasaan kognitif.
Untuk semakin memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat, disusunlah kurikulum yang berbasis kompetensi. Kurikulum tersebut adalah kurikulum 2004 dan 2006 (KTSP) yang menekankan penguasaan kompetensi secara holistis. Kurikulum 2004 dikembangkan secara sentralisasi (disusun oleh pusat), sedangkan kurikulum 2006 dikembangkan secara desentralisasi (kerangka dasar kurikulum dari pusat, sekolah dapat mengembangkan sesuai kondisi). Keduanya sama-sama berbasis kompetensi. Kurikulum 2004 memuat SK, KD, MP, dan indikator pencapaian sementara kurikulum 2006 hanya memuat SK, KD dan komponen lain dikembangkan oleh guru.
Secara umum setiap kurikulum yang disusun akan dilandasi oleh landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan landasan iptek. Ornstein dan Hunkins (2009:32) menjelaskan bahwa landasan filosofis ini menjelaskan tujuan pendidikan, kecocokan isi, proses pembelajaran dan pengajaran, dan pengalaman serta aktivitas yang seharusnya ditekankan oleh sekolah. Landasan psikologis menyediakan sebuah dasar untuk memahami proses pengajaran dan pembelajaran. Selain itu, Ornstein dan Hunkins (2009:108) juga menegaskan peranan psikologi yaitu untuk memberi dorongan pembentukan dasar untuk metode, materi, dan aktivitas belajar yang termuat dalam kurikulum.
Berkaitan dengan perkembangan kurikulum di Indonesia, lantas apa saja pendekatan yang melandasi perubahan kurikulum sejak tahun 1947 s.d. 2013? Kurikulum tahun 1947 s.d. 1964 dilandasi oleh pendekatan behaviorisme karena menekankan pembentukan watak perjuangan. Kurikulum 1975 s.d. 1994 dilandasi oleh pendekatan komunikatif dan keterampilan proses karena melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Lalu kurikulum 2004 s.d. 2013 dilandasi oleh pendekatan kompetensi dan kontekstual-komunikatif karena siswa diarahkan pada pencapaian kompetensi secara holistis dan memiliki kompetensi komunikatif. Karakteristik kurikulum bahasa akan mempengaruhi penggunaan metode pengajaran bahasa. Metode yang digunakan pun ada bermacam-macam. Metode-metode yang pernah digunakan dalam pengajaran bahasa dipaparkan berikut ini.
Grammar-Translation Method
Metode ini tidak hanya menentukan cara yang seharusnya digunakan untuk mengajarkan bahasa, dengan menekankan pada penggunaan ekslusif bahasa target, teknik pengajaran tanya jawab intensif, demonstrasi, dramatisasi untuk mengokunikasikan makna kata. Metode ini juga menentukan kosakata dan tata bahasa yang diajarkan dan cara menyajikannya (Richard, 2001:3). Sesuai dengan namanya metode in merupakan kombinasi antara Metode Tata Bahasa dan Translation Method atau Metode Terjemahan. Ciri-ciri khusus metode ini dengan sendirinya sama dengan ciri-ciri kedua metode tersebut, antara lain:
1.   Seperti halnya dengan Metode Tata Bahasa, metode ini cocok untuk kelas yang besar dan tidak memerlukan seorang guru yang harus menguasai bahasa asing secara aktif dan lancer atau pendidikan khusus.
2.   Tata bahasa yang diajarkan adalah tata bahasa formal.
3.   Kosakata yang dipergunakan tergantung pada teks atau bacaan yang telah dipilih.
4.   Pelajaran dimulai dengan kaidah-kaidah tata bahasa, kosakata tanpa konteks, dan terjemahan.
5.   Kegiatan penerjemahan dimulai dengan penerjemahan kosakata tanpa konteks, kemudia bacaan-bacaan pendek, mula-mula dari bahasa asing ke dalam bahasa siswa, kemudian sebaliknya.
6.   Setiap pelajaran berisi kaidah tata bahasa, kosakata yang harus diterjemahkan, paradigma yang harus dihafal, serta latihan menerjemahkan, jumlah jam pelajaran disesuaikan dengan jumlah jam yang tersedia untuk pengajaran bahasa.
7.   Pronounciation atau ucapan tidak diajarkan, kalaupun diberikan hanya sedikit sekali dan tidak ada latihan yang mengarah kepada kemahiran menggunakan bahasa secara lisan.
Structural Method
Structural Method dikenalkan pertama pada tahun 1920 oleh ahli linguis terapan terkemuka Inggris, Harold Palmer. Ia adalah orang yang meletakkan dasar untuk Structural Method. Dalam buku Curriculum Development in Language Teaching (Jack C Richard, 2001:3-4) disampaikan rangkuman prinsip metodologi pengajaran bahasa pada tahun 1920 yaitu:
1.      Orientasi siswa ke arah pembelajaran bahasa.
2.      Membentuk kebiasaan.
3.      Ketepatan – menghindari bahasa tidak akurat.
4.      Gradasi – setiap tahap menyiapkan siswa untuk tahap selanjutnya.
5.      Proporsi – setiap aspek bahasa diberikan penekanan.
6.      Konkretisasi – bergerak dari konkret menuju abstrak.
7.      Perhatian – membangkitkan perhatian siswa sepanjang waktu.
8.      Urutan perkembangan – mendengarkan sebelum berbicara, dan mendengarkan-berbicara sebelum menulis.
9.      Beberapa garis pendekatan – banyak digunakan cara berbeda untuk mengajar bahasa.
Langkah awal ke arah metode ini berpusat pada pendekatan untuk menentukan isi kosakata dan tata bahasa program pengajaran bahasa. Hal ini menyebabkan munculnya prosedur yang dikenal dengan seleksi dan gradasi. Bidang seleksi dalam pengajaran bahasa berkaitan dengan pilihan unit bahasa yang sesuai untuk tujuan pengajaran dan dengan pengembangan teknik dan prosedur di mana bahasa dapat disederhanakan pada bahasa yang paling berguna untuk pelajar (Mackey, 1965 melalui Richard, 2001:4). Dua aspek seleksi yang mendapat perhatian utama dalam beberapa dekade pertama abad 20 adalah vocabulary selection dan grammar selection. Pendekatan untuk dua aspek seleksi meletakkan dasar untuk desain silabus dalam pengajaran bahasa. Vocabulary selection mengacu pada ‘kata apa yang seharusnya diajarkan?’. Kata-kata dengan frekuensi tertinggi dan jangkauan terluas dianggap yang paling berguna untuk tujuan pengajaran bahasa. (hlm 6.) Gradasi berkaitan dengan pengelompokkan dan pengurutan item mengajar dalam silabus. Silabus gramatikal menentukan kumpulan struktur gramatikal yang diajarkan dan urutan di mana seharusnya diajarkan.
Situasional Method
Munculnya metode ini dilatarbelakangi oleh pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing menjadi aktivitas semakin penting setelah perang dunia kedua (1950-an). Mobilitas orang yang semakin luas akibat pertumbuhan perjalanan udara dan pariwisata internasional. Semakin penting dalam perdagangan dunia. Semua perkembangan ini mendukung perlunya perintah praktis bahasa Inggris untuk orang-orang di berbagai belahan dunia daripada penguasaan bahasa akademik sebagai salah satu hal yang diperoleh dalam program kelas biasa.(hlm 24).
Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan menitikberatkan pada bahasa sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, lahirlah metodologi yang menarik pada pendekatan lisan pada 1950-an dan 1960-an. Metodologi tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut.
·         Silabus struktural dengan tingkat kosakata bergradasi.
·         Penyajian struktur bermakna dalam konteks melalui penggunaan situasi untuk mengontekstualisasikan poin pengajaran baru.
·         Urutan aktivitas kelas dimulai dari presentasi, latihan terkontrol, produksi bebas.
Ini menjadi dikenal sebagai pendekatan situasional or pendekatan structural situasional atau pengajaran bahasa situasional. Di Amerika pada tahun 1960-an pengajaran bahasa di bawah pengaruh metode yang kuat yaitu audiolingualisme. Teknik pengajaran memanfaatkan pola pengulangan dialog dan praktik sebagai dasar untuk otomatisasi diikuti dengan latihan yang melibatkan pentransferan pola belajar untuk situasi baru (Bloomfield 1942,12 melalui Richard, 2001:25).
Karakteristik utama metode ini adalah:
·         Pengajaran bahasa dimulai dengan bahasa lisan. Materi diajarkan secara lisan sebelum disajikan dalam bentuk tertulis
·         Bahasa target adalah bahasa yang digunakan di kelas
·         Poin bahasa baru dikenalkan dan dipraktikkan secara situasional
·         Prosedur pemilihan kosakata diikuti untuk memastikan kosakata pelayanan umum tercakup
·         Item tata bahasa yang dinilai mengikuti prinsip bahwa bentuk sederhana lebih dulu diajarkan daripada bentuk yang kompleks. (Richard dan Rodger 2001:39)
Communicative Method
Metode ini didasarkan pada pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa. Pendekatan komunikatif berawal dari teori bahasa sebagai komunikasi (Richard, ….159). Tujuan pengajaran bahasa adalah sebagai kompetensi komunikatif (Hymes, 1972). Teori belajar bahasa menurut metode ini adalah 1) aktivitas yang melibatkan komunikasi nyata dalam pembelajaran; 2) aktivitas di mana bahasa digunakan untuk melakukan tugas bermakna; 3) bahasa yang berarti bagi pelajar adalah yang mendukung proses belajar (Johnson 1982 melalui Richard 161). Harmer (2001:84) memaparkan bahwa pengajaran bahasa komunikatif adalah seperangkat keyakinan yang dicakup tidak hanya pada apa aspek bahasa untuk mengajar tetapi juga pergeseran dalam penekanan dalam bagaimana cara untuk mengajar. Metode ini juga menekankan pada pentingnya fungsi bahasa daripada memfokuskan semata-mata pada tata bahasa dan kosakata (daripada menekankan pada pola-pola mekanik bahasa).

ANALISIS KEBUTUHAN

Salah satu bagian penting dalam pengembangan kurikulum adalah analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan dilakukan untuk menemukan apa yang perlu dipelajari dan apa diinginkan pembelajar untuk diketahui. Karena itulah, kurikulum yang ideal harus mewakili kebutuhan peserta didik. Dengan demikian, analisis kebutuhan diarahkan terutama pada tujuan dan isi dari program pembelajaran (Nation dan Machalister, 2010:24).
Lantas apa hakikat analisis kebutuhan itu? Richard (2001:51) menjelaskan bahwa program pendidikan yang baik harus didasarkan pada analisis kebutuhan pembelajar. Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan pembelajar tersebut dikenal dengan analisis kebutuhan (Richard, 2001:51). Selanjutnya, analisis kebutuhan dalam pengajaran bahasa bisa digunakan untuk sejumlah tujuan berbeda. Tujuannya antara lain,
·         Untuk mengetahui apa kemampuan bahasa yang pembelajar butuhkan dalam melakukan peran tertentu.
·         Untuk membantu menentukan apakah program pembelajaran yang ada memadai bagi kebutuhan potensial siswa.
·         Untuk mengumpulkan informasi tentang masalah tertentu yang dialami pembelajar.
·         Untuk mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang dapat siswa lakukan dan apa yang dibutuhkan siswa untuk dapat melakukan.
Richard (2001:52) menyebutkan langkah pertama dalam melakukan analisis kebutuhan yaitu menentukan dengan tepat apa tujuannya.