KONVERSI
IAIN MENJADI UIN
(SEBUAH TINJAUAN EPISTEMOLOGIS
PARADIGMATIS)
Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary
A. Latar Belakang
Sebagai perguruan
tinggi negeri, IAIN bersama-sama dengan perguruan tinggi lain harus sadar
bertanggung jawab penuh dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM)
Indonesia. SDM yang dibutuhkan pada kehidupan abad 21 ini adalah SDM yang mampu
bersaing dalam kehidupan global. SDM yang mampu bersaing dalam kehidupan global
itu, menurut H.A.R. Tilaar, ditandai oleh adanya tiga kemampuan, yaitu
kemampuan untuk menganalisis, kemampuan
untuk inovasi, dan kemampuan untuk memimpin.[1]
Pendidikan
Tinggi Islam (termasuk IAIN), menurut Fazlur Rahman sangat strategis untuk
mengurai benang kusut krisis pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi
dan kemunduran peradaban umat Islam. Dari sana kemudian dapat diharapkan
berbagai alternatif atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Bahkan
menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi
kepada kemajuan, harus bermula dari pendidikan.[2]
Hal yang
hampir sama dikemukakan oleh Mastuhu.
Menurut Mastuhu, IAIN merupakan lembaga pendidikan Islam yang strategis untuk
mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli terhadap
persoalan-persoalan besar bangsa.[3]
Menurut
Komaruddin Hidayat, fungsi IAIN itu terletak pada sejauh mana ia dapat
menawarkan solusi atas berbagai problem pendidikan pada khususnya dan problem
umat manusia pada umumnya.[4]
Sedang Azyumardi Azra menyoroti lebih khusus pada Fakultas Tarbiyah. Fakultas
Tarbiyah, menurut Azyumardi Azra, baik yang berada di IAIN maupun lainnya telah
mengalami stagnasi.[5]
Husni Rahim secara tegas mengatakan bahwa kalau Fakultas Tarbiyah IAIN tidak
mau memikirkan madrasah dan tidak bisa memberikan alternatif solusi atas
berbagai problem yang dihadapi madrasah, lebih baik dibubarkan saja.[6]
Dari beberapa
uraian di atas tampak sekali kegelisahan para akademisi melihat IAIN sebagai
lembaga yang sangat strategis ini tidak mampu berbuat lebih baik dalam
pembangunan ilmu dan peradaban bagi umat manusia. Selanjutnya akan dibahas
pentingnya pergeseran paradigma lama kepada paradigma baru untuk pengembangan
yang lebih optimal.
B. Dari Institutut sampai
Universitas
Sebagai langkah awal, makalah ini
mencoba memberikan pemahaman tentang konsep Universitas. Dan agar lebih mudah
untuk dipahami maka penulis memberikan pemahaman secara sederhana tentang
lembaga pendidikan lainnya yang berkaitan sehingga bisa dilihat perbedaan dan
perbandingannya. Institut adalah lembaga yang menyelenggarakan program
akedemik dan atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi dan atau kesenian yang sejenis. Sekolah Tinggi adalah
menyelenggarakan program pendidikan akademik dan atau profesional dalam lingkup
satu disiplin ilmu tertentu. Dalam penjelasan tentang institut disebutkan bahwa
program pendidikan yang diselenggarakan pada institut terkait atau sangat dekat
berhubungan dengan program-program pendidikan lainnya. Oleh karena itu,
program-program yang diselenggarakan merupakan satu kelompok atau satu jenis. Sedangkan
universitas menyelenggarakan program pendidikan akademik dan atau
profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan atau
kesenian tertentu.[7]
Atau lebih jelasnya Universitas
Islam Negeri (UIN) pada hakekatnya bahwa ilmu-ilmu yang dikembangkan tidak
hanya ilmu-ilmu agama saja, tetapi telah dikembangkan ke berbagai disiplin
ilmu-ilmu lainnya, yang tergolong ke dalam natural science (ilmu-ilmu
alam), social science (ilmu-ilmu sosial), dan termasuk juga ilmu
humaniora.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata
mengungkapkan telaah pada konsep bahasa seperti, nama IAIN yang dalam bahasa
Arabnya al-Jamiah al-Islamyah al-Hukumiyah secara harfiah sudah
menunjukkan pada arti universitas. Al-jami'ah secara harfiah berarti
universitas. Hal ini sejalan dengan kenyataan beberapa Fakultas yang ada di
IAIN sekarang yang sebenarnya cukup menggambarkan sebuah universitas. Saat ini
IAIN terdapat Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), Fakultas Syari'ah (Hukum),
Fakultas Adab (Sastra), Fakultas Dakwah (Komunikasi dan Informasi), Fakultas
Ushuluddin (Pokok-pokok Agama).
Pemikiran tentang pentingnya Lembaga
Pendidikan Tinggi Islam dalam bentuk universitas di Indonesia sebenarnya sudah
dirintis sejak zaman Mahmud Yunus. Menurutnya bahwa Universitas Islam Darul
Hikmah yang didirikan di Bukit Tinggi pada tanggal 27 Rajab 1373 H/ tahun 1953
H, dengan nama Perguruan Tinggi Darul Hikmah dan mempunyai satu fakultas, yaitu
Fakultas Hukum Islam. Kemudian pada tanggal 18 Rabiul Awal 1377 H/ 12 Oktober
1957 dirubah namanya menjadi Universitas Islam Darul Hikmah dengan memiliki
lima fakultas.[8]
Dijelaskan
dalam bukunya Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, dengan judul Dinamika
Pendidikan Islam di Asia Tenggara, bahwa mengikuti dan menyesuaikan
perkembangan keilmuwan, menurut Haidar Putra Daulay sejak awal tahun 1990 an,
IAIN bercita-cita untuk mengembangkan yang dibangun atas dasar integerasi
antara ilmu agama dengan ilmu umum.[9]
Namun, untuk mencapai status kelembagaan menjadi sebuah Universitas Islam
tentunya bukanlah hal yang mudah. Segala aspek harus diperhatikan mulai dari tenaga
pengajar, fasilitas, sarana dan paradigma konsep keilmuwan.
C. Seputar Ide Awal Konversi
Gagasan konversi IAIN menjadi UIN
pertama kali dikemukakan Rektor IAIN Jakarta Periode 1973-1984, Prof. Dr. Harun
Nasution. Namun, gagasan itu kandas lantaran terkendala aturan dan SDM yang
belum memadai. Lama tak terdengar, ide itu kembali mengemuka pada masa
kepemimpinan Rektor IAIN Prof Dr M Quraish Shihab (1992-1998). Berbagai
persiapan dilakukan, hingga ide tersebut akhirnya terealisasi pada 20 Mei 2002,
periode kepemimpinan Rektor Prof Dr Azyumardi Azra (1998-2006). Setelah
berganti nama, infrastruktur segera dibangun dan arah pengembangan diperjelas
yakni menjadi universitas riset dan universitas kelas dunia.
Nama
Harun Nasution pantas disematkan sebagai pelopor atau penggagas ide konversi
IAIN menjadi UIN yang kini sudah terwujud dan tengah berkembang menjadi salah
satu ikon bagi PTI lainnya di Indonesia.
Menurut
Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, Prof Dr Amsal Bakhtiar dalam
buku Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia, perubahan IAIN menjadi UIN
memang bermula dari ide Harun Nasution. Konon, di masa kepemimpinannya sebagai
Rektor, tahun 1973-1984, Harun membentuk sebuah tim dan mengirimkannya ke Timur
Tengah dan Malaysia untuk melakukan studi komparatif mengenai format ideal
sebuah universitas Islam. Tokoh yang ketika itu dikirim ke Timur Tengah adalah
Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, dan Mastuhu. Sementara Zakiah Daradjat
dikirim ke Malaysia. Namun, pada masa itu, ide besar itu berhenti hanya sebatas
wacana. Ide itu kandas terbentur peraturan, yang tidak mengijinkan
Departemen selain Depdikbud untuk membuka universitas. Departemen selain
Depdikbud hanya boleh mendirikan lembaga pendidikan maksimal Institut.
Alasan
Harun Nasution ingin mengembangkan IAIN menjadi UIN dikemukakan dalam sebuah
wawancara dengan Republika, pada Kamis, 28 Desember 1995. Saat itu ia sudah
menjadi Direktur Program Pascasarjana. “Kita merasa yang diperlukan umat di
zaman sekarang ini bukan hanya sarjana yang mengetahui ilmu agama saja, tapi
juga ilmu umum. Harus diakui tidak banyak orang yang bisa menguasai keduanya
secara mumpuni. Hanya orang-orang jenius saja yang bisa melakukannya,”[10]
katanya.
Berangkat
dari kebutuhan itu, Harun berpendapat, IAIN perlu dikonversikan menjadi
universitas, sehingga dapat membuka jurusan-jurusan umum. Harapannya tentu saja
mampu mencetak sarjana yang memiliki kompetensi agama namun tidak asing dengan
pengetahuan umum. Hal itu bagi Harun bukan mustahi. Sejarah mencatat seorang
Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina yang selain ahli filsafat, syariah, juga seorang
dokter yang masyhur. “Kalau pada masa lampau mereka bisa menghasilkan tokoh
seperti itu, kenapa kita tidak mampu menghasilkannya. Inilah dasar pendirian
kita sehingga ada keinginan untuk mengubah IAIN menjadi UIN,”[11]
tegas Harun.
Akhirnya,
kepastian pendirian UIN itu kian jelas setelah diadakan Sarasehan UIN di IAIN
Jakarta pada 22 Oktober 1994. Sarasehan itu sendiri menghadirkan sejumlah
narasumber. Dari kalangan internal IAIN Jakarta seperti Quraish Shihab, Harun
Nasution, dan Zakiah Daradjat. Dari Departemen Agama seperti Atho Mudzhar, dari
perguruan tinggi umum seperti Asri Rasyad dari YARSI, Hanna Djumhana Bustaman
dan Laode M Kamaluddin dari UI, dan Ahmad Baiquni dari BPPT. Usai sarasehan,
Departemen Agama menetapkan IAIN Jakarta menjadi pilot project dan
mengharapkan agar upaya pengembangan IAIN menjadi UIN ini didahului dengan
studi kelayakan yang meliputi pengembangan kelembagaan, pengembangan
ketenagaan, pengembangan kurikulum, pengembangan perpustakaan, pengembangan
sarana dan prasarana, dan penyusunan RIP UIN.
Menurut
Kusmana dalam buku Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia, gagasan di atas
muncul kembali tak lepas dari kesediaan Quraish Shihab saat menjabat Rektor
untuk menjajaki kembali kemungkinannya. Hal itu diperkuat dengan dorongan
internal muncul dari figur Harun Nasution dan persetujuan bahkan dukungan dari
Menag Tarmizi Taher tersebut. Bagi Menag kendala yang sebelumnya dihadapi tahun
1970-an soal aturan yang dimiliki Depdikbud bukan sesuatu yang deadlock. Karena
itu, sejurus kemudian Menag membentuk tim kecil untuk mengkaji kelayakan IAIN
menjadi UIN.[12]
D. Problema
Paradigmatis Epistemologis
Diskusi
seputar wacana mentransformasikan IAIN menjadi UIN pada tahun 1995-1996 menarik
disimak. Harian Republika mencatat dengan sangat baik, respon pro dan kontra
dari para tokoh masyarakat terhadap rencana tersebut. Tokoh yang kontra ketika
itu adalah mantan Menag Munawir Syadzali dan KH Makruf Amin. Syadzali
menganggap IAIN sudah milik umat Islam dan tujuan utamanya mencetak sarjana
agama. Kalau dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, baginya ilmu
bersifat netral. Karena itu, ilmu sangat tergantung kepada siapa yang
menggunakannya. Menurut Makruf Amin, sebenarnya IAIN sekarang masih dalam
situasi dituntut masyarakat Muslim untuk memenuhi harapan mereka, yaitu
menghasilkan sarjana Islam yang handal. Kalau gagasan perubahan IAIN ini
dipaksakan, jelas akan mengganggu konsistensi usaha IAIN sebagai lembaga
pendidikan keagamaan dalam merealisir tujuan utamanya.
Isyarat
yang sama juga datang dari dua orang tokoh, Hidayat Nurwahid dan Ali Mustafa
Ya’qub. Dalam wawancara dengan harian Pelita, Hidayat menghkhawatiran kalau
rencana ini dilaksanakan, justru memudarkan citra diri keislaman IAIN. Ditambah
lagi, menurutnya, gagasan tersebut belum didukung human resource yang
memadai. Sementara Ya’qub di lain pihak, mengkhawatirkan fakultas agama pada
perkembagannya akan terpinggirkan oleh fakultas-fakultas umum. Dia mengambil
contoh, Universitas Al-Azhar yang sudah berdiri sekian lama, baru mengubah
dirinya menjadi universitas, tetapi lulusan al-Azhar dari fakultas umum tidak
diperhitungkan atau kalah bersaing dengan universitas umum.
Kendati
ada beberapa tokoh yang menolak, di lain pihak tak sedikit pula yang mendukung
rencana IAIN jadi UIN. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Yayasan Swarna
Bumy, Republika, dan IAIN sendiri, Haidar Bagir dan Emha Ainun Nadjib
mengisyaratkan dukungannya. Menurut Bagir, adalah wajar IAIN menjadi UIN,
karena alasan historis dan epistemologis. Secara historis yang merintis adanya
pendidikan tinggi adalah umat Islam. Ini ditandai dengan berdirinya universitas
pertama ketika penguasa Islam membangun sebuah universitas di Sicilia, Eropa.
Beberapa terminologi berasal dari Islam, seperti kata kuliah dah universitas.
Secara epistemologis, konsep pendidikan Islam sebenarnya tidak menisahkan
antara ilmu umum dan ilmu agama sehingga upaya mengubah IAIN menjadi UIN dapat
dipandang sebagai usaha mengembalikan dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu
umm dan ulmu agama. Sementara Nadjib melihatnya dalam konteks ideal, yaitu
keniscayaan adanya dialektika antara ilmu, mental, dan moral dalam proses
kepribadian seseorang. Dengan kata lain, UIN harus diupayakan ke arah manusia
yang tidak dikotomis.
Dukungan
juga datang dari alumni UIN Jakarta. Din Syamsuddin misalnya, menganggap selama
ini sebenarnya IAIN telah mengembangkan penyatuan ilmu agama dan ilmu umum.
Karenanya, transformasi ke UIN bisa dipandang sebagai tahap lanjutan untuk
menginterasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Sementara Tuty Alawiyah
melihanya sebagai kebutuhan zaman yang memungkinkan institusi ini memberi
tawaran yang lebih banyak. Dia mencontohkan universitas Antar Bangsa di
Malaysia yang mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Rektor
UIN Jakarta ketika itu, Quraish Shihab, menanggapi pro dan kontra itu dengan
bijak. Menurut Quraish, mereka yang kontra lebih didasari oleh kekhawatiran dan
belum mengerti maksud perubahan IAIN menjadi UIN. Perubahan ini tidak dimaksud
untuk meninggalkan IAIN sebagai institusi keagamaam, tetapi justru ingin
mengimplementasikan kesadaran atau nilai keagamaan dalam proses tranformasi dan
pengembangan keilmuan secara umum. Quraish menghindari penggunaan kata
“islamisasi” dan sebagai gantinya ia menggunakan “proses spiritualisasi atau
pemberian muatan nilai-nilai rohaniah pada upaya penggalian ilmu pengetahuan”.
Dalam
wawancara dengan harian Republika, Kamis 3 Juli 1997, Quraish mengatakan,
pendirian UIN memerlukan perjuangan berat. “Pendirian universitas Islam ini
merupakan kerja yang berat, sebab tak hanya memerlukan gedung dan perpustakaan,
tapi juga ahli yang mampu mengintegrasikan kedua bidang ilmu yang selama ini
seolah-olah terpisah itu,”[13]
katanya. Bagi Quraish, hal itu juga bukan kerja instan, hasilnya baru bisa
dirasakan paling cepat sepuluh tahun lagi.
Menurut Eka
Putra Wirman Penggiat LSM Imam Bonjol Empowering Center (IBEC) Padang
mengatakan : “Konversi
juga bertujuan meningkatkan semangat keilmuan, daya saing, manajemen, kualitas
dan kuantitas, pelayanan, kontribusi sosial, dan tentu keluasan pengelolaan keuangan.”[14]
Di
Sumatera Barat, ide tersebut tidak bisa dikatakan berjalan mulus karena gagasan
tersebut belum tersosialisasi dengan baik. Penolakan datang silih berganti dari
berbagai elemen masyarakat, baik secara internal maupun eksternal, mulai dari
pucuk pimpinan formal, adat, agama dan tokoh-tokoh penting Sumatera Barat.
Sementara itu, upaya dan gerak perangkat IAIN Imam Bonjol Padang untuk
mengkonversi diri secara “transparan” juga tetap dilakukan.[15]
Apa sesungguhnya yang menjadi faktor penolakan konversi tersebut.
Sejauh
yang bisa diamati, bahwa kata kunci dari penolakan konversi adalah,
kekhawatiran apabila keberadaan UIN akan membuat ilmu-ilmu agama yang selama
ini menjadi core IAIN akan mati secara perlahan-lahan; dan kemudian akan
muncul penyakit SEPILIS (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang
membahayakan sendi kehidupan keislaman.
Maka
pertanyaan besarnya adalah, benarkah status UIN akan membahayakan posisi
ilmu-ilmu agama? Mungkinkah ilmu-ilmu agama kehilangan peminat dan akhirnya
hilang di rumahnya sendiri? Jika mencermati paradigma ilmu yang menjadi dasar
pengembangan IAIN menjadi UIN terdahulu, seperti paradigma-paradigma: Jaring
Laba-laba,[16]
Pohon Ilmu[17]
dan Roda Ilmu, maka ketakutan itu memang berpeluang besar menjadi kenyataan.
Paradigma
keilmuan yang dibangun di Jakarta, Yogya dan Malang sepintas lalu memang genuin,
tetapi tidak happy ending bagi ilmu-ilmu agama. Dalam skema jaring
laba-laba yang digagas oleh intelektul kawakan Amin Abdullah di Yogya,
ilmu-ilmu diposisikan pada level dan lingkar tertentu. Lingkar pertama dari
jaring laba-laba ditempati oleh al-Quran dan Hadis; diikuti lingkar kedua
ditempati oleh ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, syariah, akhlak dan
tasauf; kemudian lingkar ketiga diisi oleh ilmu-ilmu seperti Science And
Technology, Religious Pluralism, International Law, Enveronmental Issues,
Gender Issues, Cultural Studies, Politic/Civil Society, Human Rights,
Economic. Lingkar terakhir ini disebut juga dengan ilmu-ilmu kontemporer
yang dianggap sebagai simbol peradaban modern.
Dalam
penjelasannya, Amin Abdullah mengatakan bahwa al-Quran, Hadis dan ilmu-ilmu
agama menjadi inspirator, motivator dan spirit bagi sains yang terus berkembang.
Model ini disebutnya sebagai bentuk inter-relasi dan inter-koneksi antar
berbagai ilmu terutama ilmu agama dan ilmu umum.
Hampir
sama dengan di atas, paradigma Pohon Ilmu yang digagas oleh cendikiawan muslim
papan atas Imam Suprayogo dari UIN Malang juga memberikan posisi-posisi
tertentu kepada ilmu-ilmu sebagai berikut: pada posisi akar ditempatkan
al-Quran dan Hadis; pada posisi batang pohon diisi oleh ilmu-ilmu agama; dan
pada posisi dahan dan buah ditempati oleh ilmu-ilmu kontemporer dari ilmu-ilmu
kealaman dan sosial. Sepintas langkah Imam Suprayogo hanya sebatas membagi
kurikulum yang telah berlaku di perguruan tinggi agama Islam selama ini dan
ditempatkan pada posisi akar, batang dan buah pohon ilmu yang digagasnya.
Dengan
skema jaring laba-laba dan pohon ilmu seperti ini, apa yang dikhawatirkan
sebagian kalangan terhadap kematian ilmu-ilmu agama memang bukan sekadar
ancaman. Hal itu disebabkan ilmu-ilmu agama tidak menjadi prioritas; tidak
menjadi buah yang dinikmati; tidak layak dipajang di etalase peradaban terkini;
hanya sekadar penyambung lidah munculnya ilmu-ilmu kontemporer. Istilah
“al-Quran dan ilmu agama sebagai inspirasi dan motivator bagi perkembangan
ilmu” atau “wahyu memandu ilmu” kelihatannya saja yang indah, tetapi hanya sebagai
nyanyian yang me-ninabobok-kan. Di satu sisi al-Quran berperan memberi spirit
tetapi di sisi lain ilmu-ilmu agama stagnan pada posisi awalnya.
Andaipun
ilmu-ilmu agama menjadi inspirasi, motivasi dan spirit bagi ilmu-ilmu lain,
lalu bagaimana dengan eksistensinya sendiri sebagai satu rumpun ilmu yang
besar? Kenapa ilmu-ilmu agama tidak mendapat peluang untuk dikembangkan
sehingga melahirkan para expertis dan ahli di bidang tersebut? Apakah
ilmu-ilmu agama hanya layak menjadi penghuni bagian akar dan batang dari
visualisasi sebuah pohon, atau hanya berkutat pada lingkar pertama dan kedua
dari belasan lingkar keilmuan yang akan selalu berkembang?
Ilmu-ilmu
yang tidak “diproyeksikan” untuk berkembang sudah pasti tidak akan melahirkan
para ahli atau para ulama yang mumpuni. Ketidak hadiran para ulama dalam bidang
agama terlihat jelas pada jenis ilmu-ilmu yang berada pada lingkar terakhir
konsep jaring laba-laba dan pada ranting serta buah pada konsep pohon ilmu.
Gairah
mengembangkan lembaga agar memiliki kharisma, magnet dan pendanaan yang kuat
memang mendorong para intelektual menemukan solusi yang tepat. Tetapi yang
dibutuhkan tentu bukan solusi instan yang hanya dinikmati untuk 10-15 tahun
dan mengorbankan identitas diri sendiri. Peradaban Islam membutuhkan para
saintis yang qurani, di samping para ulama sebagai pewaris para nabi dalam
urusan agama, moral dan spiritualitas.
Dari beberapa
paradigma dan persoalan tersebut, penulis akan mencoba mengkaji secara
konseptual di sekitar mencari pendidikan yang bagaimanakah yang harus
diupayakan dan diaktualisasikan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam dalam rangka
menghadapi tantangan masa depannya.
E. Pentingnya Pergeseran Paradigma IAIN
Disadari atau tidak, peradaban umat Islam pernah mengalami pasang
surut, naik turun dan bergelombang. Realitas menunjukkan bahwa peradaban umat
Islam sekarang sedang terbelakang atau terpuruk. Menurut Ismail Raji al-Faruqi,
umat Islam sekarang benar-benar terpuruk dan terhina baik secara fisik maupun
mental. Citra umat Islam dicirikan dengan agresif, destruktif, ekstremis,
mengingkari hukum, fanatik, fundamentalis, teroris, dan seterusnya.[18]
Salah satu indikasi kemunduran peradaban umat
Islam, menurut Fazlur Rahman, adalah ketidakmampuan mereka memberikan solusi
atas berbagai problem yang dihadapinya. Padahal kehidupan mereka selanjutnya
akan ditentukan oleh sejauh mana mereka sanggup menghadapi tantangan-tantangan
yang mereka hadapi secara kritis dan kreatif.[19]
Dinamika
peradaban umat manusia terus berjalan hingga sekarang dalam menghadapi abad 21,
suatu abad yang ditandai oleh globalisasi. Salah satu ciri pokok masyarakat
abad 21 adalah lahirnya suatu masyarakat megakompetisi. Yaitu suatu masyarakat
yang segala sesuatunya berjalan melalui kompetisi. Kompetisi menghendaki segala
sesuatunya serba terbaik. Dalam kaitannya dengan IAIN adalah lembaga tersebut
dituntut dapat menghasilkan alumni yang dapat berkompetisi dalam era global
ini.
Abdul Munir
Mulkan melihat ada dua permasalahan yang perlu dijernihkan dalam pendidikan
Islam, yaitu masalah yang berkaitan dengan konsep ilmu dan masalah ontologi.[20]
Menurut Fazlur Rahman, problem pendidikan Islam yang paling mendasar dewasa ini
adalah problem ideologi. Umat Islam tidak dapat mengaitkan secara efektif pentingnya
pengetahuan dengan orientasi ideologinya. Akibatnya mereka tidak terdorong
untuk belajar. Bahkan, mereka tidak sadar kalau berada di bawah perintah moral
kewajiban Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan.[21]
Problem
berikutnya adalah adanya dualism sistem pendidikan umat Islam sebagai akibat
dari adanya dikotomi ilmu dalam Islam. Pada satu sisi, disebut sistem pendidikan Islam, mulai dari madrasah
Ibtidaiyah sampai kepada Perguruan Tinggi Islam (IAIN), yang begitu tertinggal
sehingga hasilnya betul-betul mengecewakan. Kebanyakan produk dari sistem ini
tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.
Pada sisi lain, ada sistem pendidikan sekuler modern (umum) yang dilaksanakan
mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi Umum (PTU), di mana
sistem ini telah berkembang tanpa menyentuh sama sekali ideologi dan
nilai-nilai Islam. Hasilnya sangat strategis, dasar minimal dari rasa jujur dan
tanggung jawab pun tidak muncul. Maka kedua sistem pendidikan ini sama-sama tidak
beresnya.[22]
Pendidikan
tinggi Islam di Indonesia, menurut Zamroni, sesungguhnya masih merupakan impian
belaka. Pendidikan Islam dalam realitas baru merupakan: (1) pendidikan tinggi
yang diselenggarakan lembaga-lembaga Islam, (2) Pendidikan Agama Islam yang
disampaikan di perguruan tinggi, dan (3) perguruan tinggi yang bertujuan
menghasilkan sarjana di bidang Ilmu Agama Islam.[23]
Perguruan tinggi Islam meskipun jumlahnya banyak, tetapi dalam peta perguruan
tinggi di Indonesia, kebanyakan menempati posisi di pinggiran. Untuk
meningkatkan kedudukannya, dalam jangka pendek, perguruan Islam harus memiliki
tipe ideal manusia seutuhnya. Sosok manusia sutuhnya menurut Islam adalah al-insân
al-kamil, yakni manusia yang memiliki pengetahuan dan perilaku sebagaimana yang
dimiliki Rasulullah Saw atau setidak-tidaknya mendekati. Manusia yang terdiri
dari jiwa dan raga, di mana dengan pengetahuan yang dimiliki, jiwa bisa
mengendalikan perilaku untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Tujuan
utamanya adalah kebahagiaan di akhirat, sedang kebahagiaan di dunia sebagai
kebahagiaan antara. Untuk mencapai
tujuan itu, seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan, memiliki kebijaksanaan (wisdom),
berjiwa adil dan mampu mentrasformasikan ilmu yang dimiliki ke dalam amal
perbuatan yang berguna tidak saja bagi dirinya, tetapi juga bagi lengkungannya.
Sosok manusia seutuhnya tidak akan statis, melainkan selalu dinamis, sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan masyarakatnya.[24]
Orientasi
pendidikan tinggi Islam di Indonesia, sebagai subsistem pendidikan tinggi
nasioanal, ikut terpengaruh pada transfer of knowledge sebatas yang
terkait erat dengan masalah kerja dan perolehan gelar akademik; bukan untuk
mengembangkan kemampuan manusia secara kaffah. Pendidikan tinggi Islam
seharusnya mengembangkan tiga perangkat manusia, yang berupa akal, hati, dan
fisik (terutama pancaindra) secara maksimal. Kritik Djohar terhadap pendidikan
Islam bahwa pendidikan tinggi di Indonesia salah dalam hal (1) kurang memberi
kondisi bagi tumbuh kembangnya akal, (2) kurang menumbuhkembangkan hati, dan
(3) kurang menumbuhkembangkan fisik manusia, terutama pancaindra.[25]
Menurut
Zamroni, secara paradigmatis pekerjaan profesional dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori, yaitu hard profession dan soft profession. Suatu pekerjaan dikatakan hard profession apabila
pekerjaan tersebut diwujudkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan
relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah mengahsilkan output
pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas
dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Sebaliknya, soft
profession adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan
tersebut.[26]
Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab,
langkah-langkah yang diambil dalam pekerjaan ini sangat ditentukan oleh situasi
dan kondisi tertentu. Implikasi kategori ini tidak menuntut pendidikan yang
dapat menghasilkan lulusan yang dibekali dengan kemampuan minimal.
Pendidikan
tinggi Islam, dalam hal ini IAIN, sekarang dihadapkan pada persoalan-persoalan
yang menuntut perhatian segera. Persoalan-persoalan itu antara lain: (1) citra
umat Islam sangat buruk, (2) peradaban umat Islam terbelakang, (3) umat Islam
terdera oleh berbagai krisis, (4) dihadapkan pada problem dikotomi ilmu yang
sangat akut (ilmu tradisional dengan ilmu sekuler modern), (5) IAIN dituntut
dapat menghahsilkan alumni bertakwa yang memiliki tiga kemampuan, yaitu
kemampuan untuk menganalisis, kemampuan untuk berinovasi dan kemampuan untuk
memimpin.
F. Paradigma Baru Pengembangan IAIN menjadi UIN
Adanya berbagai
persoalan yang terkait erat dengan pendidikan tinggi Islam, sebagaimana
tersebut di atas, mengharuskan IAIN mengembangkan paradigma baru. Dalam era
globalisasi, dalam dunia yang terbuka, paradigma-paradigma yang mendasari lahirnya IAIN dewasa ini sudah
tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan
pembangunan nasional. Paradigma-paradigma IAIN itu sangat sektoral dan
mempunyai visi dan misi sangat terbatas. Paradigma yang sektoral tersebut
menganut faham dualism yang membedakan ilmu agama dari ilmu pengetahuan umum,
bahkan mendikotomikan keduanya. Dikotomi tersebut pada akhirnya menghasilkan
alumni-alumni yang ketinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena itu visi dan misi IAIN menjadi sangat sempit dan terbatas. Barangkali
hanya dapat memenuhi satu sektor tertentu saja di dalam kebutuhan manusia
Indonsesia modern.
Dalam pandangan
Islam, ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an. Berilmu berarti
beragama dan beragama berarti berilmu. Karena itu, tidak ada dikotomi antara
ilmu dan agama. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik. Menilai
atau menggugat kembali keabsahan dan kebenaran suatu pendapat adalah salah satu
keharusan tanpa menilai yang berpendapat.
Paradigma ilmu
dalam pendidikan tinggi Islam, menurut Mastuhu, meliputi berbagai kesadaran,
yaitu: pertama, ilmu itu secara esensial terkandung dalam ajaran Islam.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai
ajaran Islam. Karena itu, dalam pandangan Islam, ilmu itu tidak bebas nilai,
tetapi bebas dinali. Kedua, Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu
dan agama. Keduanya dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap
posisi dan perannya. Kebenaran ilmu bersifat empiris dan relatif. Ketiga, ilmu
itu diciptakan manusia. Hanya saja sejak awal penciptaannya, pengembangan dan
pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dari hal itu,
suatu pengamalan ilmu dalam Islam dilihat dari dua dimensi, yakni materi dan
pelakunya.[27]
Setiap peradaban umat manusia selalu dilandasi oleh
ilmu pengetahuan. Begitu juga peradaban Islam, baik ketika masa kejayaan maupun
ketika masa kemunduran, tidak bisa lepas dari ilmu pengetahuan yang
melandasinya. Pada masa kejayaan peradaban Islam, belum dikenal adanya ilmu
agama. Hal ini didukung oleh fakta sejarah bahwa banyak pemikir Muslim ketika
itu ahli agama sekaligus ahli ilmu yang memberikan kemaslahatan kepada banyak
orang, seperti ilmu kedoteran, kimia astronomi, dan lainnya mempunyai akar yang
kuat dalam Islam, dan itulah yang tidak terjadi pada zaman sekarang.
Pada masa
sekarang, ilmu dipisahkan dengan ilmu agama. Bahkan keduanya dipertentangkan
sehingga jarang sekali ditemukan tokoh yang kuat memiliki keduanya. Artinya
menguasai agama sekaligus menguasai ilmu kedokteran, atau kimia, atau astronomi dan seterusnya. Oleh
sebab itu, integrasi ilmu dalam Islam merupakan keharusan dan keniscayaan yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini sifatnya sangat mendesak. Salah satu
terobosan yang bisa diharapkan adalah perubahan status IAIN menjadi UIN yang
lebih luas.
Upaya integrasi
ilmu dalam Islam tampaknya dimulai dari lahirnya gagasan “Islamisasi
Pengetahuan” (Islamization of Knowledge). Upaya ini dipelopori oleh
Ismail Raji al-Faruqi. Pada tahun 1982, di Virginia, AS, berdiri The
International Institute of Islamic Thought (disingkat dengan IIIT). Lembaga
ini bekerja sama dengan International Islamic University, Islamabad Pakistan
dan International Islamic University Malaysia. Di kedua universitas itulah
hasil-hasil kajian dan penelitian IIIT diajarkan. Kemudian Naquib al-Attas,
dengan dukungan penuh Anwar Ibrahim, menyusul langkah al-Faruqi dengan
mendirikan Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di
Malaysia. Selanjutnya, di Herndon, Virginia, AS, didirikan the Islamic
Institute of Social Science. Lembaga ini telah meluluskan sarjana-sarjana
ilmu-ilmu sosial Islam.[28]
Menurut Sutrisno,
dengan langkah ini (IAIN menjadi UIN) ke depan perlu diarahkan untuk memberikan
solusi atas berbagai problem yang dihadapi umat manusia. Karena problem itu
tidak selamanya berasal dari bidang agama, maka baik bidang agama maupun
bidang-bidang lain dalam kehidupan ini perlu dikembangkan di UIN secara
integratif, secara bersama-sama dan terpadu.[29]
Selanjutnya
menurut Sutrisno, cara yang ditempuh tersebut secara umum memiliki dua tujuan: pertama,
untuk membentuk watak mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan individu
dan masyarakat; dan kedua, untuk memungkinkan para ahli yang berkompeten
modern menanami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada
perangkat-perangkat yang lebih tinggi, yakni dengan menggunakan perspektif Islam
dalam mengubah kandungan dan orientasi kajian-kajian mereka.[30]
Dari uraian di
atas, sangatlah penting adanya pergeseran paradigma dalam pengembangan IAIN,
yaitu integrasi ilmu dalam Islam. Salah satu terobosan yang sangat dapat
diharapkan untuk memperluas visi dan misi IAIN adalah dengan mengkonversi
menjadi UIN. Hal ini bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda lagi, sehingga diharapkan
dikotomi ilmu dan agama tidak terjadi lagi.
G. Model Pengembangan UIN Masa Depan
Menurut Satryo Soemantri Brojonegoro, IAIN masih menghadapi
berbagai tantangan dan masalah, antara lain: pertama, UIN Jakarta dan
Yogyakarta dikembangkan melalui proses mandat yang lebih luas (wider mandate).
Dengan mandat ini kedua UIN tersebut tidak hanya mengembangkan bidang agama
Islam, tetapi juga dalam bidang ilmu sosial, humaniora, dan eksakta. Dengan
mandat ini diharapkan upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum
dapat direalisasikan. Kedua, dengan peningkatan otonomi yang lebih
besar, UIN diharapkan dapat mengembangkan dirinya secara lebih maksimal. Ketiga,
peningkatan akuntabilitas UIN dari segi kelembagaan dan akademis, sehingga
alumninya lebih profesioanl, ahli dan terampil baik dalam ilmu agama maupun
ilmu umum. Keempat, peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi lain
baik dalam maupun luar negeri, guna menciptakan sinergi yang dapat mendorong
akselerasi peningkatan mutu di UIN.[31]
Kalau kita
mencoba melihat UIN di Indonesia dewasa ini tampaknya masih banyak yang
terjebak dengan kendala-kendala yang tidak memungkinkan menjalankan peran
strategisnya sebagai ujung tombak pembangunan. Beberapa persoalan yang tampak
‘klasik’ itu adalah:
1.
Perencanaan dan Pelaksanaan Pendidikan
Dari segi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan ini dapat
dikembangkan pemikiran sebagai berikut:
a.
Upaya
peningkatan kreativitas dan kesadaran waktu lebih mendapat perhatian yang lebih
besar, dalam rangka pendidikan berpikir (how to think) sedini mungkin
pada PTI.
b.
Membekali
mahasiswa dengan kesadaran informasi. Sebab orang yang mempunyai kesadaran
informasi yang tinggi adalah orang yang mampu menerima dan mengelola informasi
menjadi modal kehidupan.
c.
Perlu
dikembangkan kegiatan ko-kurikuler yang bertujuan untuk merangsang perilaku
yang berorientasi pada prestasi dan kecepatan (speed).[32]
2.
Kesenjangan antara sistem
pendidikan Islam dan ajaran Islam
Pada realitasnya, sistem pendidikan di UIN masih bersifat ambivalen
mencerminkan pandangan yang dikotomis, secara teoritis ingin mengintegrasikan
antara ilmu dan agama, tetapi dalam tataran realitas masih terjadi. Hal ini
jelas sangat bertentangan dengan konsep Islam yang mengajarkan kesatuan dan
integritas antara keduanya. Jika sistem semacam ini tetap berjalan, diakui atau
tidak, akan semakin menjauhkan diri dari cita-cita ideal pendidikan Islam dan
begitu sebaliknya ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi bebas nilai (value-free).[33] Mestinya
dikembangkan Beramal ilmiah, berilmu amaliah yang dipandu oleh syari’ah.
3.
Metodologi dan Teknologi
Di lingkungan UIN seringkali terjebak dengan pola pengajaran dengan
metodologi yang statis. Tidak banyak melakukan pembenahan atau inovasi apalagi
reformasi yang strategis dan adaptif. Dengan kenyataan ini seringkali kita
mendengar sinyalemen bahwa lembaga pendidikan Islam kaya materi namun kering
metodologi. Ini memang harus diakui secara jujur oleh setiap orang yang
terlibat didalamnya, lebih-lebih yang terlibat aktif dalam pengelolaannya.[34]
4.
Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja
Saat ini masih banyak lulusan PTI yang tidak mendapat pekerjaan di
sektor formal, penyelenggaraan pendidikan seperti UIN harus mampu menyalurkan
para alumninya ke dunia kerja. Paling tidak, menurut Siti Musdah Mulia: “Harus
ada pembelaan terhadap masyarakat untuk mengehentikan malpraktik di PTI”.[35]
Misalnya sinergi antara UIN dengan lembaga-lembaga usaha, baik pemerintah
maupun swasta.
5.
Ruang dan Waktu
UIN dari pola kampus terpadu, susunan fakultas, ruang kuliah dan
jadwal perkuliahan serta ketentuan waktu
ujian, semua masih terjebak dalam kendala ruang dan waktu yang berlaku bagi UIN.[36] Semua
teknologi informasi dan komunikasi kini telah tersedia, berkembang pesat dan
sudah banyak digunakan, akan tetapi masih belum banyak yang merintis
menggunakannya secara terpadu untuk benar-benar lepas dari kendala ruang dan
waktu yang telah menjebak selama ini. Semua sarana tersebut memungkinkan alih
informasi dan ilmu tidak lagi tergantung pada pertemuan tatap muka berkala
antara masing-masing pengajar dan mahasiswanya pada waktu dan tempat tertentu.
6.
Metodologi Pengajaran
Dalam hal ini perlu memformulasikan metodologi yang menjanjikan;
antara lain:
a.
Metode
diakronis, yaitu memberikan kemungkinan kepada mahasiswa untuk mengadakan studi
komparasi dengan berbagai hasil penemuan dan pengembangan suatu cabang ilmu
pengetahuan.
b.
Metode
pemecahan masalah, melatih mahasiswa berhadapan dengan berbagai masalah dan
alternatif pemecahannya.
c.
Metode
emperis, yaitu membawa mahasiswa untuk mempelajari ilmu pengetahuan melalui
proses realisasi dan aktualisasi tentang norma-norma dan kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan tertentu melalui suatu proses aplikasi yang menumbuhkan suatu
interaksi sosial yang kemudian secara deskriptif dapat merumuskan suatu sistem
norma yang baru.[37]
Dengan beberapa
metode di atas, dapat dikemukakan bahwa pendidikan tidak diartikan secara
statis.
7.
Bidang Ilmu yang Dikembangkan
Menurut Amin Abdullah, konten “Jaring Laba-laba” keilmuan terdiri 4
lapis. Lingkar lapis 1 (paling dalam) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, lapis 2
memuat 8 ilmu keislaman yang berkembang dan terus dipertahankan, yaitu: Kalam,
Falsafah, Tasawuf, Hadits, Tarikh, Fiqih, Tafsir, dan Lughah. Sedangkan yang
harus dikembangkan UIN selanjutnya adalah: Sosiologi, Hermenitik, Filologi,
Semiotik, Fenomenologi, Psikologi, Filosofia, Sejarah, Antropologi, dan
Arkeologi.[38]
Sedangkan menurut Imam Suprayogo mengusulkan sebagaimana yang dikembangkan di
UIN MALIKI Malang yang disebut sebagai ilmu modern dengan “Pohon Ilmu”-nya
yaitu: ilmu kedokteran, filsafat, psikologi, ekonomi, sosiologi, teknik, dan
lain-lain.[39]
Pada prinsipnya
Islam memandang semua ilmu pengetahuan itu baik untuk dikembangkan, apapun
namanya yang penting adalah subtansi dan apilikasi dari ilmu pengetahuan itu
sendiri yaitu tunduk pada syari’at Allah Swt. bukan mengingkarinya.
H. Penutup
Kegelisahan para akademisi PTI
memang pantas terjadi, karena telah bertahun-tahun andilnya tidak terlalu berdimensi
lebih besar bagi pembangunan umat dan bangsa Indonesia. Padahal peran perguruan
tinggi itu dalam pendidikan sangat strategis bagi perubahan pola pikir dan
tingkah laku. Salah satu hal yang dianggap memarginalkan peran IAIN adalah
dikotomi keilmuan yang dianut selama ini. “Institut” telah membelenggu gerak
langkah yang lebih besar dan harus diganti dengan “universitas”.
IAIN
bercita-cita untuk mengembangkan PTI yang dibangun atas dasar integerasi antara
ilmu agama dengan ilmu umum. Namun, untuk mencapai status kelembagaan menjadi
sebuah Universitas Islam (UIN) tentunya bukanlah hal yang mudah, diperlukan
langkah secara konstitusional, filosofis, dan edukatif. Secara epistemologis juga
terjadi pro dan kontra sekitar ide awalnya. Namun, pada akhirnya, UIN sudah
terwujud di beberapa tempat seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang,
UIN Padang, UIN Makasar, dst. Sebentar lagi UIN Pangeran Antasari di
Banjarmasin juga akan menyusul.
Diakui memang,
bahwa konversi IAIN menjadi UIN bukanlah satu-satunnya solusi yang dihadapi
dari berbagai problem yang dihadapi oleh PTI, sekedar ganti baju saja tidak
cukup. Segala aspek harus diperhatikan
mulai dari manajemen perencanaan (grand design), tenaga pengajar,
fasilitas, sarana, konsep keilmuwan dan metodologi serta input dan outpu-nya.
Semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. (2000). Mencari Islam: Studi Islam dengan
Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiarawacana, Cet. I.
Abdullah, Amin. (2004). Integrasi Epistemologi Keilmuan dan Agama, Jakarta: INCIS, cet. I.
Al-Faruqi, Ismail Raji. (1989). Islamization of Knowledge Series
(1), (United States of America: The International Institute of Islamic
Thought.
Brojonegoro, Satryo Soemantri. Et al. (2001). “Implementasi
Paradigma Baru di Perguruan Tinggi”, Yogyakarta: Bappenas-Depdiknas-Adicita
Karya Nusa.
Daulay, Haidar Putra. (2009). Dinamika Pendidikan Islam di Asia
Tenggara. Jakarta: Rineka Cipta.
Daulay, Haidar Putra. (2009). Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, cet II.
Fazlur Rahman. (1984). Islamic Methodology in History, Islamabad:
Islamic Research Institute Press.
Fazlur Rahman. (1990). Islam, Chicago and London: University
of Chicago Press.
Kusmana. (1999).
Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia. Jakarta: Penerbit: UIN Syarif Hidayatullah
Press.
Mastuhu. (1999). Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, cet. I.
Nata, Abuddin. (2007). Manajemen Pendidikan : Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Suprayogo, Imam. (2009). Universitas Islam Unggul: Refleksi
Pemikiran Pengembangan kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuwan Islam Malang:
Malang Press.
Suprayoga, Imam. (2004). Tarbiyah Uli al-Albab: Dzikir, Fikr,
dan Amal Shaleh, UIN Malang Press.
Sutrisno, (1995). Revolusi Pendidikan di Indonesia,Membedah
Metode dan Teknik Pendidikan Berbasis Kompetensi, Yojyakarta: Ar-Ruzz, cet.
I
Tafsir, Ahmad. (2010). Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R.: (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia, cet. I.
Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi. (2004). Membuka Jendela
Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuwan Pendidikan Islam.
Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Yunus, Mahmud. (1995). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Mutiara Sumber Widya, cet IV.
Zamroni. (1997). “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam” dalam
Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Penyunting Muslih Usa dan
Aden Wijdan SZ., Yogyakarta: Aditya Media.
-----------, Perta, Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam,
Vol. VII/No. 02/2004. Penerbit: Direktorat PTAI, Ditjen Kelembagaan agama
Islam, Jakarta.
-----------, Majalah Tarbiyah, Media Kajian & Informasi
Keagamaan dan Kependidikan, No. 42 Tahun XIV/1996. Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel Malang.
Padang Ekspres, Senin, 09/09/2013.
Republika, pada
Kamis, 28 Desember 1995.
Republika,
Kamis 3 Juli 1997.
[1] Lihat H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad
21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998), hlm. 207-208.
[2] Fazlur Rahman,
Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1990), hlm.
259-260.
[3] Lebih lanjut
baca Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hlm. X.
[4] Hal tersebut
dikatakan Dr. Komaruddin Hidayat pada acara pertemuan pimpinan pascasarjana
PTAS se Indonesia di Hotel Setiabudi Jakarta, pada tanggal 16 Agustus 2000.
[5] Hal tersebut
antara lain dikatakan Prof. Dr. Azyumardi Azra pada kuliah perdana Program
Studi Pendidikan Islam di PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal 28
Agustus 2000.
[6] Husni Rahim,
makalah pada Semiloka penulisan disertasi di gedung pusdiklat Depag, Ciputat
Jakarta, 1998.
[7]
Imam Tholkhah
dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan
Integrasi Keilmuwan Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), h. 106
[8] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet
IV, h. 138
[9] Haidar Putra
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara ,(Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), h. 26
[12] Kusmana, Dari Ciputat, Cairo, hingga
Columbia. (Penerbit: UIN Syarif Hidayatullah Press; Jakarta, 1999), hlm.
10.
[15]
Ibid.
[16] Lihat Amin
Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta:
Tiarawacana, 2000), hlm. 26. Lihat juga Amin Amin Abdullah, Integrasi
Epistimologi Keilmuan dan Agama, (Jakarta:
INCIS, 2004), hlm. 5-10.
[17] Lihat Imam
Suprayoga, Tarbiyah Uli al-Albab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, (UIN
Malang Press, 2004), hlm. 32-33.
[18] Ismail Raji
al-Faruqi, Islamization of Knowledge Series (1), (United States of
America: The International Institute of Islamic Thought, 1989), hlm. 1
[19] Fazlur Rahman,
Islamic Methodology in History, (Islamabad: Islamic Research Institute
Press, 1984), hlm. 175.
[20]Abdul Munir
Mulkan, “Refleksi Humanisasi Tauhid dalam Reformasi Ontologis Pendidikan
Islam”, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001, hlm.
1-23
[21] Fazlur Rahman,
Op cit. hlm. 180.
[22] Ibid.
[23] Zamroni, “Sosok
Ideal Pendidikan Tinggi Islam” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban
Industrial, Penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ., (Yogyakarta: Aditya
Media, 1997), hlm. 28-31.
[24] Ibid.
[25] Lihat makalah
Djohar, M.S. , “Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam
KemandeganPendidikan di Indonesia”, yang disampaikan pada seminar tentang Pemikiran dan Metodologi Pendidikan,
oleh LP3 dan FAI UMY, pada tanggal 25 Pebruari 2002.
[26] Zamaroni, Paradigma
Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Biograf Publishing, 2000), hlm. 61.
[27] Mastuhu, op
cit., hlm. 219-220.
[28] Lihat M. Dawam
Raharjo, “IAIN dengan Mandat Diperluas”
dalam Perta: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Vol. IV/No.
01/2001, hlm. 35-40.
[29] Sutrisno, Revolusi
Pendidikan di Indonesia, (Yojyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hlm. 171.
[30] Ibid. hlm.
172
[31] Satryo
Soemantri Brojonegoro, dkk., “Implementasi Paradigma Baru di Perguruan
Tinggi” dalam Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, editor
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, (Yogyakarta: Bappenas-Depdiknas-Adicita Karya
Nusa, 2001), hlm. 368-369.
[32] H.
Djumransyah, “Mencari Paradigma Sistem Pendidikan Tinggi Islam Masa Depan”, (Malang:
Majalah Tarbiyah, Nomor: 42, tahun XIV, 1996), hlm.12-13.
[33] Diana Candra
Dewi, “Tantangan Global UIN”, (Perta: Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi
Agama Islam, Vol. VII/No. 02/2004), hlm. 21-22.
[34] Ibid. hlm.
25.
[35] Siti Musdah
Mulia, dalam “PTAI Hadapi Tantangan Sangat Berat”, (Perta: Jurnal
Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Vol. VII/No. 02/2004), hlm. 6.
[36] H.
Djumransyah, Op cit. hlm. 9
[37] Ibid. hlm.
10-11.
[38] Amin Abdullah,
lok.cit.
[39] Imam
Suprayoga, lok.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar