Selasa, 11 Februari 2014

Konversi IAIN Menjadi UIN


KONVERSI IAIN MENJADI UIN
(SEBUAH TINJAUAN EPISTEMOLOGIS PARADIGMATIS)

Oleh: Akhmad Dairoby Al-Banjary

A. Latar Belakang
Sebagai perguruan tinggi negeri, IAIN bersama-sama dengan perguruan tinggi lain harus sadar bertanggung jawab penuh dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia. SDM yang dibutuhkan pada kehidupan abad 21 ini adalah SDM yang mampu bersaing dalam kehidupan global. SDM yang mampu bersaing dalam kehidupan global itu, menurut H.A.R. Tilaar, ditandai oleh adanya tiga kemampuan, yaitu kemampuan  untuk menganalisis, kemampuan untuk inovasi, dan kemampuan untuk memimpin.[1]
Pendidikan Tinggi Islam (termasuk IAIN), menurut Fazlur Rahman sangat strategis untuk mengurai benang kusut krisis pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban umat Islam. Dari sana kemudian dapat diharapkan berbagai alternatif atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Bahkan menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi kepada kemajuan, harus bermula dari pendidikan.[2]
Hal yang hampir  sama dikemukakan oleh Mastuhu. Menurut Mastuhu, IAIN merupakan lembaga pendidikan Islam yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli terhadap persoalan-persoalan besar bangsa.[3]
Menurut Komaruddin Hidayat, fungsi IAIN itu terletak pada sejauh mana ia dapat menawarkan solusi atas berbagai problem pendidikan pada khususnya dan problem umat manusia pada umumnya.[4] Sedang Azyumardi Azra menyoroti lebih khusus pada Fakultas Tarbiyah. Fakultas Tarbiyah, menurut Azyumardi Azra, baik yang berada di IAIN maupun lainnya telah mengalami stagnasi.[5] Husni Rahim secara tegas mengatakan bahwa kalau Fakultas Tarbiyah IAIN tidak mau memikirkan madrasah dan tidak bisa memberikan alternatif solusi atas berbagai problem yang dihadapi madrasah, lebih baik dibubarkan saja.[6]
Dari beberapa uraian di atas tampak sekali kegelisahan para akademisi melihat IAIN sebagai lembaga yang sangat strategis ini tidak mampu berbuat lebih baik dalam pembangunan ilmu dan peradaban bagi umat manusia. Selanjutnya akan dibahas pentingnya pergeseran paradigma lama kepada paradigma baru untuk pengembangan yang lebih optimal.
B. Dari Institutut  sampai Universitas
Sebagai langkah awal, makalah ini mencoba memberikan pemahaman tentang konsep Universitas. Dan agar lebih mudah untuk dipahami maka penulis memberikan pemahaman secara sederhana tentang lembaga pendidikan lainnya yang berkaitan sehingga bisa dilihat perbedaan dan perbandingannya. Institut adalah lembaga yang menyelenggarakan program akedemik dan atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian yang sejenis. Sekolah Tinggi adalah menyelenggarakan program pendidikan akademik dan atau profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu. Dalam penjelasan tentang institut disebutkan bahwa program pendidikan yang diselenggarakan pada institut terkait atau sangat dekat berhubungan dengan program-program pendidikan lainnya. Oleh karena itu, program-program yang diselenggarakan merupakan satu kelompok atau satu jenis. Sedangkan universitas menyelenggarakan program pendidikan akademik dan atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian tertentu.[7]
Atau lebih jelasnya Universitas Islam Negeri (UIN) pada hakekatnya bahwa ilmu-ilmu yang dikembangkan tidak hanya ilmu-ilmu agama saja, tetapi telah dikembangkan ke berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya, yang tergolong ke dalam natural science (ilmu-ilmu alam), social science (ilmu-ilmu sosial), dan termasuk juga ilmu humaniora.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata mengungkapkan telaah pada konsep bahasa seperti, nama IAIN yang dalam bahasa Arabnya al-Jamiah al-Islamyah al-Hukumiyah secara harfiah sudah menunjukkan pada arti universitas. Al-jami'ah secara harfiah berarti universitas. Hal ini sejalan dengan kenyataan beberapa Fakultas yang ada di IAIN sekarang yang sebenarnya cukup menggambarkan sebuah universitas. Saat ini IAIN terdapat Fakultas Tarbiyah (Pendidikan), Fakultas Syari'ah (Hukum), Fakultas Adab (Sastra), Fakultas Dakwah (Komunikasi dan Informasi), Fakultas Ushuluddin (Pokok-pokok Agama).
Pemikiran tentang pentingnya Lembaga Pendidikan Tinggi Islam dalam bentuk universitas di Indonesia sebenarnya sudah dirintis sejak zaman Mahmud Yunus. Menurutnya bahwa Universitas Islam Darul Hikmah yang didirikan di Bukit Tinggi pada tanggal 27 Rajab 1373 H/ tahun 1953 H, dengan nama Perguruan Tinggi Darul Hikmah dan mempunyai satu fakultas, yaitu Fakultas Hukum Islam. Kemudian pada tanggal 18 Rabiul Awal 1377 H/ 12 Oktober 1957 dirubah namanya menjadi Universitas Islam Darul Hikmah dengan memiliki lima fakultas.[8]
Dijelaskan dalam bukunya Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, dengan judul Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, bahwa mengikuti dan menyesuaikan perkembangan keilmuwan, menurut Haidar Putra Daulay sejak awal tahun 1990 an, IAIN bercita-cita untuk mengembangkan yang dibangun atas dasar integerasi antara ilmu agama dengan ilmu umum.[9] Namun, untuk mencapai status kelembagaan menjadi sebuah Universitas Islam tentunya bukanlah hal yang mudah. Segala aspek harus diperhatikan mulai dari tenaga pengajar, fasilitas, sarana dan paradigma konsep keilmuwan.
C.  Seputar Ide Awal Konversi
Gagasan konversi IAIN menjadi UIN pertama kali dikemukakan Rektor IAIN Jakarta Periode 1973-1984, Prof. Dr. Harun Nasution. Namun, gagasan itu kandas lantaran terkendala aturan dan SDM yang belum memadai. Lama tak terdengar, ide itu kembali mengemuka pada masa kepemimpinan Rektor IAIN Prof Dr M Quraish Shihab (1992-1998). Berbagai persiapan dilakukan, hingga ide tersebut akhirnya terealisasi pada 20 Mei 2002, periode kepemimpinan Rektor Prof Dr Azyumardi Azra (1998-2006). Setelah berganti nama, infrastruktur segera dibangun dan arah pengembangan diperjelas yakni menjadi universitas riset dan universitas kelas dunia.
            Nama Harun Nasution pantas disematkan sebagai pelopor atau penggagas ide konversi IAIN menjadi UIN yang kini sudah terwujud dan tengah berkembang menjadi salah satu ikon bagi PTI lainnya di Indonesia.
            Menurut Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, Prof Dr Amsal Bakhtiar dalam buku  Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia, perubahan IAIN menjadi UIN memang bermula dari ide Harun Nasution. Konon, di masa kepemimpinannya sebagai Rektor, tahun 1973-1984, Harun membentuk sebuah tim dan mengirimkannya ke Timur Tengah dan Malaysia untuk melakukan studi komparatif mengenai format ideal sebuah universitas Islam. Tokoh yang ketika itu dikirim ke Timur Tengah adalah Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, dan Mastuhu. Sementara Zakiah Daradjat dikirim ke Malaysia. Namun, pada masa itu, ide besar itu berhenti hanya sebatas wacana.  Ide itu kandas terbentur peraturan, yang tidak mengijinkan Departemen selain Depdikbud untuk membuka universitas. Departemen selain Depdikbud hanya boleh mendirikan lembaga pendidikan maksimal Institut.
Alasan Harun Nasution ingin mengembangkan IAIN menjadi UIN dikemukakan dalam sebuah wawancara dengan Republika, pada Kamis, 28 Desember 1995. Saat itu ia sudah menjadi Direktur Program Pascasarjana. “Kita merasa yang diperlukan umat di zaman sekarang ini bukan hanya sarjana yang mengetahui ilmu agama saja, tapi juga ilmu umum. Harus diakui tidak banyak orang yang bisa menguasai keduanya secara mumpuni. Hanya orang-orang jenius saja yang bisa melakukannya,”[10] katanya.
Berangkat dari kebutuhan itu, Harun berpendapat, IAIN perlu dikonversikan menjadi universitas, sehingga dapat membuka jurusan-jurusan umum. Harapannya tentu saja mampu mencetak sarjana yang memiliki kompetensi agama namun tidak asing dengan pengetahuan umum. Hal itu bagi Harun bukan mustahi. Sejarah mencatat seorang Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina yang selain ahli filsafat, syariah, juga seorang dokter yang masyhur. “Kalau pada masa lampau mereka bisa menghasilkan tokoh seperti itu, kenapa kita tidak mampu menghasilkannya. Inilah dasar pendirian kita sehingga ada keinginan untuk mengubah IAIN menjadi UIN,”[11] tegas Harun.
Akhirnya, kepastian pendirian UIN itu kian jelas setelah diadakan Sarasehan UIN di IAIN Jakarta pada 22 Oktober 1994. Sarasehan itu sendiri menghadirkan sejumlah narasumber. Dari kalangan internal IAIN Jakarta seperti Quraish Shihab, Harun Nasution, dan Zakiah Daradjat. Dari Departemen Agama seperti Atho Mudzhar, dari perguruan tinggi umum seperti Asri Rasyad dari YARSI, Hanna Djumhana Bustaman dan Laode M Kamaluddin dari UI, dan Ahmad Baiquni dari BPPT. Usai sarasehan, Departemen Agama menetapkan IAIN Jakarta menjadi pilot project dan mengharapkan agar upaya pengembangan IAIN menjadi UIN ini didahului dengan studi kelayakan yang meliputi pengembangan kelembagaan, pengembangan ketenagaan, pengembangan kurikulum, pengembangan perpustakaan, pengembangan sarana dan prasarana, dan penyusunan RIP UIN.
Menurut Kusmana  dalam buku Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia, gagasan di atas muncul kembali tak lepas dari kesediaan Quraish Shihab saat menjabat Rektor untuk menjajaki kembali kemungkinannya. Hal itu diperkuat dengan dorongan internal muncul dari figur Harun Nasution dan persetujuan bahkan dukungan dari Menag Tarmizi Taher tersebut. Bagi Menag kendala yang sebelumnya dihadapi tahun 1970-an soal aturan yang dimiliki Depdikbud bukan sesuatu yang deadlock. Karena itu, sejurus kemudian Menag membentuk tim kecil untuk mengkaji kelayakan IAIN menjadi UIN.[12]
D. Problema Paradigmatis Epistemologis
Diskusi seputar wacana mentransformasikan IAIN menjadi UIN pada tahun 1995-1996 menarik disimak. Harian Republika mencatat dengan sangat baik, respon pro dan kontra dari para tokoh masyarakat terhadap rencana tersebut. Tokoh yang kontra ketika itu adalah mantan Menag Munawir Syadzali dan KH Makruf Amin. Syadzali menganggap IAIN sudah milik umat Islam dan tujuan utamanya mencetak sarjana agama. Kalau dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, baginya ilmu bersifat netral. Karena itu, ilmu sangat tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Menurut Makruf Amin, sebenarnya IAIN sekarang masih dalam situasi dituntut masyarakat Muslim untuk memenuhi harapan mereka, yaitu menghasilkan sarjana Islam yang handal. Kalau gagasan perubahan IAIN ini dipaksakan, jelas akan mengganggu konsistensi usaha IAIN sebagai lembaga pendidikan keagamaan dalam merealisir tujuan utamanya.
Isyarat yang sama juga datang dari dua orang tokoh, Hidayat Nurwahid dan Ali Mustafa Ya’qub. Dalam wawancara dengan harian Pelita, Hidayat menghkhawatiran kalau rencana ini dilaksanakan, justru memudarkan citra diri keislaman IAIN. Ditambah lagi, menurutnya, gagasan tersebut belum didukung human resource yang memadai. Sementara Ya’qub di lain pihak, mengkhawatirkan fakultas agama pada perkembagannya akan terpinggirkan oleh fakultas-fakultas umum. Dia mengambil contoh, Universitas Al-Azhar yang sudah berdiri sekian lama, baru mengubah dirinya menjadi universitas, tetapi lulusan al-Azhar dari fakultas umum tidak diperhitungkan atau kalah bersaing dengan universitas umum.
Kendati ada beberapa tokoh yang menolak, di lain pihak tak sedikit pula yang mendukung rencana IAIN jadi UIN. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Yayasan Swarna Bumy, Republika, dan IAIN sendiri, Haidar Bagir dan Emha Ainun Nadjib mengisyaratkan dukungannya. Menurut Bagir, adalah wajar IAIN menjadi UIN, karena alasan historis dan epistemologis. Secara historis yang merintis adanya pendidikan tinggi adalah umat Islam. Ini ditandai dengan berdirinya universitas pertama ketika penguasa Islam membangun sebuah universitas di Sicilia, Eropa. Beberapa terminologi berasal dari Islam, seperti kata kuliah dah universitas. Secara epistemologis, konsep pendidikan Islam sebenarnya tidak menisahkan antara ilmu umum dan ilmu agama sehingga upaya mengubah IAIN menjadi UIN dapat dipandang sebagai usaha mengembalikan dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu umm dan ulmu agama. Sementara Nadjib melihatnya dalam konteks ideal, yaitu keniscayaan adanya dialektika antara ilmu, mental, dan moral dalam proses kepribadian seseorang. Dengan kata lain, UIN harus diupayakan ke arah manusia yang tidak dikotomis.
Dukungan juga datang dari alumni UIN Jakarta. Din Syamsuddin misalnya, menganggap selama ini sebenarnya IAIN telah mengembangkan penyatuan ilmu agama dan ilmu umum. Karenanya, transformasi ke UIN bisa dipandang sebagai tahap lanjutan untuk menginterasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Sementara Tuty Alawiyah melihanya sebagai kebutuhan zaman yang memungkinkan institusi ini memberi tawaran yang lebih banyak. Dia mencontohkan universitas Antar Bangsa di Malaysia yang mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Rektor UIN Jakarta ketika itu, Quraish Shihab, menanggapi pro dan kontra itu dengan bijak. Menurut Quraish, mereka yang kontra lebih didasari oleh kekhawatiran dan belum mengerti maksud perubahan IAIN menjadi UIN. Perubahan ini tidak dimaksud untuk meninggalkan IAIN sebagai institusi keagamaam, tetapi justru ingin mengimplementasikan kesadaran atau nilai keagamaan dalam proses tranformasi dan pengembangan keilmuan secara umum. Quraish menghindari penggunaan kata “islamisasi” dan sebagai gantinya ia menggunakan “proses spiritualisasi atau pemberian muatan nilai-nilai rohaniah pada upaya penggalian ilmu pengetahuan”.
Dalam wawancara dengan harian Republika, Kamis 3 Juli 1997, Quraish mengatakan, pendirian UIN memerlukan perjuangan berat. “Pendirian universitas Islam ini merupakan kerja yang berat, sebab tak hanya memerlukan gedung dan perpustakaan, tapi juga ahli yang mampu mengintegrasikan kedua bidang ilmu yang selama ini seolah-olah terpisah itu,”[13] katanya. Bagi Quraish, hal itu juga bukan kerja instan, hasilnya baru bisa dirasakan paling cepat sepuluh tahun lagi.
Menurut Eka Putra Wirman Penggiat LSM Imam Bonjol Empowering Center (IBEC) Padang mengatakan : “Konversi juga bertujuan meningkatkan semangat keilmuan, daya saing, manajemen, kualitas dan kuantitas, pelayanan, kontribusi sosial, dan tentu keluasan pengelolaan ke­uang­an.”[14] 
Di Sumatera Barat, ide tersebut tidak bisa dikatakan berjalan mulus karena gagasan tersebut belum tersosialisasi dengan baik. Penolakan datang silih berganti dari berbagai elemen masya­ra­kat, baik secara internal maupun eksternal, mulai dari pucuk pimpinan formal, adat, agama dan tokoh-tokoh penting Sumatera Barat. Sementara itu, upaya dan gerak perangkat IAIN Imam Bonjol Padang untuk mengkonversi diri secara “transparan” juga tetap dilakukan.[15] Apa sesungguhnya yang menjadi faktor penolakan konversi tersebut.
Sejauh yang bisa diamati, bahwa kata kunci dari penolakan konversi adalah, kekhawatiran apabila kebera­daan UIN akan membuat ilmu-ilmu agama yang selama ini menjadi core IAIN akan mati secara perlahan-lahan; dan kemudian akan muncul penyakit SEPILIS (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang membahayakan sendi kehidupan keislaman.
Maka pertanyaan besarnya adalah, benarkah status UIN akan memba­hayakan posisi ilmu-ilmu agama? Mungkinkah ilmu-ilmu agama kehi­lang­an peminat dan akhirnya hilang di rumahnya sendiri? Jika mencermati paradigma ilmu yang menjadi dasar pengembangan IAIN menjadi UIN terdahulu, seperti paradigma-paradig­ma: Jaring Laba-laba,[16] Pohon Ilmu[17] dan Roda Ilmu, maka ketakutan itu me­mang berpeluang besar menjadi kenya­taan.
Paradigma keilmuan yang di­ba­ngun di Jakarta, Yogya dan Malang sepintas lalu memang genuin, tetapi tidak happy ending bagi ilmu-ilmu agama. Dalam skema jaring laba-laba yang digagas oleh intelektul kawakan Amin Abdullah di Yogya, ilmu-ilmu diposisikan pada level dan lingkar tertentu. Lingkar pertama dari jaring laba-laba ditempati oleh al-Quran dan Hadis; diikuti lingkar kedua ditempati oleh ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, syariah, akhlak dan tasauf; kemudian lingkar ketiga diisi oleh ilmu-ilmu seperti Science And Technology, Religious Pluralism, International Law, Enveronmental Issues, Gender Is­sues, Cultural Studies, Politic/Civil So­ciety, Human Rights, Economic. Ling­kar terakhir ini disebut juga dengan ilmu-ilmu kontemporer yang dianggap sebagai simbol peradaban modern.
Dalam penjelasannya, Amin Abdul­lah mengatakan bahwa al-Quran, Ha­dis dan ilmu-ilmu agama menjadi inspirator, motivator dan spirit bagi sains yang terus berkembang. Model ini disebutnya sebagai bentuk inter-relasi dan inter-koneksi antar berbagai ilmu terutama ilmu agama dan ilmu umum.
Hampir sama dengan di atas, para­digma Pohon Ilmu yang digagas oleh cendikiawan muslim papan atas Imam Suprayogo dari UIN Malang juga memberikan posisi-posisi tertentu kepada ilmu-ilmu sebagai berikut: pada posisi akar ditempatkan al-Quran dan Hadis; pada posisi batang pohon diisi oleh ilmu-ilmu agama; dan pada posisi dahan dan buah ditempati oleh ilmu-ilmu kontemporer dari ilmu-ilmu kealaman dan sosial. Sepintas langkah Imam Suprayogo hanya sebatas mem­bagi kurikulum yang telah berlaku di perguruan tinggi agama Islam selama ini dan ditempatkan pada posisi akar, batang dan buah pohon ilmu yang digagasnya.
Dengan skema jaring laba-laba dan pohon ilmu seperti ini, apa yang dikhawatirkan sebagian kalangan terhadap kematian ilmu-ilmu agama memang bukan sekadar ancaman. Hal itu disebabkan ilmu-ilmu agama tidak menjadi prioritas; tidak menjadi buah yang dinikmati; tidak layak dipajang di etalase peradaban terkini; hanya seka­dar penyambung lidah munculnya il­mu-ilmu kontemporer. Istilah “al-Quran dan ilmu agama sebagai ins­pi­rasi dan motivator bagi perkembangan ilmu” atau “wahyu memandu ilmu” kelihatannya saja yang indah, tetapi hanya sebagai nyanyian yang me-ninabobok-kan. Di satu sisi al-Quran berperan memberi spirit tetapi di sisi lain ilmu-ilmu agama stagnan pada posisi awalnya.
Andaipun ilmu-ilmu agama menja­di inspirasi, motivasi dan spirit bagi ilmu-ilmu lain, lalu bagaimana dengan eksistensinya sendiri sebagai satu rumpun ilmu yang besar? Kenapa ilmu-ilmu agama tidak mendapat peluang untuk dikembangkan sehingga mela­hir­kan para expertis dan ahli di bidang tersebut? Apakah ilmu-ilmu agama hanya layak menjadi penghuni bagian akar dan batang dari visualisasi sebuah pohon, atau hanya berkutat pada lingkar pertama dan kedua dari belasan lingkar keilmuan yang akan selalu berkembang?
Ilmu-ilmu yang tidak “diproyek­sikan” untuk berkembang sudah pasti tidak akan melahirkan para ahli atau para ulama yang mumpuni. Ketidak hadiran para ulama dalam bidang agama terlihat jelas pada jenis ilmu-ilmu yang berada pada lingkar terakhir konsep jaring laba-laba dan pada ranting serta buah pada konsep pohon ilmu.
Gairah mengembangkan lembaga agar memiliki kharisma, magnet dan pendanaan yang kuat memang mendo­rong para intelektual menemukan solusi yang tepat. Tetapi yang dibu­tuhkan tentu bukan solusi instan yang hanya dinikmati untuk 10-15 tahun dan mengorbankan identitas diri sendiri. Peradaban Islam membutuhkan para saintis yang qurani, di samping para ulama sebagai pewaris para nabi dalam urusan agama, moral dan spiritualitas.
            Dari beberapa paradigma dan persoalan tersebut, penulis akan mencoba mengkaji secara konseptual di sekitar mencari pendidikan yang bagaimanakah yang harus diupayakan dan diaktualisasikan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam dalam rangka menghadapi tantangan masa depannya.
E. Pentingnya Pergeseran Paradigma IAIN
            Disadari atau tidak, peradaban umat Islam pernah mengalami pasang surut, naik turun dan bergelombang. Realitas menunjukkan bahwa peradaban umat Islam sekarang sedang terbelakang atau terpuruk. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, umat Islam sekarang benar-benar terpuruk dan terhina baik secara fisik maupun mental. Citra umat Islam dicirikan dengan agresif, destruktif, ekstremis, mengingkari hukum, fanatik, fundamentalis, teroris, dan seterusnya.[18]
 Salah satu indikasi kemunduran peradaban umat Islam, menurut Fazlur Rahman, adalah ketidakmampuan mereka memberikan solusi atas berbagai problem yang dihadapinya. Padahal kehidupan mereka selanjutnya akan ditentukan oleh sejauh mana mereka sanggup menghadapi tantangan-tantangan yang mereka hadapi secara kritis dan kreatif.[19]
Dinamika peradaban umat manusia terus berjalan hingga sekarang dalam menghadapi abad 21, suatu abad yang ditandai oleh globalisasi. Salah satu ciri pokok masyarakat abad 21 adalah lahirnya suatu masyarakat megakompetisi. Yaitu suatu masyarakat yang segala sesuatunya berjalan melalui kompetisi. Kompetisi menghendaki segala sesuatunya serba terbaik. Dalam kaitannya dengan IAIN adalah lembaga tersebut dituntut dapat menghasilkan alumni yang dapat berkompetisi dalam era global ini.
Abdul Munir Mulkan melihat ada dua permasalahan yang perlu dijernihkan dalam pendidikan Islam, yaitu masalah yang berkaitan dengan konsep ilmu dan masalah ontologi.[20] Menurut Fazlur Rahman, problem pendidikan Islam yang paling mendasar dewasa ini adalah problem ideologi. Umat Islam tidak dapat mengaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya. Akibatnya mereka tidak terdorong untuk belajar. Bahkan, mereka tidak sadar kalau berada di bawah perintah moral kewajiban Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan.[21]
Problem berikutnya adalah adanya dualism sistem pendidikan umat Islam sebagai akibat dari adanya dikotomi ilmu dalam Islam. Pada satu sisi, disebut sistem  pendidikan Islam, mulai dari madrasah Ibtidaiyah sampai kepada Perguruan Tinggi Islam (IAIN), yang begitu tertinggal sehingga hasilnya betul-betul mengecewakan. Kebanyakan produk dari sistem ini tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Pada sisi lain, ada sistem pendidikan sekuler modern (umum) yang dilaksanakan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi Umum (PTU), di mana sistem ini telah berkembang tanpa menyentuh sama sekali ideologi dan nilai-nilai Islam. Hasilnya sangat strategis, dasar minimal dari rasa jujur dan tanggung jawab pun tidak muncul. Maka kedua sistem pendidikan ini sama-sama tidak beresnya.[22]
Pendidikan tinggi Islam di Indonesia, menurut Zamroni, sesungguhnya masih merupakan impian belaka. Pendidikan Islam dalam realitas baru merupakan: (1) pendidikan tinggi yang diselenggarakan lembaga-lembaga Islam, (2) Pendidikan Agama Islam yang disampaikan di perguruan tinggi, dan (3) perguruan tinggi yang bertujuan menghasilkan sarjana di bidang Ilmu Agama Islam.[23] Perguruan tinggi Islam meskipun jumlahnya banyak, tetapi dalam peta perguruan tinggi di Indonesia, kebanyakan menempati posisi di pinggiran. Untuk meningkatkan kedudukannya, dalam jangka pendek, perguruan Islam harus memiliki tipe ideal manusia seutuhnya. Sosok manusia sutuhnya menurut Islam adalah al-insân al-kamil, yakni manusia yang memiliki pengetahuan dan perilaku sebagaimana yang dimiliki Rasulullah Saw atau setidak-tidaknya mendekati. Manusia yang terdiri dari jiwa dan raga, di mana dengan pengetahuan yang dimiliki, jiwa bisa mengendalikan perilaku untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Tujuan utamanya adalah kebahagiaan di akhirat, sedang kebahagiaan di dunia sebagai kebahagiaan  antara. Untuk mencapai tujuan itu, seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan, memiliki kebijaksanaan (wisdom), berjiwa adil dan mampu mentrasformasikan ilmu yang dimiliki ke dalam amal perbuatan yang berguna tidak saja bagi dirinya, tetapi juga bagi lengkungannya. Sosok manusia seutuhnya tidak akan statis, melainkan selalu dinamis, sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakatnya.[24]
Orientasi pendidikan tinggi Islam di Indonesia, sebagai subsistem pendidikan tinggi nasioanal, ikut terpengaruh pada transfer of knowledge sebatas yang terkait erat dengan masalah kerja dan perolehan gelar akademik; bukan untuk mengembangkan kemampuan manusia secara kaffah. Pendidikan tinggi Islam seharusnya mengembangkan tiga perangkat manusia, yang berupa akal, hati, dan fisik (terutama pancaindra) secara maksimal. Kritik Djohar terhadap pendidikan Islam bahwa pendidikan tinggi di Indonesia salah dalam hal (1) kurang memberi kondisi bagi tumbuh kembangnya akal, (2) kurang menumbuhkembangkan hati, dan (3) kurang menumbuhkembangkan fisik manusia, terutama pancaindra.[25]
Menurut Zamroni, secara paradigmatis pekerjaan profesional dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu hard profession dan soft profession.  Suatu pekerjaan dikatakan hard profession apabila pekerjaan tersebut diwujudkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah mengahsilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Sebaliknya, soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.[26] Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah yang diambil dalam pekerjaan ini sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi tertentu. Implikasi kategori ini tidak menuntut pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang dibekali dengan kemampuan minimal.
Pendidikan tinggi Islam, dalam hal ini IAIN, sekarang dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut perhatian segera. Persoalan-persoalan itu antara lain: (1) citra umat Islam sangat buruk, (2) peradaban umat Islam terbelakang, (3) umat Islam terdera oleh berbagai krisis, (4) dihadapkan pada problem dikotomi ilmu yang sangat akut (ilmu tradisional dengan ilmu sekuler modern), (5) IAIN dituntut dapat menghahsilkan alumni bertakwa yang memiliki tiga kemampuan, yaitu kemampuan untuk menganalisis, kemampuan untuk berinovasi dan kemampuan untuk memimpin.
F. Paradigma Baru Pengembangan IAIN menjadi UIN
            Adanya berbagai persoalan yang terkait erat dengan pendidikan tinggi Islam, sebagaimana tersebut di atas, mengharuskan IAIN mengembangkan paradigma baru. Dalam era globalisasi, dalam dunia yang terbuka, paradigma-paradigma  yang mendasari lahirnya IAIN dewasa ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan pembangunan nasional. Paradigma-paradigma IAIN itu sangat sektoral dan mempunyai visi dan misi sangat terbatas. Paradigma yang sektoral tersebut menganut faham dualism yang membedakan ilmu agama dari ilmu pengetahuan umum, bahkan mendikotomikan keduanya. Dikotomi tersebut pada akhirnya menghasilkan alumni-alumni yang ketinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu visi dan misi IAIN menjadi sangat sempit dan terbatas. Barangkali hanya dapat memenuhi satu sektor tertentu saja di dalam kebutuhan manusia Indonsesia modern.
Dalam pandangan Islam, ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an. Berilmu berarti beragama dan beragama berarti berilmu. Karena itu, tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik. Menilai atau menggugat kembali keabsahan dan kebenaran suatu pendapat adalah salah satu keharusan tanpa menilai yang berpendapat.
Paradigma ilmu dalam pendidikan tinggi Islam, menurut Mastuhu, meliputi berbagai kesadaran, yaitu: pertama, ilmu itu secara esensial terkandung dalam ajaran Islam. Pertumbuhan dan perkembangan suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Karena itu, dalam pandangan Islam, ilmu itu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinali. Kedua, Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu dan agama. Keduanya dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap posisi dan perannya. Kebenaran ilmu bersifat empiris dan relatif. Ketiga, ilmu itu diciptakan manusia. Hanya saja sejak awal penciptaannya, pengembangan dan pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dari hal itu, suatu pengamalan ilmu dalam Islam dilihat dari dua dimensi, yakni materi dan pelakunya.[27]
Setiap  peradaban umat manusia selalu dilandasi oleh ilmu pengetahuan. Begitu juga peradaban Islam, baik ketika masa kejayaan maupun ketika masa kemunduran, tidak bisa lepas dari ilmu pengetahuan yang melandasinya. Pada masa kejayaan peradaban Islam, belum dikenal adanya ilmu agama. Hal ini didukung oleh fakta sejarah bahwa banyak pemikir Muslim ketika itu ahli agama sekaligus ahli ilmu yang memberikan kemaslahatan kepada banyak orang, seperti ilmu kedoteran, kimia astronomi, dan lainnya mempunyai akar yang kuat dalam Islam, dan itulah yang tidak terjadi pada zaman sekarang.
Pada masa sekarang, ilmu dipisahkan dengan ilmu agama. Bahkan keduanya dipertentangkan sehingga jarang sekali ditemukan tokoh yang kuat memiliki keduanya. Artinya menguasai agama sekaligus menguasai ilmu kedokteran, atau  kimia, atau astronomi dan seterusnya. Oleh sebab itu, integrasi ilmu dalam Islam merupakan keharusan dan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini sifatnya sangat mendesak. Salah satu terobosan yang bisa diharapkan adalah perubahan status IAIN menjadi UIN yang lebih luas.
Upaya integrasi ilmu dalam Islam tampaknya dimulai dari lahirnya gagasan “Islamisasi Pengetahuan” (Islamization of Knowledge). Upaya ini dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi. Pada tahun 1982, di Virginia, AS, berdiri The International Institute of Islamic Thought (disingkat dengan IIIT). Lembaga ini bekerja sama dengan International Islamic University, Islamabad Pakistan dan International Islamic University Malaysia. Di kedua universitas itulah hasil-hasil kajian dan penelitian IIIT diajarkan. Kemudian Naquib al-Attas, dengan dukungan penuh Anwar Ibrahim, menyusul langkah al-Faruqi dengan mendirikan Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Selanjutnya, di Herndon, Virginia, AS, didirikan the Islamic Institute of Social Science. Lembaga ini telah meluluskan sarjana-sarjana ilmu-ilmu sosial Islam.[28]
Menurut Sutrisno, dengan langkah ini (IAIN menjadi UIN) ke depan perlu diarahkan untuk memberikan solusi atas berbagai problem yang dihadapi umat manusia. Karena problem itu tidak selamanya berasal dari bidang agama, maka baik bidang agama maupun bidang-bidang lain dalam kehidupan ini perlu dikembangkan di UIN secara integratif, secara bersama-sama dan terpadu.[29]
Selanjutnya menurut Sutrisno, cara yang ditempuh tersebut secara umum memiliki dua tujuan: pertama, untuk membentuk watak mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat; dan kedua, untuk memungkinkan para ahli yang berkompeten modern menanami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi, yakni dengan menggunakan perspektif Islam dalam mengubah kandungan dan orientasi kajian-kajian mereka.[30]
Dari uraian di atas, sangatlah penting adanya pergeseran paradigma dalam pengembangan IAIN, yaitu integrasi ilmu dalam Islam. Salah satu terobosan yang sangat dapat diharapkan untuk memperluas visi dan misi IAIN adalah dengan mengkonversi menjadi UIN. Hal ini bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda lagi, sehingga diharapkan dikotomi ilmu dan agama tidak terjadi lagi.
G. Model Pengembangan UIN Masa Depan
Menurut Satryo Soemantri Brojonegoro, IAIN masih menghadapi berbagai tantangan dan masalah, antara lain: pertama, UIN Jakarta dan Yogyakarta dikembangkan melalui proses mandat yang lebih luas (wider mandate). Dengan mandat ini kedua UIN tersebut tidak hanya mengembangkan bidang agama Islam, tetapi juga dalam bidang ilmu sosial, humaniora, dan eksakta. Dengan mandat ini diharapkan upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dapat direalisasikan. Kedua, dengan peningkatan otonomi yang lebih besar, UIN diharapkan dapat mengembangkan dirinya secara lebih maksimal. Ketiga, peningkatan akuntabilitas UIN dari segi kelembagaan dan akademis, sehingga alumninya lebih profesioanl, ahli dan terampil baik dalam ilmu agama maupun ilmu umum. Keempat, peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi lain baik dalam maupun luar negeri, guna menciptakan sinergi yang dapat mendorong akselerasi peningkatan mutu di UIN.[31]
Kalau kita mencoba melihat UIN di Indonesia dewasa ini tampaknya masih banyak yang terjebak dengan kendala-kendala yang tidak memungkinkan menjalankan peran strategisnya sebagai ujung tombak pembangunan. Beberapa persoalan yang tampak ‘klasik’ itu adalah:
1.    Perencanaan dan Pelaksanaan Pendidikan
Dari segi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan ini dapat dikembangkan pemikiran sebagai berikut:
a.    Upaya peningkatan kreativitas dan kesadaran waktu lebih mendapat perhatian yang lebih besar, dalam rangka pendidikan berpikir (how to think) sedini mungkin pada PTI.
b.    Membekali mahasiswa dengan kesadaran informasi. Sebab orang yang mempunyai kesadaran informasi yang tinggi adalah orang yang mampu menerima dan mengelola informasi menjadi modal kehidupan.
c.    Perlu dikembangkan kegiatan ko-kurikuler yang bertujuan untuk merangsang perilaku yang berorientasi pada prestasi dan kecepatan (speed).[32]
2.    Kesenjangan  antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam
Pada realitasnya, sistem pendidikan di UIN masih bersifat ambivalen mencerminkan pandangan yang dikotomis, secara teoritis ingin mengintegrasikan antara ilmu dan agama, tetapi dalam tataran realitas masih terjadi. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan konsep Islam yang mengajarkan kesatuan dan integritas antara keduanya. Jika sistem semacam ini tetap berjalan, diakui atau tidak, akan semakin menjauhkan diri dari cita-cita ideal pendidikan Islam dan begitu sebaliknya ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi bebas nilai (value-free).[33] Mestinya dikembangkan Beramal ilmiah, berilmu amaliah yang dipandu oleh syari’ah.

3.    Metodologi dan Teknologi
Di lingkungan UIN seringkali terjebak dengan pola pengajaran dengan metodologi yang statis. Tidak banyak melakukan pembenahan atau inovasi apalagi reformasi yang strategis dan adaptif. Dengan kenyataan ini seringkali kita mendengar sinyalemen bahwa lembaga pendidikan Islam kaya materi namun kering metodologi. Ini memang harus diakui secara jujur oleh setiap orang yang terlibat didalamnya, lebih-lebih yang terlibat aktif dalam pengelolaannya.[34]
4.    Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja
Saat ini masih banyak lulusan PTI yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal, penyelenggaraan pendidikan seperti UIN harus mampu menyalurkan para alumninya ke dunia kerja. Paling tidak, menurut Siti Musdah Mulia: “Harus ada pembelaan terhadap masyarakat untuk mengehentikan malpraktik di PTI”.[35] Misalnya sinergi antara UIN dengan lembaga-lembaga usaha, baik pemerintah maupun swasta.
5.    Ruang dan Waktu
UIN dari pola kampus terpadu, susunan fakultas, ruang kuliah dan jadwal perkuliahan  serta ketentuan waktu ujian, semua masih terjebak dalam kendala ruang dan waktu yang berlaku bagi UIN.[36] Semua teknologi informasi dan komunikasi kini telah tersedia, berkembang pesat dan sudah banyak digunakan, akan tetapi masih belum banyak yang merintis menggunakannya secara terpadu untuk benar-benar lepas dari kendala ruang dan waktu yang telah menjebak selama ini. Semua sarana tersebut memungkinkan alih informasi dan ilmu tidak lagi tergantung pada pertemuan tatap muka berkala antara masing-masing pengajar dan mahasiswanya pada waktu dan tempat tertentu.


6.    Metodologi Pengajaran
Dalam hal ini perlu memformulasikan metodologi yang menjanjikan; antara lain:
a.    Metode diakronis, yaitu memberikan kemungkinan kepada mahasiswa untuk mengadakan studi komparasi dengan berbagai hasil penemuan dan pengembangan suatu cabang ilmu pengetahuan.
b.    Metode pemecahan masalah, melatih mahasiswa berhadapan dengan berbagai masalah dan alternatif pemecahannya.
c.    Metode emperis, yaitu membawa mahasiswa untuk mempelajari ilmu pengetahuan melalui proses realisasi dan aktualisasi tentang norma-norma dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan tertentu melalui suatu proses aplikasi yang menumbuhkan suatu interaksi sosial yang kemudian secara deskriptif dapat merumuskan suatu sistem norma yang baru.[37]
Dengan beberapa metode di atas, dapat dikemukakan bahwa pendidikan tidak diartikan secara statis.
7.    Bidang Ilmu yang Dikembangkan
Menurut Amin Abdullah, konten “Jaring Laba-laba” keilmuan terdiri 4 lapis. Lingkar lapis 1 (paling dalam) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, lapis 2 memuat 8 ilmu keislaman yang berkembang dan terus dipertahankan, yaitu: Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadits, Tarikh, Fiqih, Tafsir, dan Lughah. Sedangkan yang harus dikembangkan UIN selanjutnya adalah: Sosiologi, Hermenitik, Filologi, Semiotik, Fenomenologi, Psikologi, Filosofia, Sejarah, Antropologi, dan Arkeologi.[38] Sedangkan menurut Imam Suprayogo mengusulkan sebagaimana yang dikembangkan di UIN MALIKI Malang yang disebut sebagai ilmu modern dengan “Pohon Ilmu”-nya yaitu: ilmu kedokteran, filsafat, psikologi, ekonomi, sosiologi, teknik, dan lain-lain.[39]
            Pada prinsipnya Islam memandang semua ilmu pengetahuan itu baik untuk dikembangkan, apapun namanya yang penting adalah subtansi dan apilikasi dari ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu tunduk pada syari’at Allah Swt. bukan mengingkarinya.
H. Penutup
Kegelisahan para akademisi PTI memang pantas terjadi, karena telah bertahun-tahun andilnya tidak terlalu berdimensi lebih besar bagi pembangunan umat dan bangsa Indonesia. Padahal peran perguruan tinggi itu dalam pendidikan sangat strategis bagi perubahan pola pikir dan tingkah laku. Salah satu hal yang dianggap memarginalkan peran IAIN adalah dikotomi keilmuan yang dianut selama ini. “Institut” telah membelenggu gerak langkah yang lebih besar dan harus diganti dengan “universitas”.
IAIN bercita-cita untuk mengembangkan PTI yang dibangun atas dasar integerasi antara ilmu agama dengan ilmu umum. Namun, untuk mencapai status kelembagaan menjadi sebuah Universitas Islam (UIN) tentunya bukanlah hal yang mudah, diperlukan langkah secara konstitusional, filosofis, dan edukatif. Secara epistemologis juga terjadi pro dan kontra sekitar ide awalnya. Namun, pada akhirnya, UIN sudah terwujud di beberapa tempat seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Padang, UIN Makasar, dst. Sebentar lagi UIN Pangeran Antasari di Banjarmasin juga akan menyusul.
Diakui memang, bahwa konversi IAIN menjadi UIN bukanlah satu-satunnya solusi yang dihadapi dari berbagai problem yang dihadapi oleh PTI, sekedar ganti baju saja tidak cukup. Segala aspek harus diperhatikan mulai dari manajemen perencanaan (grand design), tenaga pengajar, fasilitas, sarana, konsep keilmuwan dan metodologi serta input dan outpu-nya. Semoga bermanfaat. Amin.

                                                                                                         



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. (2000). Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiarawacana, Cet. I.
Abdullah, Amin. (2004). Integrasi Epistemologi Keilmuan  dan Agama, Jakarta: INCIS, cet. I.
Al-Faruqi, Ismail Raji. (1989). Islamization of Knowledge Series (1), (United States of America: The International Institute of Islamic Thought.
Brojonegoro, Satryo Soemantri. Et al. (2001). “Implementasi Paradigma Baru di Perguruan Tinggi”, Yogyakarta: Bappenas-Depdiknas-Adicita Karya Nusa.
Daulay, Haidar Putra. (2009). Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Rineka Cipta.
Daulay, Haidar Putra. (2009). Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, cet II.
Fazlur Rahman. (1984). Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Fazlur Rahman. (1990). Islam, Chicago and London: University of Chicago Press.
Kusmana. (1999). Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia. Jakarta: Penerbit: UIN Syarif Hidayatullah Press.
Mastuhu. (1999). Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. I.
Nata, Abuddin. (2007). Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Suprayogo, Imam. (2009). Universitas Islam Unggul: Refleksi Pemikiran Pengembangan kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuwan Islam Malang: Malang Press.
Suprayoga, Imam. (2004). Tarbiyah Uli al-Albab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, UIN Malang Press.
Sutrisno, (1995). Revolusi Pendidikan di Indonesia,Membedah Metode dan Teknik Pendidikan Berbasis Kompetensi, Yojyakarta: Ar-Ruzz, cet. I
Tafsir, Ahmad. (2010). Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R.: (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia, cet. I.
Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi. (2004). Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuwan Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Yunus, Mahmud. (1995). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, cet IV.
Zamroni. (1997). “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ., Yogyakarta: Aditya Media.
-----------, Perta, Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Vol. VII/No. 02/2004. Penerbit: Direktorat PTAI, Ditjen Kelembagaan agama Islam, Jakarta.
-----------, Majalah Tarbiyah, Media Kajian & Informasi Keagamaan dan Kependidikan, No. 42 Tahun XIV/1996. Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang.
Padang Ekspres, Senin, 09/09/2013.
Republika, pada Kamis, 28 Desember 1995.
Republika, Kamis 3 Juli 1997.



[1] Lihat H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998), hlm. 207-208.
[2] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1990), hlm. 259-260.
[3] Lebih lanjut baca Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. X.
[4] Hal tersebut dikatakan Dr. Komaruddin Hidayat pada acara pertemuan pimpinan pascasarjana PTAS se Indonesia di Hotel Setiabudi Jakarta, pada tanggal 16 Agustus 2000.
[5] Hal tersebut antara lain dikatakan Prof. Dr. Azyumardi Azra pada kuliah perdana Program Studi Pendidikan Islam di PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal 28 Agustus 2000.
[6] Husni Rahim, makalah pada Semiloka penulisan disertasi di gedung pusdiklat Depag, Ciputat Jakarta, 1998.
[7] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuwan Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 106
[8] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet IV, h. 138
[9] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara ,(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 26
[10] Republika, pada Kamis, 28 Desember 1995
[11] Ibid.
[12] Kusmana, Dari Ciputat, Cairo, hingga Columbia. (Penerbit: UIN Syarif Hidayatullah Press; Jakarta, 1999), hlm. 10.
[13] Republika, Kamis 3 Juli 1997
[14] Padang Ekspres, Senin, 09/09/2013
[15] Ibid.
[16] Lihat Amin Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiarawacana, 2000), hlm. 26. Lihat juga Amin Amin Abdullah, Integrasi Epistimologi Keilmuan  dan Agama, (Jakarta: INCIS, 2004), hlm. 5-10.
[17] Lihat Imam Suprayoga, Tarbiyah Uli al-Albab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, (UIN Malang Press, 2004), hlm. 32-33.
[18] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge Series (1), (United States of America: The International Institute of Islamic Thought, 1989), hlm. 1
[19] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1984), hlm. 175.
[20]Abdul Munir Mulkan, “Refleksi Humanisasi Tauhid dalam Reformasi Ontologis Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001, hlm. 1-23
[21] Fazlur Rahman, Op cit. hlm. 180.
[22] Ibid.
[23] Zamroni, “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ., (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 28-31.
[24] Ibid.
[25] Lihat makalah Djohar, M.S. , “Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam KemandeganPendidikan di Indonesia”, yang disampaikan pada seminar  tentang Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, oleh LP3 dan FAI UMY, pada tanggal 25 Pebruari 2002.
[26] Zamaroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Biograf Publishing, 2000), hlm. 61.
[27] Mastuhu, op cit.,  hlm. 219-220.
[28] Lihat M. Dawam Raharjo, “IAIN dengan Mandat Diperluas”  dalam Perta: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Vol. IV/No. 01/2001, hlm. 35-40.
[29] Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia, (Yojyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hlm. 171.
[30] Ibid. hlm. 172
[31] Satryo Soemantri Brojonegoro, dkk., “Implementasi Paradigma Baru di Perguruan Tinggi” dalam Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, editor Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, (Yogyakarta: Bappenas-Depdiknas-Adicita Karya Nusa, 2001), hlm. 368-369.
[32] H. Djumransyah, “Mencari Paradigma Sistem Pendidikan Tinggi Islam Masa Depan”, (Malang: Majalah Tarbiyah, Nomor: 42, tahun XIV, 1996), hlm.12-13.
[33] Diana Candra Dewi, “Tantangan Global UIN”, (Perta: Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Vol. VII/No. 02/2004), hlm. 21-22.
[34] Ibid. hlm. 25.
[35] Siti Musdah Mulia, dalam “PTAI Hadapi Tantangan Sangat Berat”, (Perta: Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Vol. VII/No. 02/2004), hlm. 6.
[36] H. Djumransyah, Op cit. hlm. 9
[37] Ibid. hlm. 10-11.
[38] Amin Abdullah, lok.cit.
[39] Imam Suprayoga, lok.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar