SEKITAR TAFSIR
SUFI
Oleh: Akhmad
Dairoby Al-Banjary
Abstrak
Tafsir
sepanjamg sejarahnya mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik
mengenai metodologi maupun coraknya. Perkembangan itu meluas sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam sebagai konsekuensi
dari ekspansi Islam ke wilayah di luar Arab. Kecuali itu, berkembangnya
aliran-aliran dalam Islam juga turut mewarnai penafsiran mereka terhadap
al-Qur`an. Tafsir sufi yang dikenal dengan tafsîr isyârî adalah salah satu
corak tafsir yang telah mengisi lembaran sejarah tafsir. Namun kemunculan
tafsir sufi mengundang kontroversi di kalangan ulama, terutama menurut kacamata
fuqahâ`. Hal itu terjadi, tidak saja karena tafsirnya yang lebih menekankan
pada isyarat makna batin dari lafazh al-Qur`an, tetapi eksistensi para sufi dan
tasawuf itu sendiri sering dituduh sebagai ajaran yang membawa kepada paham
zindik dan mulhid. Oleh karena itu, analisis ilmiah terhadap tafsir sufi
penting untuk dihadirkan dalam tulisan ini sebagai jawaban apakah memang benar
demikian.
Kata
Kunci:
al-Qur`an, tafsir, tafsir sufi, tafsir isyari.
A.
Pendahuluan
Al-Qur`an
adalah Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan
berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu, dan pembeda antara yang haq dan yang bâthil.[1] Petunjuk
al-Qur`an itu lebih khusus lagi ditujukan kepada orang-orang yang bertaqwa.
Sebab, hanya orang-orang yang bertaqwalah yang beriman kepada al-Qur`an dan
kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur`an.[2]
Sebagai kitab
petunjuk, al-Qur`an harus dimengerti dan dipahami oleh umat manusia agar dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar al-Qur`an dapat dimengerti,
dipahami, dan diamalkan, maka diperlukan penjelasan-penjelasan mengenai
pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya. Lebih-lebih al-Qur`an diturunkan
dengan berbahasa Arab, sementara al-Qur`an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
umat manusia itu, mereka memiliki bahasa yang beragam. Karenanya, pesan-pesan
al-Qur`an diperlukan penjelasan. Penjelasan-penjelasan mengenai isi
kandungan al-Qur`an itu disebut tafsîr. Sebab, tafsir diperlukan untuk
mengetahui dan memahami pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalam al-Qur`an.
Dengan tafsir pemahaman makna ayat-ayat al-Qur`an, hukum-hukum yang
dikandungnya, hikmah-hikmah yang disyari’atkan dari hukum tersebut, ajaran
akhlak, dan petunjuk-petunjuk lainnya dapat dijelaskan.[3]
Tafsir
sepanjang sejarahnya, mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sejak masa Nabi
Saw., sahabat, tâbi’în, tâbi’i al-tâbi’în, dan seterusnya sampai
ke para mufassir berikutnya. Pada setiap zaman dan kurun waktu serta di
berbagai tempat muncul para mufassîr dengan kitab tafsirnya
masing-masing.
Metodologi
tafsir pun terus berkembang dengan corak penafsiran yang berbeda-beda. Dalam
metode tafsir dikenal Metode Ijmâlî (Global), Metode Tahlîlî
(Analitik), Metode Muqârin (Komparatif), dan Metode Maudhû’î
(Tematik).[4] Dalam Ilmu Tafsir dikenal juga bentuk penafsiran bi al-ma`tsur
dan bentuk penafsiran bi al-ra`y. Dalam bentuk penafsiran yang disebut
terakhir ini muncul corak tafsir, seperti tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmî,
tafsir-falsafî, tafsir-adabî ijtimâ’î, tafsir-shûfî (isyârî),
dan lain-lain. Sebab, tafsir bi al-ra`y yang menggunakan metode analitik
(tahlîlî), para mufassir relatif memperoleh kebebasan,
sehingga mereka agak lebih otonom dalam memberikan interpretasi terhadap
ayat-ayat al-Qur`an, selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’
dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar.[5] Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra`y
dengan metode analitik (tahlîlî) dapat melahirkan corak
penafsiran yang beragam.[6]
Di antara corak
penafsiran dalam bentuk bi-al-ra`y yang tampak mengundang
kontroversi adalah tafsîr-shûfî atau tafsîr-isyârî. Corak tafsir
ini mengundang kontroversi karena penafsirannya yang dipandang mengedepankan
makna batin daripada makna lahir, bahkan dipandang terlalu jauh dari makna
lafzhi ayat-ayat al-Qur`an. Kecuali itu, kelahiran tasawuf sendiri dalam Islam
telah terjadi kontroversi, apakah tasawuf lahir dari ajaran Islam sendiri atau
ada pengaruh dari luar Islam, bahkan tasawuf sering dituduh sebagai ajaran yang
membawa kemunduran umat Islam dan ajaran sesat.
Persoalan
kontroversi tafsîr-shûfî atau tafsîr-isyârî nampaknya perlu
diangkat dalam tulisan ini. Sebab, sebagian ulama menerima corak tafsir ini
dengan kriteria dan persyaratan tertentu, dan sebagian ulama lainnya
menolaknya. Masalah yang akan angkat dalam tulisan ini ialah mengapa kemunculan
tafsir-shûfî atau tafsir-isyârî menimbulkan kontroversi? Tulisan
ini cukup penting dan signifikan untuk mengungkap persoalan kontroversi di
sekitar tafsir sufistik (tafsir-shûfî).
B. Pengertian Tafsir Sufi
Dalam kajian
Ilmu. Tafsir, istilah Tafsîr Shûfî lebih dikenal dengan sebutan TafsîrIsyârî..
Menurut Shubhî al-Shâlih dalam bukunya Mabâhits fî
‘Ulûm al-Qur`ân, TafsîrIsyârî ialah tafsir yang menta`wilkan ayat-ayat
al-Qur`an dengan tidak melihat lafazh secara lahirnya saja, tetapi disertakan
usaha menghubungkan lafazh yang lahir dengan makna batinnya.[7] Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Zarqani, bahwa Tafsîr
Shûfî atau Tafsîr Isyârî adalah ta`wil al-Qur`an tanpa mengambil
makna lahirnya untuk menyingkapkan petunjuk yang tersembunyi menurut para
pelaku suluk dan ahli tasawuf.[8] Lafazh yang lahir ialah lafazh yang dapat segera dipahami oleh akal
pikiran, sedangkan yang batin dapat dipahami melalui isyarat-isyarat yang
tersembunyi.[9] Dengan demikian, Tafsir Isyari merupakan penafsiran al-Qur`an yang
dilakukan oleh kaum sufi melalui jalan ta`wil, yakni memalingkan ayat dari
makna lahirnya.[10] Sebetulnya dalam Tafsîr Isyârî dimungkinkan juga untuk
menggabungkan kedua makna itu, yang lahir dan yang batin.
Menurut Abdul
Jalal, Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî ialah sebuah tafsir
al-Qur`an yang beraliran tasawuf atau kebatinan, yakni sebuah penafsiran yang
difokuskan kepada bidang tasawuf atau kebatinan.[11] Hasbi As-Shiddidie mengartikan tafsir sufi sebagai penafsiran yang
menitik-beratkan kepada isyarat al-Qur`an yang berpautan dengan ilmu suluk.[12] Dengan melakukan latihan kejiwaan (riyâdhah), para mufassir
di kalangan sufi berusaha mencapai ma’rifah (pengetahuan) mengenai makna
al-Qur`an sehingga terbukalah bagi mereka isyarat dari makna yang tersembunyi.
Ma’rifah menurut para sufi berarti pengetahuan yang langsung terbuka dari sisi
Allah Swt., bukan dari hasil penalaran akal pikiran manusia.
Dengan
demikian, penafsiran ayat-ayat al-Qur`an dalam konteks Tafsîr Shûfî atau
TafsîrIsyârî adalah penafsiran yang tidak cukup dengan hanya
melihat makna lahiriahnya saja, tetapi penafsiran itu harus juga melihat makna
batiniahnya. Jadi, penta`wilan ayat-ayat al-Qur`an itu didasarkan pada
penggabungan antara makna yang nyata dan makna yang tersembunyi.[13] Memang sebagai
watak metodologis dan epistemologi tasawuf, kajian sufistik lebih menekankan
pada pendekatan esoterik (batin) dari pada pendekatan eksoterik (lahir) di
dalam memaknai ajaran agama. Oleh karena itu wajar jika Tafsîr Shûfî atau
TafsîrIsyârî lebih menekankan pada makna ayat-ayat al-Qur`an dari aspek
isyarat yang tersembunyi di dalamnya daripada makna lahirnya.
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa inti dari Tafsîr Shûfî atau TafsîrIsyârî dalam
konteks kajian tafsir nampaknya tertumpu pada persoalan ta`wil. Menurut
pengertian etimologis, pengertian tafsir dan ta`wil sebenarnya merupakan kata
padanan (murâdif), yaitu menerangkan dan menjelaskan (al-bayân wa
al-îdhâh) terhadap makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat
al-Qur`an.[14] Hanya saja pengertian tafsir lebih umum dari pada pengertian
ta`wil.[15] Tafsir menerangkan arti lafazh dengan jalan riwâyah,
sedangkan ta`wil menerangkan arti lafazh dengan jalan dirâyah. Tafsir
menetapkan dengan jalan yakin bahwasanya demikianlah maksud yang dikehendaki
Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima
oleh lafazh, tanpa menetapkan bahwa itulah yang dimaksud dengan secara yakin.[16]
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian Tafsîr Shûfî atau Tafsîr
Isyârî adalah sebuah corak tafsir yang tidak terikat hanya dengan
makna lafzhiyyah secara lahir saja, tetapi cenderung menangkap
isyarat-isyarat makna bathiniyyah dari ayat-ayat al-Qur`an melalui jalan
ta`wil. Tentu saja isyarat-isyarat makna itu diarahkan kepada konsep dan
pengalaman sufistik yang diperoleh dengan jalan ma’rifah dari penafsirnya,
karena memang mufassirnya adalah seorang sufi.
C. Sejarah dan Perkembangan Tafsir Sufi
Perkenbangan Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî tentu
saja tidak terlepas dari sejarah perkembangan tafsir pada umumnya. Pada masa
Rasulullah Saw, penafsiran al-Qur`an menjadi otoritas beliau. Rasulullah Saw
adalah seorang mufssir pertama (al-Mufassir al-Awwal) bagi
al-Qur`an.
Rasulullah Saw
setiap kali menerima ayat-ayat al-Qur`an, langsung menyampaikannya kepada para
sahabat serta menafsirkannya mana ayat-ayat yang perlu ditafsirkan. Penafsiran
Rasulullah Saw itu adakalanya dengan sunnah qauliyyah, adakalanya dengan
sunnah fi’liyyah, dan adakalanya sunnah taqririyyah.[17] Beliaulah yang menerangkan maksud ayat-ayat al-Qur`an yang
diturunkan kepadanya. Para sahabat tidak ada yang berani menafsirkan
al-Qur`an ketika Rasulullah Saw masih hidup, dan memang belum perlu bagi
mereka melakukan penafsiran karena segala persoalan menyangkut pemahaman
al-Qur`an dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah Saw.
Setelah
Rasulullah Saw wafat, barulah para sahabat yang alim dan mengetahui
rahasia-rahasia al-Qur`an serta mendapat petunjuk dari Nabi sendiri merasa
perlu menafsirkan al-Qur`an. Mereka merasa perlu menerangkan apa yang mereka
ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud al-Qur`an.
Para sahabatpun
tidak sederajat dalam memahami al-Qur`an dan mengetahui makna mufradât
dan tarkîb-nya. Ada di antara mereka yang memahaminya secara
global (ijmâl) dan ada yang memahaminya secara rinci (tafshîl).[18] Hal itu disebabkan karena latar belakang tingkat pengetahuan
para sahabat berbeda. Ada di antara mereka yang selalu menyertai Nabi sehingga
mereka dapat mengetahui sebab turunnya al-Qur`an dan penjelasan-penjelasannya.
Demikian pula ada di antara mereka yang memiliki pengetahuan luas tentang
sastra jahiliyah dan adat istiadat bangsa Arab dalam pemakaian bahasa, dan ada
yang tidak.
Pada masa
sahabat belum dilakukakan penulisan tafsir atau hadis-hadis tafsir, bahkan pada
umumnya mereka tidak menulis Hadis, karena mereka khawatir akan terjadi
bercampur baur antara al-Qur`an dan Hadis atau al-Qur`an dan hadis-hadis
tafsir.
Pembukuan
kitab-kitab tafsir dimulai pada akhir memerintahan Daulah Bani Umayah dan pada
masa permulaan Daulah Bani Abbasiyah. Berbarengan dengan suasana lahir
dan terbentuknya berbagai disiplin ilmu di dunia Islam, maka tafsir mulai
berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari Hadits.[19]
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam turut mewarnai perkembangan dan
corak tafsir. Demikian pula munculnya aliran-aliran dan mazhab-mazhab dalam
Islam, seperti aliran kalam, aliran filsafat, mazhab fiqh, corak tasawuf juga
membuat para mufassir dari latar belakang masing-masing disiplin ilmu, aliran,
dan mazhabnya berpengaruh terhadap penafsiran mereka terhadap al-Qur`an.
Di antara
kitab-kitab tafsir yang disebut dengan tafsir sufi adalah sebagai berikut: Tafsîr
al-Qur`ân al-‘Azhîm yang dikarang oleh Imam al-Tusturi ( w. 383 H); Haqâ`iq
al-Tafsîr karya al-‘Allamah al-Sulami (w. 412 H); ‘Arâ`is al-Bayân fî Haqâ`iq
al-Qur`ân karya Imam al-Syirazi (w. 606 H).[20] Hasbi ash-Shiddieqy menambahkan dengan tafsir Ibnu Arabi (w. 683 H)
dan tafsir al-Alusi (w. 1270 H).[21]
Demikian sekilas tentang perkembangan tafsir sepanjang sejarahnya,
dan perkembangan tafsir itu tampaknya terus berlangsung sampai sekarang, bahkan
sepanjang masa. Sehingga pada setiap kurun waktu dan di berbagai negeri
muncul para mufassir dan kitab-kitab tafsir.
D. Macam-macam Tafsir Sufi
Sebagaimana
aliran-aliran lainnya dalam Islam, para sufi pun banyak melakukan kajian
terhadap al-Qur`an dan memiliki beberapa kitab tafsir yang tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Islam, baik yang baru maupun yang lama. Kajian-kajian
dan uraian-uraian mereka terhadap al-Qur`an berorientasi pada tasawuf. Dalam
hal ini tampak jelas pengaruh-pengaruh tasawuf, baik tasawuf teoritis maupun
tasawuf praktis di dalam penafsiran al-Qur`an.
Mengenai
pembahasan macam-macam Tafsîr Shûfî atau TafsîrIsyârî, Muhammad
Husein al-Dzahabi menjelaskan ada dua macam orientasi para sufi dalam
menafsirkan al-Qur`an. Pertama, orientasi teoritis (ittijâh
al-nazharî) yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi. Orientasi
teoritis ini dapat dipahami sebagai penafsiran al-Qur`an yang didasarkan kepada
konsep-konsep tasawuf yang dibawakan oleh kaum sufi sesuai dengan konsep mereka
masing-masing. Kedua, orientasi praktis (ittijâhal-‘amalî)
yang didasarkan atas kegiatan penyiksaan diri (takâsyuf), asketisisme (zuhud),
dan menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadah kepada
Allah.[22] Nampaknya yang dimaksud oleh al-Dzahabi dengan penyiksaan diri (takâsyuf)
dan menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadah kepada
Allah adalah latihan rohani (riyâdhah) untuk memperoleh
pengetahuan (ma’rifah) sampai kaum sufi mencapai suatu tingkat
yang disebut dengan kasyaf.
Orientasi
teoritis berarti penafsiran kaum sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang
dipengaruhi oleh tasawuf teoritis (al-tashawwuf al-nazharî), yang
didasarkan atas pemikiran-pemikiran ilmiah para tokoh sufi dan kemudian
dicarikan justifikasinya dari al-Qur`an. Sedangkan orientasi praktis berarti
penafsiran kaum sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang dipengaruhi oleh tasawuf
praktis (al-tashawwuf al-‘amalî), yang didasarkan atas latihan
rohani (riyâdhah) untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah)
sampai mencapai suatu tingkat yang disebut dengan kasyaf, dimana
isyarat-isyarat suci itu tampak dan memberikan pengetahuan-pengetahuan rabbanî
ke dalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang digunakan oleh mereka untuk
menafsirkan makna al-Qur`an.
Dari kedua
macam orientasi kaum sufi dalam menafsirkan al-Qur`an sebagaimana dikemukakan
di atas, sebenarnya harus dipahami secara arif dan bijaksana, karena kedua
orientasi tersebut bagi kaum sufi adalah berdasar pada epistemologi dan
metodologi Ilmu Tasawuf. Sehingga apa yang mereka tempuh dalam memahami
al-Qur`an pun mereka menggunakan kerangka epistemologi dan metodologi Ilmu
Tasawuf tersebut.
Apabila
dianalisa dan dicermati mengenai perkembangan Tafsîr Shûfî atau Tafsîr
Isyârî, dan inti dari penafsiran sufistik itu dalam konteks ilmu tafsir,
terfokus pada ta`wîl dalam upaya mencari makna batin dari lafazh
al-Qur`an, maka paling tidak ada dua macam Tafsîr Shûfî atau TafsîrIsyârî.
Pertama; Tafsîr Shûfî atau TafsîrIsyârî yang
menggunakan ta`wîl yang masih berdekatan dengan makna lahir dari lafazh
al-Qur`an (ta`wîl qarîb). Kedua; Tafsîr Shûfî atau Tafsîr
Isyârî yang menggunakan ta`wîl yang terlalu jauh dari makna
lafazhnya (ta`wîl ba’îd).
Dua versi
macam-macam tafsir sufi sebagaimana dikemukakan di atas dapat diformulasikan
bahwa tafsir sufi dilihat dari orientasinya dapat diklasifikasikan menjadi dua
macam, yaitu tafsir sufi yang berorientasi pada tasawuf teoritis (al-tashawwuf
al-nazharî), dan tafsir sufi yang berorientasi pada tasawuf praktis (al-tashawwuf
al-‘amalî). Sedangkan dilihat dari metode penafsirannya yang
menggunakan ta`wil dapat diklasifikasikan menjadi dua macam juga, yaitu tafsir
sufi yang menggunakan ta`wil yang dekat dengan makna lafazhnya (ta`wîl qarîb),
dan tafsir sufi yang menggunakan ta`wil yang jauh dari makna lafazhnya (ta`wîl
ba’îd).
E. Syarat-syarat Tafsir Sufi
Muhammad Husein
al-Dzahabi mengemukakan beberapa kriteria tafsir sufi atau tafsir isyari yang
dapat diterima (maqbûl) sebagai berikut:
1.
Tidak menyimpang atau bertentangan dengan makna lahir ayat-ayat
al-Qur`an
2.
Didukung oleh argumen rasional atau bukti yang kuat dari syari’at
3.
Tidak bertentangan dengan syari’at atau akal sehat
4.
Tidak mengklaim bahwa tafsir isyari adalah satu-satunya yang
dimaksudkan Allah di dalam ayat itu, sebaliknya mufassir mengakui adanya makna
lahir ayat, baru kemudian menjelaskan makna batinnya.[23]
Syarat-syarat
tafsir sufi yang dapat diterima (maqbûl) sebagaimana dikemukakan oleh
al-Dzahabi di atas menunjukkan bahwa dia menaruh perhatian yang
sangat kuat terhadap kekhawatiran akan penyimpangan penafsiran ayat-ayat
al-Qur`an yang dilakukan oleh kaum sufi.
Al-Dzahabi
mensyaratkan tafsir sufi tidak boleh menyimpang dari makna lahir ayat-ayat
al-Qur`an, karena memang kaum sufi lebih menekankan pada makna
batin dari ayat-ayat al-Qur`an dalam penafsirannya daripada makna lahir.
Sehingga dikhawatirkan kaum sufi terlalu jauh dalam menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an,
bahkan mungkin tidak mengindahkan makna lahir dalam penafsirannya itu.
Demikian pula
syarat lain, seperti didukung oleh argumen rasional atau bukti yang kuat dari
syari’at, tidak bertentangan dengan syari’at atau akal sehat, dan tidak
mengklaim bahwa tafsir sufi atau isyari adalah satu-satunya yang dimaksudkan
Allah di dalam ayat tersebut. Syarat-syarat tersebut menunjukkan perlunya
rambu-rambu dalam penafsiran al-Qur`an. Syarat argumen rasional atau akal
sehat, dan tidak bertentangan dengan syari’at, nampaknya untuk memberi
rambu-rambu kepada kaum sufi yang terkadang mengabaikan argumen rasional, dan
bahkan mengabaikan syari’at.
Syarat agar
kaum sufi tidak mengklaim bahwa penafsiran mereka itulah satu-satunya
penafsiran yang dimaksud oleh Allah Swt. adalah sebagai rambu-rambu agar mereka
tidak fanatik terhadap penafsirannya, sehingga mereka bersikap eksklusif dan
menolak penafsiran orang lain yang tidak sesuai dengan penafsiran mereka.
F.
Beberapa Contoh Corak Tafsir Sufi
Penafsiran al-Qur’an jarang sekali dipahami kecuali
oleh orang yang ahli sebagai bukti
pengamalan terhadap al-Qur’an itu sendiri baik secara taklīdi atau ijtihādi.
Penafsiran mereka tidak akan keluar dari
patokan-patokan penafsiran
seperti halnya mereka tidak akan
keluar dari batas-batasnya dalam
hal mengamalkan al-Qur’an dan berakhlak
dengan akhlak al-Qur’an. Sebagai syahid, cukup apa yang dikutip dari pemahaman
ulama salaf yang salih, sesungguhnya
pemahaman mereka sesuai dengan tuntutan bahasa Arab dan dilālah (petunjuk) dalil-dalil syara’.
Jika penafsiran itu menurut yang kedua, maka bersikap tawaquf dari
menganggapnya sebagai upaya menafsirkan
batin al-Qur’an menjadi wajib.
Berikut
akan diuraikan secara singkat beberapa contoh ayat-ayat al-Qur’an dengan corak
tafsir sufi yang sering ditafsirkan secara berbeda dari para mufassirin
kebanyakan:
1. “Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa
izin-Nya?“ (QS. Al-Baqarah:255)
Ayat di
atas ditafsirkan bahwa: “tidak ada seorangpun yang dapat
menghinakan jiwa manusia kecuali kalau Allah mengizinkannya.”
m»oY÷èsùuur $ºR%s3tB $Î=tæ ÇÎÐÈ 2.
“Dan Kami telah mengangkatnya ke
martabat yang tinggi.” (QS. Maryam [19]: 57),
Ibnu Arabi berkata: “Kedudukan yang
paling tinggi adalah tempat yang menjadi poros alam falak, yaitu falak
matahari. Di sana ada maqam ruhani milik Nabi Idris as. Di bawahnya adalah
tujuh falak dan di atasnya juga ada tujuh falak, dan falak matahari itu adalah
falak kelima belas.” Kemudian, ia menyebutkan beberapa falak yang ada di
bawahnya dan tujuh falak yang ada di atasnya. Ia berkata, “Adapun kedudukan
yang tinggi, yaitu milik kita—yakni umat Nabi Muhammad Saw.—sebagaimana
disebutkan dalam dalam firman Allah Swt.”
وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ
مَعَكُمْ
“padahal kamulah yang di atas dan Allah beserta kamu.” (QS. Muhammad [47]:35).
Berada di tempat yang tinggi ini.
Ketinggian itu berkaitan dengan tempat, bukan berkaitan dengan kedudukan.[24]
3. “Dia
membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu, Antara keduanya
ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.”
Ibnu Arabi berkata, “Dia membiarkan
dua lautan mengalir—yaitu lautan materi utama jasmani (hayula jismani)
yang rasanya asin dan lautan ruh murni (mujarrad) yang rasanya tawar—
yang keduanya kemudian bertemu—dalam eksistensi manusa. Di antara keduanya ada
batas—yaitu nafsu hewani yang bukan dalam kejernihan dan kelembutan ruh murni,
dan bukan pula dalam banyak dan kasatnya jasad-jasad materi pertama (ajsad
hayula)—yang tidak dilampaui oleh masing-masing—yakni yang satu tidak
melewati batas yang lain sehingga menguasainya dengan spesifikasinya, sehingga ruh
tidak meninggalkan badan, tidak mengeluarkannya, dan tidak pula menjadikannya
termasuk bagian dari jenisnya, dan badan pun tidak menjadikan ruh sebagai fisik
dan menjadikannya materi… Mahasuci Pencipta segenap makhluk dan Mahakuasa atas
apapun yang dikehendaki-Nya.”[25]
4. “Janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS:2:22)
Al-Tastary menafsirkan andadan
yaitu nafsu amarah yang jelek.[26]
Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa
tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal
yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya
dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
G.
Kontroversi Sekitar Tafsir Sufi
Di antara tokoh-tokoh tasawuf terdapat ulama yang mencurahkan
perhatiannya untuk meneliti, mengkaji, dan mendalami al-Qur`an sesuai dengan
sudut pandang teori-teori tasawuf mereka. Mereka dipandang telah menta’wilkan
ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak mengikuti pengertian tekstual yang telah
dikenal dan didukung oleh dalil syar’i berdasarkan kaidah bahasa Arab.
Imam al-Alusi
sebagaimana dikutip oleh ‘Ali Hasan al-‘Aridh mengemukakan bahwa apa yang
dijelaskan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur`an adalah termasuk ke dalam bab
isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh
orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah
dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian
tekstual yang dikehendaki.[27] Lebih lanjut al-Alusi mengatakan: “Mereka berkeyakinan bahwa
pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki. Keyakinan mereka
yang demikian secara ekstrim, sehingga mereka menafikan syari’at secara
keseluruhan”.[28]
Namun demikian,
kata al-Alusi, tokoh-tokoh sufi kita (sufi sunnî, pen.) tidaklah mungkin
sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar tetap dipelihara
penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: Pada tahap pertama harus
dilakukan dan diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin
bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin dari suatu ayat
sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui.
Barangsiapa mengaku dapat memahami rahasia-rahasia al-Qur`an sebelum
mengetaahui penafsiran dan pengertian tekstualnya, maka ia seperti orang yang
mengaku telah sampai ke bagaian dalam Ka’bah sebelum ia melewati pintunya.[29]
Lebih lanjut
al-Alusi mengatakan: ”Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas
dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Qur`an mempunyai
bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan
Maha Pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”.[30]
Muhammad Husein
al-Dzahabi melihat dari sudut yang berbeda dari al-Alusi, menurut al-Dzahabi,
Tafsir Sufi al-Nazhari pada umumnya menyimpangkan makna al-Qur`an dari maksud
dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Qur`an dengan nash-nash dan
ayat-ayatnya mempunyai maksud-maksud tertentu, tetapi orang-orang sufi
menyimpangkannya kepada maksud-maksud lain yang sesuai dengan
pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka. Kadang-kadang ada kesenjangan dan
kontradiksi di antara kedua tujuan atau maksud tersebut.[31]
Lebih lanjut
al-Dzahabi mencontohkan bahwa Ibnu ‘Arabi cenderung menafsirkan ayat-ayat
al-Qur`an agar sejalan dengan pendapatnya tentang konsep wahdat
al-wujûd, demikian juga Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, dll. Pendapat
inilah yang menyebabkan seperti al-Hallaj berani berkata: “Ana al-Haq”
dan juga Ibnu ‘Arabi yang mengatakan bahwa anak sapi yang disembah oleh Bani
Israil merupakan salah satu manifestasi (tajallî) Allah dan yang
sekaligus dijadikan sebagai tempat (hulûl) bagi-Nya.[32]
Penyimpangan
lain oleh Ibnu “Arabi, sebagaimana dikemukakan oleh al-Dzahabi adalah
penafsiran terhadap firman Allah Surat al-Baqarah ayat 163 yang berbunyi: و الهكم اله واحد .
Ibnu ‘Arabi mengatakan: Dalam ayat ini Allah berbicara dengan kaum muslimin
bahwa orang-orang yang menyembah benda-benda selain Allah dalam rangka
mendekatkan diri dengan-Nya, sebenarnya sama dengan menyembah Allah juga.
Ingatlah ketika mereka mengatakan: “Sebenarnya kami menyembah benda-benda ini
hanya untuk lebih mendekatkan kami kepada Allah”, sambil mengemukakan alasan
mereka. Kemudian Allah pun berfirman kepada kita bahwa sesungguhnya Tuhanmu dan
Tuhan yang disembah oleh orang-orang musyrik, dengan perantaraan benda-benda
sesembahan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, adalah sama; karena itu
sebenarnya kamu semua tidak berbeda dalam pengakuanmu terhadap Tuhan yang Maha
Esa itu”.[33]
Bila dicermati
penafsiran Ibnu ‘Arabi di atas jelas akan mengundang kontroversi, sebab
penafsiran seperti itu akan merusak aqidah umat Islam pada umumnya, yang selama
ini mereka meyakini bahwa sesembahan selain kepada Allah, dengan alasan apapun
termasuk syirk, dan syirk adalah kezhaliman yang amat besar.
Jalaluddin Rakhmat
mengemukakan beberapa penyebab keberatan kebanyakan orang terhadap tafsir sufi
yang menekankan pada tafsir batiniah dari ayat-ayat al-Qur`an.[34] Pertama, mereka kuatir dengan hanya mengambil makna batiniah, tafsir sufi
mengabaikan makna lahiriah. Akibatnya, syari’at bisa dilecehkan atau
ditinggalkan sama sekali. Karena menerima ta`wîl akhirnya orang
meninggalkan tanzîl. Kedua, pengambilan makna batiniah sering
kali mengabaikan hukum-hukum bahasa Arab. Makna denotatif dari berbagai kata
ditundukkan pada makna konotatif, yang diperoleh seseorang dari pengalaman
rohaniahnya. Pengalaman rohaniah pada gilirannya sangat subyektif dan irasional
atau suprarasional yang sulit untuk diverifikasi. Ketiga, tafsir
sufi dicurigai karena tasawuf dianggap sebagai ajaran yang menyimpang dari
al-Qur`an dan Sunnah, atau lebih buruk lagi, sebagai ajaran kaum musyrikin yang
dimasukkan ke dalam ajaran Islam.
Selanjutnya
Jalaluddin Rakhmat mengomentari persoalan yang diarahkan kepada tafsir sufi di
atas. Menurut dia, tasawuf memang menunjukkan makna yang luas, dan dijalankan
di berbagai negeri yang berbeda bahasa dan kebudayaan, tetapi dipersatukan oleh
otoritas wahyu al-Qur`an dan teladan Rasulullah Saw.[35]
Berkenaan
dengan persoalan ta’wil, lebih lanjut Jalaluddin Rakhmat mengatakan: “Para
pengkritik tampaknya tidak dapat membedakan antara ta`wil yang sesat dengan
ta`wil yang benar. Seringkali tafsir tidak cukup –dan karenanya- kita
memerlukan ta`wil. Berhenti pada tafsir akan membawa kita justru pada kesesatan
dan keraguan. Ta`wil atau menyingkap makna batiniah tidak dengan sendirinya
mengabaikan makna lahiriah. Ta`wil dilakukan guna menggali berbagai dimensi
makna al-Qur`an. Membatasi al-Qur`an hanya dengan makna lahiriah saja, akan
mendangkalkan samudera ilahiah yang dalamnya dan luasnya tidak terhingga”.[36]
Uraian dan
komentar di atas menunjukkan bahwa tafsir sufi sangat tergantung kepada
orientasi dan penggunaan ta`wil dari para penafsirnya. Jika orientasi mufassir
hanya untuk menguatkan konsep ajarannya, tanpa memperhatikan dalil-dalil syar’i
yang mu’tamad dan mu’tabar, maka akan terlihat pemaksaan terhadap
penafsiran al-Qur`an. Demikian pula penggunaan ta`wil yang terlalu jauh dari
prinsip-prinsip ajaran Islam, jelas akan membawa kesesatan. Teapi sebaliknya,
menggali mutiara makna al-Qur`an dari samudera ilahiah yang sangat dalam dan
luas itu akan menambah tinggi kemukjizatan al-Qur`an. Karena syarat-syarat
tafsir isyari yang dikemukakan oleh al-Dzahabi di atas dapat dijadikan pedoman.
H.
Kesimpulan
Dari Uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa Tafsîr-Shûfî atau Tafsîr-Isyârî
ialah tafsir yang menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak melihat lafazh
secara lahirnya saja, tetapi disertakan usaha menghubungkan lafazh yang lahir
dengan makna batinnya. Lafazh yang lahir ialah lafazh yang dapat segera
dipahami oleh akal pikiran, sedangkan yang batin dapat dipahami melalui
isyarat-isyarat yang tersembunyi. Dengan demikian, Tafsir Isyari merupakan
penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh kaum sufi melalui jalan ta`wil, yakni
memalingkan ayat dari makna lahirnya.
Orientasi dan
ta`wil yang digunakan oleh para sufi dapat berbeda-beda sesuai dengan ajaran
tasawuf yang dikembangkannya. Karenanya, selama orientasi konsep ajaran tasawuf
dan ta`wil yang digunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka
tafsir sufi dapat diterima.
Mudah-mudahan
tulisan ini bermanfa’at untuk menambah informasi ilmiah di seputar khazanah
tafsir. Amin.
DAFTAR BACAAN
Abd al-Hayy
al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A.
Jamrah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Kalam
Mulia, Jakarta, 1990.
Ahmad
al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur`an, Terj. Zufran Rahman, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1996.
Ali Hasan
al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, Cet. II, 1994.
Hasbi
al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu al-Qur`an, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal.
190-191.
Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat
al-Makkyyah, Juz IV, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th.
Jalaluddin
Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Muqaddimah, PT. Remaja Rosda Karya,
Bandung, 1999.
Manna’ Khalil
al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, PT. Lentera
Antar Nusa, Jakarta, 1992.
Muhammad Abd
al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, ‘Isa al-Bab
al-Halabi wa Syurakahu, Kairo, t.th.
Muhammad bin
Alwi al-Maliki, Zubdat al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr
al-Syurûq, Mekah.
--------------------,
Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur`an./Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta,
1954.
Nashiruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1998.
Shubhi
al-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-‘Ilm Lilmalâyîn, Beirut,
1977.
[1]
Lihat: Q.S. 2 : 185.
[2]
Lihat: Q.S. 2:
2-4.
[4]Lihat: Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hal. 13-151.
[7]
Shubhi al-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-‘Ilm
Lilmalâyîn, Beirut, 1977, hal. 296.
[8]Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm
al-Qur`ân, ‘Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakahu, Kairo, t.th., hal 278.
[9]
Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj.
Mudzakir AS, PT. Lentera Antar Nusa, Jakarta, 1992, hal. 489.
[10]
Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur`an, Terj. Zufran
Rahman, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, hal. 133.
[11]Abdul Jalal, op.cit., hal. 76.
[13]
Shubhi al-Shalih loc.cit.
[15] Muhammad bin
Alwi al-Maliki, Zubdat al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr
al-Syurûq, Mekah, hal. 146.
[17]
Abd al-Hayy
al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A.
Jamrah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 4.
[19] Abd al-Hayy
al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A.
Jamrah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 4.
[20] Muhammad
Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dâr Kutub al-Hadîtsah,
Kairo, Jilid III, Cet. I, 1962, hal. 43
[21]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah… op.cit., hal. 238.
[22]
Muhammad Husein
al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm:
Dawâfi’uhâ wa Daf’uhâ, Dâr al-I’tishâm, Kairo, 1978, 92.
[26]Lihat
Al-Tstury, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzhim, hlm 14
[27]
Ali Hasan al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj.
Ahmad Akram, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. II, 1994, hal. 55.
[31]
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Ittijâhât… op.cit.,
hal. 92-93.
[33] Ibid. Lihat: Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkyyah, Juz IV, Dâr
al-Fikr, Beirut, t.th., hal. 160.
[34]
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Muqaddimah, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. xv.
Slingo | Play & Win at Sands Casino
BalasHapusSlingo is a new 1xbet korean take on traditional slots. Players can play kadangpintar for real money or try to play septcasino for free in our demo and win.