Selasa, 11 Februari 2014

Konsep Syudzudz dan 'Ilah


KONSEP SHUDZÛDZ DAN ‘ILLAH SEBAGAI
KAIDAH KESAHIHAN MATAN DAN SANAD HADITS

Oleh : Akhmad Dairoby Al-Banjary
Abstract:
Sekiranya suatu sanad hadits yang diteliti telah memberikan petunjuk yang meyakinkan bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam sanad itu tsiqoh dan sanadnya benar-benar bersambung, maka tidak ada alasan menolak bahwa kualitas sanad hadis tersebut shahih. Namun pada kenyataannya ada sanad hadits yang tampak berkualitas shahih dan setelah diteliti kembali dengan lebih cermat, misalnya dengan membanding-bandingkan semua sanad untuk matan yang semakna, hasil penelitian akhir menunjukkan bahwa sanad hadits yang bersangkutan mengandung kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat). Hal itu terjadi sesungguhnya bukan karena terdapat kelemahan pada diri kaidah kesahihan sanad yang dijadikan sebagai acuan, melainkan karena telah terjadi kesalahan langkah metodologis dalam penelitian. Mungkin saja lambang ‘an atau anna, atau qola tidak diteliti secara cermat dan setelah diteliti kembali secara lebih cermat, ternyata dibalik lambang-lambang itu terdapat tadlis (penyembunyian cacat). Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa kegiatan penelitian sanad masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syaz dan ‘illah belum dilaksanakan dengan cermat. Penelitian terhadap kedua hal tersebut memang termasuk lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian terhadap keadaan para periwayat dan persambungan sanad secara umum. Adapun hadits yang didalmnya terdapat syudzudz disebut hadis syadz dan hadis yang didalamnya terdapat ‘illah disebut hadis mu’allal. 
Kata kunci: syudzudz dan ‘illah.

A.    Pendahuluan
Dalam tradisi penelitian hadits, lazim diyakini bahwa kaidah kesahihan hadits yang digunakan oleh ulama dan para kolektor hadits dalam mengukur kesahihan suatu hadits adalah sebagaimana dirumuskan oleh Ibn al-Shalah, yaitu (1) sanadnya bersambung; (2) periwayatnya bersifat ‘adil; (3) periwayatnya bersifat dhabit; (4) tidak mengandung shudzûdz; dan (5) tidak mengandung ‘illah.[1]
Tiga kaidah pertama hanya digunakan dalam penelitian sanad hadits, sedangkan dua kaidah terakhir, selain dapat diterapkan pada sanad hadits juga digunakan dalam penelitian matan hadits. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian sanad jauh lebih ketat daripada penelitian matan, sebab pada penelitian sanad ada lima poin kaidah kesahihan yang diterapkan, sedangkan pada penelitian matan, hanya dua point saja yang digunakan, yaitu shudzûdz dan ‘illah.
Berdasarkan pada kenyataan di atas, muncul anggapan bahwa penelitian hadits selama ini sesungguhnya hanya menfokuskan pada penelitian sanad saja, dan tidak memperhatikan penelitan matan hadits. Pada kenyataannya, karya-karya tulis di bidang penelitian hadits yang telah dilakukan didominasi oleh karya-karya tulis di bidang penelitian sanad, sedang karya tulis pada bidang penelitian matan sangat sedikit. M. Syuhudi Ismail telah menjelaskan dengan sangat baik kaidah-kaidah kesahihan sanad itu dalam diseratasinya berjudul “Kaidah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah” dengan mengajukan teori kaidah mayor dan minor penelitian hadits.
Lalu, bagaimana dengan kaidah kesahihan matan? Hingga kini, tampaknya belum ada penjelasan yang memuaskan tentang masalah ini. Penjelasan tentang konsep shudzûdz dan konsep ‘illah dalam karya-karya hadits hanya mengacu pada shudzûdz dan ‘illah pada sanad hadits, tidak pada matan hadits. Akibatnya, dua konsep itu tetap pada konsepnya yang kabur. Karena itu, menarik untuk mengkaji kembali bagaimanakah konsep shudzûdz dan ‘illah itu dalam kajian para ulama, terutama menyangkut kedudukan dua konsep itu sebagai kaidah kesahihan matan dan sanad hadits.
B.  Pengertian Shudzûdz dan ‘Illah serta Contohnya
1. Shudzûdz
Kata syudzudz menurut bahasa dapat berarti yang menyendiri (al-infirâd), yang asing (al-nadr), yang memisahkan diri (al-mujâriyah),[2] yang menyalahi orang banyak, dan yang menyalahi aturan.[3] Kata syudzudz sebagai sebuah konsep atau teori tidak dikenal pada masa Rasulullah saw. Boleh jadi istilah syudzudz baru dikenal sekitar abad kedua hijriah, ketika Imâm al-Shâfi’î (150-204 H) menamai “sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah di mana hadits tersebut ternyata bertentangan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas periwayat yang thiqah pula dengan istilah hadits Shâdz. Menurut al-Jabîrî, kata syudzudz dalam pengertian terminologis dapat dikatakan baru muncul pada “era pembukuan” (‘ashr al-tadwîn), yakni suatu era yang dimulai sejak tahun 143 H hingga pertengahan abad ketiga Hijriah.[4]
Mahmud Thahan dalam kitab ‘Taisir Mushthalah al-Hadits” menyebutkan :
الشذوذ ما رواه المقبول مخالفا لمن هو أولى منه أو هو مخالفة الثقة لمن هو أوثق منه[5]
Syudzudz ialah berbeda dengan hadits yang tsiqāt atau berbeda dengan yang lebih tsiqāt daripadanya.
Dalam terminologi ulumul Hadits, hadits shâdz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah yang berbeda matan atau sanadnya, karena adanya penambahan atau pengurangan, dengan riwayat yang lebih kuat dari padanya dilihat dari aspek pentarjihan, seperti jumlahnya yang banyak, lebih kuat hafalan dan dhabith, tanpa dapat mengkompromikan di antara keduanya dan mengharuskan untuk menerima atau menolaknya. Jika memungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak disebut sebagai shâdz dan diterima riwayat dari periwayat tsiqah tersebut meskipun ada tambahan atau pengurangan. Haditsnya menjadi sahih jika dhabith-nya sempurna, dan jika kurang, maka haditsnya hasan.
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian syudzudz suatu hadits, dari pendapat-pendapat itu ada tiga pendapat yang menonjol yaitu :
  1. Al-Hakim an-Naisaburi (w.405 H / 1014 M) mengemukakan bahwa hadits syudzudz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi orang yang tsiqāh lainnya tidak meriwayatkan hadits itu.
  2. Abū Ya’la al-Khalili (w.446 H) mengemukakan hadits syudzudz ialah hadits yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqāh maupun tidak bersifat tsiqāh.
  3. Imam Syafi’i (w.204 H / 820 M) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hadits syudzudz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang tsiqāh juga.[6]
Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama hadits sampai saat ini. Dari penjelasan asy-Syafi’i di atas dapat dinyatakan bahwa hadits syadz tidak disebabkan oleh : (a) Kesendirian individu periwayat dalam sanad hadits, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah fard muthlaq, (b) Periwayat yang tidak tsiqāt. Hadits baru berkemungkinan mengandung syudzudz, apabīla : (1) Hadits itu memiliki lebih dari satu sanad, (2) Para periwayat hadits itu seluruhnya tsiqāt, (3) Matan dan atau sanad hadits itu ada yang mengandung pertentangan.[7]
Berikut contoh hadits yang mengandung syudzudz pada matan yang berlawanan dengan hadist lain-atau berlainan, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Hasan bin Aly:
[8](2066) حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا وَهْبٌ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَلِيٍّ ح و حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ مُوسَى بْنِ عَلِيٍّ وَالْإِخْبَارُ فِي حَدِيثِ وَهْبٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ (سنن أبي داود)
(1926) و حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ عُلَيَّةَ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ حَدَّثَنِي أَبُو قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ نُبَيْشَةَ قَالَ خَالِدٌ فَلَقِيتُ أَبَا الْمَلِيحِ فَسَأَلْتُهُ فَحَدَّثَنِي بِهِ فَذَكَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ هُشَيْمٍ وَزَادَ فِيهِ وَذِكْرٍ لِلَّهِ (صحيح مسلم)
(4908) أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ بِشْرِ بْنِ سُحَيْمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ (سنن النسائي)
(1710) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْربْنِ مُطْعِمٍ عَنْ بِشْرِ بْنِ سُحَيْمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ فَقَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَإِنَّ هَذِهِ الْأَيَّامَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍد (سنن ابن ماجه)
(15176) حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي بَكْرٍ وَسَالِمٍ أَبِي النَّضْرِ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُذَافَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ (مسند أحمد)
Hadist-hadits di atas diriwayatkan dengan serentetan perawi yang dipercaya. Tapi dalam matan tersebut terdapat kejanggalan dengan riwayat-riwayat yang lain. Dalam riwayat lain tidak ditemukan ungkapanيوم عرفة  selain hadits Hasan bin Ali, disinilah terdapat syudzudz atau kejanggalannya.
2. ‘Illah dan Mu’allal
Kata ‘illah menurut penggunaan bahasa memiliki banyak pengertian, namun seluruh pengertian itu dapat dirujuk pada makna “sesuatu yang menempati suatu tempat lalu tempat itu menjadi berubah”.[9] Penyakit disebut sebagai ‘illah karena jika ia masuk ke dalam tubuh, maka ia mengubah tubuh yang dimasukinya dari kuat menjadi lemah. Sebab itu juga disebut ‘illah, Misalnya pernyataan ini adalah ‘illah-nya, yang berarti sebabnya.
Mahmud Thahan menyebutkan :
العلة سبب غامض خفي يقدح فى صحة الحديث مع أن الظاهر السلامة منها[10]
‘Illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.
Sama halnya seperti kata syudzudz, sebagai sebuah konsep atau teori, kata ‘illah juga belum muncul selagi Nabi saw. masih hidup, termasuk juga tidak ditemukan dalam ayat-ayat al-Quran. Penggunaan istilah ‘illah pertama kali mungkin dapat dirujuk ke akhir abad kedua hijriah ketika Yahyâ bin Ma‘în (158-233 H) menyusun sebuah karya tulis di bidang hadits yang diberi nama al-Târîkh wa al-‘Ilal.[11]
Dalam istilah muhadditsûn, ‘illah adalah sebab tersembunyi yang masuk ke dalam hadits sehingga merusak kesahihannya. Sedangkan hadits mu‘allal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah, yang berdasarkan telaah salah seorang kritikus ternyata mengandung ‘illah yang merusak kesahihannya, meski secara lahiriah terhindar dari ‘illah tersebut. Atau hadits yang secara lahiriah terhindar dari ‘illah, tetapi setelah diteliti ternyata mengandung ‘illah yang merusakkan kesahihannya.[12]
Istilah yang populer di kalangan ulama hadits untuk hadits yang dimasuki ‘illah adalah mu‘allal. Istilah lain yang juga digunakan adalah ma‘lûl. Tapi, kedua istilah ini mendapat kritikan dari Nûruddîn ‘Itr, karena keduanya tidak relevan dengan penggunaannya oleh para ulama hadits. Mereka menggunakan kedua istilah itu untuk hadits yang padanya terdapat sifat yang mencacatkannya, sehingga nama yang paling tepat menurut Nûruddîn ‘Itr adalah mu‘all yang berasal dari kata a‘alla yang berarti menjadikan cacat.[13]
Di antara ulama hadits ada yang menggunakan istilah ‘illah untuk menamai penilaian-penilaian mereka terhadap sebab-sebab yang membuat nilai hadits menjadi lemah, seperti adanya ketercelaan periwayat dengan tuduhan dusta, banyak lupa, hafalannya tidak baik atau sebab-sebab ketercelaan sejenis yang mudah diketahui. Pengertian ‘illah di sini sangat umum, mencakup semua “sebab” yang dapat menyebabkan kualitas hadits berubah dari shahih menjadi dlaif.
Dari uraian di atas, ulama hadits tampaknya menggunakan kata ‘illah dalam pengertian sebagaimana pengertian bahasanya, yaitu “sebab atau penyakit” yang dapat merusak kesahihan hadits. Karena itu, beberapa “sebab atau penyakit” yang masuk ke dalam hadits, seperti tadlîs (seorang periwayat menyembunyikan nama gurunya), al-mursal (melaporkan hadits mursal secara bersambung), al-naskh, wahm, majhûl, juga disebut sebagai ‘illah.
‘Illah adalah sifat-sifat buruk yang mencederai kesahahihan suatu hadits. Cacat yang tersembunyi tersebut dapat terjadi pada sanad, dan matan ataupun juga pada keduanya.
Dari ketiga aspek tersebut, aspek sanad yang paling banyak menjadi penyebab ada kecacatan hadits ini. Ibnu Hajar menyebut jenis hadits ini sebagai jenis hadits yang paling rumit dan hanya orang yang mendapatkan karunia pengetahuan yang luas dari Allah yang bisa memahaminya.
Hal tersebut karena untuk menemukan ’illah (cacat) yang terkandung dalam hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas dan ingatan yang kuat tentang sanad, matan, urutan dan derajat perawi hadits.
Berikut contoh yang terdapat ‘illah (cacat) pada sanad:
ما رواه يلى بن عبيد عن سفيان الثورى عن عمر بن دينار عن ابن عمر, قال رسول الله ص م: البيعان بالخيار مالم يتفرقا
 (4338)حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَكُونَ بَيْعَ خِيَارٍ(مسند أحمد)
 (4404)أخبرنا قتيبة بين سعيد قال: حدثنا سفيان عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا أو يكون بيعهما عن خيار. (سنن النسائي)
Matan hadits di atas adalah shahih, tetapi sanadnya memiliki ’illah (cacat). Seharusnya bukan dari Amr ibn Dinar, melainkan dari Abdullah bin Dinar.

C.  Mengukur Kesahihan Matan dan Sanad dengan Kaidah Syudzudz dan ‘Illah
1.      Kaidah Syudzudz
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kaidah agar terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illah seperti yang dirumuskan oleh Ibn al-Shalah sesungguhnya adalah kaidah mayor yang masing-masing kaidah minor. Hadits syadz bukanlah nama atau istilah bagi sebuah kualitas hadits dengan ciri-ciri khusus. Ia merupakan kaidah mayor, bagi hadits yang terungkap ada ‘illah (penyakit)-nya setelah dilakukan metode muqâranah antar-riwayat yang sama. Sebab, tidak ada hadits yang murni dianggap syadz hanya karena perbedaannya dengan riwayat yang lebih kuat. Pasti ada sebab lain yang menyertai, dan hadits syadz dengan sebab lain itu telah memiliki nama atau istilah tersendiri. Demikian halnya dengan haditss mu‘allal, bukanlah nama atau istilah bagi sebuah kualitas hadits dengan ciri-ciri khusus. Ia adalah kaidah mayor bagi hadits yang ‘illah-nya dapat disingkap dan menyebabkan kualitasnya menjadi lemah dengan cara membandingkannya dengan unsur luar hadits itu.
Jika dirujuk pada sejarah penelitian hadits, maka kaidah kesahihan matan yang dipraktikkan oleh umat Islam mempunyai bentuk yang sama sejak awal pertumbuhannya, sampai sekarang, adalah metode perbandingan atau “cross reference” yang berwujud dalam dua metode, yaitu (1) perbandingan antar-riwayat (jalur sanad) pada satu tema, yang biasa dikenal sebagai metode muqâranah, dan (2) perbandingan antara suatu hadits dengan dalil-dalil lainnya, yang biasa diikenal sebagai metode mu‘âradlah. Tujuan dari dua metode itu adalah untuk mencari ‘illah pada hadits. ‘illah yang didapatkan pada praktik metode muqâranah disebut sebagai syudzudz, dan hadits yang mengandung ‘illah itu disebut hadits syadz. Sedangkan ‘illah yang terungkap dari praktik mu‘âradlah, tetap disebut ‘illah dan hadits yang mengandung ‘illah itu disebut dengan hadits mu‘allal.
Ulama telah menetapkan sejumlah nama untuk menyebut hadits-hadits yang menyebabkan perbandingan riwayat. Nama-nama itu terangkup dalam ungkapan Nuruddin ‘Itr berikut:
“Bila suatu matan hadits menyalahi matan hadits lain dan keduanya diriwayatkan melalui para periwayat yang thiqah, maka hadits yang lebih kuat disebut hadits mahfûdz dan yang bertentangan dengannya disebut hadits syadz. Bila kedua hadits tersebut diriwayatkan melalui para periwayat yang dhaif, maka hadits yang lebih kuat disebut hadits ma‘rûf dan yang tidak kuat disebut hadits munkar. Bila terjadi perbedaan redaksi di antara sejumlah matan sehingga mengundang kecurigaan adanya kesalahan, maka hadits-haditsnya disebut hadits mu‘allal. Kemudian, bila perbedaan di antara sejumlah matan itu terjadi karena ditambahkannya hadits mawqûf atau sejenisnya ke dalam hadits marfû‘, maka hadits yang padanya terdapat tambahan itu disebut hadits mudraj, atau karena tertukarnya letak lafal dalam salah satu matan hadits terjadi karena adanya kelebihan atau kekurangan sejumlah lafal maka peristiwa ini disebut ziyâdat al-tsiqah. Bila perbedaan atau pertentangan itu terjadi di antara sejumlah hadits yang tidak dapat ditentukan mana yang lebih kuat, maka semua haditsnya disebut hadits mudhthaarib. Bila perbedaan itu terjadi karena adanya perubahan satu huruf atau beberapa huruf dengan bentuk tulisan yang masih serupa, maka haditsnya disebut mu’arraf atau ma’ruf.”[14]

Pernyataan di atas mengandung dua hal, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Nama hadits syadz bersifat umum bagi semua hadits yang matannya menyalahi matan hadits lain yang lebih kuat. Sedangkan penyebab-penyebab perbedaan itu, seperti adanya hadits mawquf atau sejenisnya yang menyusup masuk ke dalam matan hadits (mudraj), atau adanya kelebihan pada lafal matan yang tidak ada pada matan yang lain (mazid), atau adanya dua matan hadits yang saling berbeda tetapi tidak dapat ditentukan mana di antara keduanya yang lebih kuat dari yang lain (mudhtharib), dan atau adanya perubahan pada huruf atau bentuk lafal pada matan (muharraf atau musahhaf), semuanya adalah nama yang bersifat khusus. Ini berarti bahwa syudzudz pada suatu hadits merupakan kaidah mayor kesahihan matan, sedangkan penyebab syudzudz itu adalah kaidah minor kesahihan matan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhindar dari syudzuudz adalah kaidah mayor kesahihan matan hadits. Adapun kaidah minornya dapat disimpulkan dalam enam poin berikut:
(1)      Tidak Maqlûb ð Terjadi al-qalb (pemutar- balikan posisi) lafal atau kalimat dalam matan
(2)      Tidak mudraj ð Terjadi idrâj (sisipan) pada matan baik dari lafal periwayat maupun hadits lain
(3)      Tidak mudltharib ð Terjadi idlthitirâb (keragu-raguan) karena kesetaraan kualitas matan yang berbeda
(4)      Tidak dimasuki ziyâdah ð Terdapat komentar periwayat tsiqah terhadap matan
(5)      Tidak mushahhaf  ð Terdapat perubahan bentuk kata pada matan.
(6)      Tidak mu’arraf ð Terdapat perubahan huruf dan bacaan pada kata dalam matan.
2.      Kaidah ‘Illah
Adapun hadits mua’llal dalam pernyataan Nuruddin Itr di atas, intinya adalah adanya kecurigaan bahwa dalam matan hadits terdapat kesalahan. Kecurigaan akan kesalahan inilah yang disebut ‘illah. Sayangnya, tidak ditemukan penjelasan yang rinci mengenai ‘illah dalam pembicaraan ulama-ulama hadits. Mereka sangat tertutup dalam hal ini, padahal mereka pun mengakui bahwa ilmu tentang ini merupakan ilmu yang sangat tinggi, mulia, dan juga sulit.
Adapun cara meneliti ‘illat suatu hadits adalah dengan cara membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna. Ibnul Madini (w.234 H / 849 M) dan al-Khatib al-Bagdadi (w. 463 H/1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti ‘illat hadits adalah dengan langkah-langkah :
  1. Seluruh sanad hadits yang matannya semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadits yang bersangkutan memang memiliki muttabī’ ataupun syāhid.
  2. Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik hadits.[15]
Menurut penjelasan ulama ahli kritik hadits, ‘illah hadits umumnya ditemukan pada  :
  1. Sanad yang tampak muttashil (bersambung) dan marfu’ (bersandar kepada Nabi), tetapi kenyataanya mauquf (bersandar kepada sahabat Nabi) walaupun sanadnya dalam keadaan muttashil (bersambung).
  2. Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ tetapi kenyataanya mursal (bersandar kepada tabī’i), walapun sanadnya muttashil.
  3. Dalam hadits itu telah terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadits lain.
  4. Dalam sanad hadits itu terdapat kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.[16]
Dalam kegiatan kritik sanad, beberapa masalah sering di hadapi oleh peneliti hadits, misalnya :
  1. Adanya periwayat yang tidak disepakati kualitasnya oleh para kritikus hadits
  2. Adanya sanad yang mengandung lambang-lambang ‘anna, ‘an, dan yang semacamnya.
  3. Adanya matan hadits yang memiliki banyak sanad, tetapi semuanya lemah (dha’if).
Dari uraian di atas dapat disederhanakan bahwa para ulama hadits pada umumnya mengakui bahwa meneliti syudzudz dan ‘illat hadits tidaklah mudah. Sebagian ulama menyatakan bahwa : Penelitian tentang syudzudz dan ‘illat hadits hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mendalam pengetahuan hadits mereka dan telah terbiasa melakukan penelitian hadits. Penelitian terhadap syudzudz hadits lebih sulit daripada penelitian terhadap ‘illat hadits.
Bagi sebagian ulama hadits, kaidah penting untuk mengetahui ‘illah hadits adalah kecerdasan para peneliti hadits yang merupakan refleksi keluasan wawasan mereka tentang hadits dan pengetahuan mereka tentang para periwayat serta hadits-hadits menjadikan mereka memiliki pemahaman khusus, sehingga mereka mengetahui bahwa suatu hadits menyerupai hadits periwayat tertentu dan tidak menyerupai hadits orang lain. Selanjutnya mereka menilai adanya ‘illah pada beberapa hadits. Semua ini hanya dapat diketahui dengan pemahaman dan pengetahuan khusus yang tidak dimiliki oleh ahli ilmu lain.
Penjelasan tentang ‘illah pada matan justru didapatkan dalam pembicaraan fuqaha’, terutama fuqaha’ dari mazhab Hanafi. Menurut Syamsul Anwar, teoritisi hukum Hanafi sejak dini telah mengembangkan lima kaidah kritik matan hadits, yaitu:
(1)      suatu hadits tidak bertentangan dengan teks Al-Quran, dan ini membawa mazhab Hanafi kepada penolakan teori takhfîf dan taq’id Al-Quran dengan hadits ahad,
(2)      tidak bertentangan dengan sunnah yang masyhur, dan ini membawa mereka pemahaman hadits satu sama lain untuk mencari konsistensi di antara sesamanya,
(3)      tidak gharîb (menyendiri) bila menyangkut kasus yang sering dan banyak kejadiannya,
(4)      tidak ditinggalkan oleh Sahabat dalam diskusi mereka mengenai masalah yang mereka perdebatkan, dan
(5)      tidak bertentangan dengan qiyâs dan aturan umum syariah dalam kasus di mana hadits itu dilaporkan oleh periwayat yang bukan ahli fikih.[17]
Karena itu, menurut Syamsul Anwar, diskusi teoritisi hukum mazhab Hanafî dan sanggahan-sanggahan ulama-ulama mazhab lain terhadap metode Hanafî ini memperlihatkan bahwa dalam menyikapi hadits, terdapat dua aliran besar; aliran rasionalisme yang diwakili Hanafî yang melihat dan menempatkan hadits dalam kerangka logis sistem syariah secara keseluruhan sehingga yang menyimpang dari situ harus ditolak sebagai tidak otentik; dan aliran tradisionalis yang lebih menekankan otoritas para pelapor hadits sehingga selama suatu hadits dilaporkan oleh otoritas yang reliabel, hadits itu harus diterima dan dinyatakan otentik karena penolakan terhadapnya berarti pendustaan terhadap otoritas para pelapor dan ini adalah sikap yang tidak dapat dibenarkan.
Para ahli hadits sesungguhnya tidak sepenuhnya mengabaikan penelitian matan hadits. Pembicaraan mereka tentang matan hadits dapat ditemukan dalam pembahasan tentang kriteria diterima atau ditolaknya sebuah hadits dan pembahasan tentang cari-ciri hadits palsu.
Langkah metodologis yang perlu ditempuh dalam melacak dugaan illahpada matan hadits menurut Hasyim Abbas adalah:
a.       melakukan takhrij (melacak keberadaan hadits) untuk matan bersangkutan, guna mengetahui seluruh jalur sanadnya;
b.      melanjutkan kegiatan I’tibar guna mengkategorikan muttaba’  tam / qashir dan menghimpun matan yang bertema sama sekalipun berujung pada pada akhir sanad (nama sahabat) yang berbeda (syahid);
c.       mencermati data dan mengukut segi-segi perbedaan atau kedekatan pada : nisbah ungkapan kepada nara sumber, pengantar riwayat (shighat tahdis) dan susunan kalimat matannya, kemudian menentukan sejauh mana unsure perbedaan yang teridentifikasi.[18]
Selanjutnya akan diperoleh kesimpulan  apakah kadar deviasi (penyimpangan) dalam penuturan riwayat matan hadits masih dalam batas toleransi (illat khafifah) atau sudah pada taraf merusak dan memanipulasi pemberitaan (illat qadihah).
Dalam hal ini Dr. Mushtafa al-Siba’i mengemukakan kriteria sebagai berikut:
1.      Tidak janggal ungkapan redaksinyanya,
2.      Tidak menyalahi orang yang luas pikirannya, sehingga tidak mungkin dita’wil,
3.      Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan,
4.      Tidak menyimpang dari kaidah umum tentang hukum dan akhlak,
5.      Tidak menyalahi para cendikiawan dalam bidang kedokteran,
6.      Tidak bertentangan dengan akal sehubungan dengan pokok aqidah,
7.      Tiodak bertentangan dengan sunnatullah,
8.      Tidak mengandung sifat na’if,
9.      Tidak menyalahi al-Qur’an dan al-Sunnah yang jelas hukumnya,
10.  Tidak bertentangan dengan tarikh (sejarah) yang telah diketahui umum mengenai zaman Nabi  saw,
11.  Tidak menyerupai madzhab yang dianut sang-perawi, yang ia mau benar sendiri,
12.  Tidak meriwayatkan suatu kejadian yang dapat disaksikan  orang banyak, padahal riwayat itu hanya disampaikan  seorang rawi saja,
13.  Tidak menguraikan suatu riwayat yang isinya  menonjolkan kepentingan pribadi,
14.  Tidak mengandung  uraian yang membesar-besarkan pahala perbuatan yang kecil, dan tidak mengandung ancaman  yang berat terhadap perbuatan dosa kecil.[19]
Berakaitan dengan hal itu, M. Syuhudi Ismail merangkum pembahasan mereka ini dengan mengatakan bahwa tanda-tanda matan hadits yang mengandung syudzudz itu ialah:
(1)      Susunan bahasanya rancu. Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas, mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu tersebut;
(2)      Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional;
(3)      Kandungan pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; misalnya saja berisi ajakan untuk berbuat maksiat;
(4)      Kandungan pernyataannya bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam);
(5)      Kandungan pernyataannya bertentangan dengan fakta sejarah;
(6)      Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk Al-Quran ataupun hadits mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti;
(7)      Kandungan pernyataannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.[20]
Oleh karena itu, adalah suatu kekeliruan jika mengatakan bahwa muhaddithun sama sekali mengabaikan penelitian matan hadits. Bahwa mereka tampak lebih memfokuskan pada penelitian sanad, boleh jadi dapat dibenarkan, tetapi itu dilakukan lagi-lagi karena pandangan mereka bahwa sejauh sanad hadits berkualitas sahih, maka sedapat mungkin harus diamalkan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhindar dari ‘illah adalah kaidah mayor kesahihan matan hadits, seperti halnya dengan terhindar dari syudzudz. Adapun kaidah minornya dapat disimpulkan dalam lima poin berikut:
(1)      Bertentangan dengan Al-Quran;
(2)      Bertentangan dengan Hadits lain;
(3)      Bertentangan dengan Sejarah;
(4)      Bertentangan dengan kaidah kebahasaan;
(5)      Bertentangan dengan logika dan ilmu pengetahuan.[21]
Senada dengan yang dikemukakan di atas, khusus untuk penelitian matan, disamping menggunakan pendekatan kaidahsyudzudz dan illat, para ulama juga merumuskan acuan standar yang lain untuk menilai keabsahan matan hadits. Secara umum, suatu matan hadits dapat dikatakan shahih menurut Al-Adlaby, apabila:
a.       Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an,
b.      Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat,
c.       Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah,
d.      Susunan bahasanya menunjukkan cirri-ciri lafaz kenabian.[22]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa standar matan yang shahih adalah : (1) Sanad periwayatan berkualitas maqbul; (2) Redaksi matannya terhindar dari illat/cacat; (3) Redaksi matannya terhindar dari syudzuz; (4) Kandungan maknanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil dan realitas yang shahih.

D.  Penutup
Sebagai catatan akhir, semoga tulisan ini dapat membangkitkan kembali gairah penelitian hadits di kalangan inteluktual muslim. Mulai saat ini penelitian terhadap hadits Nabi saw. harus dimulai dari matannya. Bahkan penelitian terhadap sanad mulai ditinggalkan. Sebab, para ulama dan kolektor hadits seperti al-Bukhari dan Muslim, telah dengan sangat sempurna melaksanakan penelitian terhadap sanad dan hasil-hasilnya dapat ditemukan pada karya-karya mereka. Tidak mungkin membandingkan jerih payah yang telah mereka lakukan itu dengan karya-karya kontemporer yang hanya berdasarkan pada karya-karya tulis rijal hadits.
Penelitian terhadap sanad hanya dibutuhkan ketika teori-teori yang digunakan oleh ulama dan kolektor hadits seperti al-Sahabat kulluhum ‘adul, atau penolakan berita yang bersumber dari periwayat yang berafiliasi kepada politik dan paham keagamaan tertentu seperti Murjiah, Mu’tazilah, Syiah dan Khawarij, yang dulu dianggap sebagai cacat periwayat. Meskipun demikian, penelitian hadits tetap harus dimulai dari matan hadits.
Pentingnya penelitian terhadap matan hadits bukan saja karena belum maksimalnya penelitian matan pada masa-masa sebelumnya, tetapi juga karena informasi yang diperoleh dari matan hadits kadang kala tidak selalu mudah untuk diamalkan, boleh jadi karena tampak bertentangan dengan perkembangan zaman, atau karena tidak sesuai dengan kenyataan, sejarah dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itulah, penelitian matan harus mengacu kepada dua kaidah mayor penelitian matan di atas, yaitu terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illah serta kaidah minornya masing-masing. Penggunaan pendekatan-pendekatan tertentu dalam penelitian matan, seperti pendekatan hermeneutika, yang belakangan mulai marak dilakukan oleh banyak pihak, dapat saja digunakan, tetapi harus tetap memperhatikan kaidah mayor dan minor penelitian matan.




DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasyim, Drs, MA, Kritik Matan Hadits (Yogyakarta: Teras, 2004)
Ahmad bin Alī bin Hajar al-‘Asqalani, Nuzhatun al-Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th)
Ahmad, Sa’id, Nashir, at. all. Al-Mu’jam al Wasith, Libanon, Daar Ihya al-Turats al-‘Araby, Cet. I, 2008.
Al-Adlaby, ‘Alâ’uddin bin Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawy, Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1983
Al-Jabîrî, Muhammad ‘Abîd, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafî al-’Arabî, 1991
Al-Suyûthy, Jalâluddîn, Imam, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawy, juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988
Al-Thahan, Mahmud, Taysir Mushthalah al-Hadits, Maktabah al-Haramain, Surabaya. Indonesia: t.th.
An-Nashry, Abd Rahman bin Utsman, Abu Amar, Muqaddimah Ibnu al-Shalah, Mesir. Matbaah al-Sa’adah, Cet. I, 1326 H.
Anwar, Syamsul, “Manhaj Tawthîq Mutûn al-Hadîts ‘inda Ushûliyy al-Ahnâf”, dalam Al-Jami‘ah, No. 65/VI/2000. UIN Kalijaga, Yogyakarta: 2000
As-Siba’i, Mushtafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, terj. (Bandung : Diponegoro,  1976
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Itr, Nûruddin, Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Madinah: al-Maktabat al-‘Ilmiyyah, 1972
Munawwir, Wirson, Ahmad, Qamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1984





[1] An-Nashry, Abd Rahman bin Utsman, Abu Amar, Muqaddimah Ibnu al-Shalah, Mesir. Mathbaah al-Sa’adah, Cet. I, 1326 H. halaman 6
[2] Nashir Sa’id Ahmad, at. all. Al-Mu’jam al Wasith, Libanon, Daar Ihya al-Turats al-‘Araby, Cet. I, 2008, halaman 326
[3] Ahmad Wirson Munawwir, Qamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1984, halaman 752
[4] ‘Abid Muhammad Al-Jabîrî, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafî al-’Arabî, 1991, halaman 102
[5]Mahmud Al-Thahan, Taysir Mushthalah al-Hadits, Maktabah al-Haramain, Surabaya. Indonesia: t.th. halaman 117

[6] Ahmad bin Alī bin Hajar al-‘Asqalani, Nuzhatun NAzar Syarh Nukhbah al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th), h. 20
[7] Imam Jalaluddin Al-Suyûthy, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawy, juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988, halaman 233
[8] Nomor hadits ini dan seterusnya adalah berdasarkan penelusuran pada program soft ware Al-Maktabah al-Syamilah Versi II.
[9] Nashir Sa’id Ahmad, at. all. Al-Mu’jam al Wasith, op. Cit., halaman 423
[10] Mahmud Al-Thahan, op cit.  halaman  99
[11] Al-Jabîrî, Muhammad ‘Abîd, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafî al-’Arabî, 1991, halaman 120
[12] Mahmud Al-Thahan, op cit. halaman  101
[13] Nûruddin Itr,  Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Madinah: al-Maktabat al-‘Ilmiyyah, 1972 halaman 125
[14] Nûruddin Itr, op cit. halaman 140-141

[15] Ibn as-Salah, Op. Cit, h. 82, as-Suyuti, Op. Cit, JUz II, h. 253
[16] Ibid (Ibn as Salah; as Suyuti, juz II, h. 253 – 254).
[17] Anwar, Syamsul, “Manhaj Tawthîq Mutûn al-Hadîts ‘inda Ushûliyy al-Ahnâf”, dalam Al-Jami‘ah, No. 65/VI/2000. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2000, halaman 47
[18] Hasyim Abbas, Drs, MA, Kritik Matan Hadits (Yogyakarta: Teras, 2004) halaman 103
[19]Mushtafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, terj. (Bandung : Diponegoro,  1976), h. 206- 207
[20] M. Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, halaman 92
[21] Ibid. halaman 97
[22] Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan ( Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H / 1983 M), h. 238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar